🍬 2. Pindah 🍬
Malam, temans. Hyuk lah pedekate terus sama Aizar. Selamat membaca🤭
Kalila berdiri di depan pintu. Kedua tangannya terulur ke arah pintu dengan posisi sama-sama tergenggam. Dia ragu, hendak mengetuk atau tidak. Apa yang akan dikatakannya ketika pintu terbuka.
Tangan Kalila kembali turun. Hanya sejenak karena beberapa saat setelahnya, dia kembali mengangkat genggaman tangannya dan siap mengetuk pintu. Meskipun ragu, dia meneguhkan niat dan mengetuk tiga kali. Lama tak ada reaksi dari balik pintu itu. Ketika Kalila berniat untuk mengetuk sekali lagi, terdengar putaran kunci dari dalam. Pintu membuka beberapa detik kemudian.
“Apa yang kau lakukan sepagi ini di depan kamarku?” Tak hanya tajam, suara Aizar juga terdengar marah disertai tatapan terganggu yang tak mungkin salah diartikan oleh Kalila.
“Mas, ini sub—”
“Mau menyuruhku ibadah?” potong Aizar. “Sudah kulakukan, memangnya aku harus melapor padamu?”
“Kalau begitu, sa—”
“Berhenti mengurusi hidupku!” Lagi-lagi Aizar menyela kalimat Kalila. “Kau tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadapku. Jadi, berhenti pura-pura sok baik atau perhatian daripada aku memulangkanmu ke rumah bapakmu!”
Kalila tersentak akibat pintu yang ditutup dengan keras. Bergegas dia meninggalkan kamar Aizar menuju meja makan. Diisinya gelas kosong dengan air mineral yang segera ditandaskannya. Setelah itu, beberapa kali tarikan napas membuatnya merasa lebih baik.
Pernikahan belum berumur dua puluh empat jam dan Kalila merasa ada sesuatu yang salah. Benar-benar salah sehingga hal-hal yang tak seharusnya terjadi justru dialaminya. Ini bukanlah pernikahan impian seperti yang diharapkannya.
Pernikahannya sudah hancur bahkan sejak sang suami melihatnya untuk pertama kali.
Apa yang salah dari pernikahan ini? Kalila merasa wajahnya tidak buruk. Dia juga menguasai urusan dapur dengan baik.
Kemudian, mengapa Aizar terlihat begitu tidak suka padanya? Bukankah ibu Aizar mengatakan kalau putranya tidak menyulitkan? Kalau seperti ini disebut tidak menyulitkan, Kalila harus belajar lagi.
Suara langkah mendekat membuat Kalila menoleh. Suaminya muncul dari ruang tengah, langsung masuk dapur dan memanaskan air. Pasti mau membuat kopi. Ibunya pernah mengatakan kalau Aizar menyukai kopi segar dan baru dibuat.
"Mas, biar saya—"
"Nggak usah sok baik!" kata Aizar memotong ucapan Kalila seraya bergeser, sedikit menjauh dari istrinya. "Sudah kubilang, 'kan, jangan peduli dengan urusanku."
"Tapi, Mas …." Kalila tidak mampu meneruskan kalimatnya. Matanya sudah berkaca-kaca dan setetes sudah meluncur turun.
"Adakah hal lain yang bisa kau lakukan selain menangis? Atau, seluruh hidupmu kau gunakan untuk belajar menangis?"
Tak tahan mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Aizar, Kalila berlari ke kamarnya. Dia duduk di tempat tidur, menangis sambil mendekap bantal di dada. Pernikahan ini sungguh tidak pernah terpikir dalam benaknya.
Dulu, ketika Kalila mencuri-curi pandang pada Gus Ali, tangan kanan bapaknya di pesantren, pikirannya berkata bahwa pria seperti itulah yang akan menjadi suaminya. Sabar, santun, dan bertutur kata lembut. Sungguh, tidak ada satu pun sikap tercela yang dimiliki oleh Gus Ali.
Dengan seluruh keadaan yang ada, mengapa Kalila dinikahkan dengan Aizar? Tidak tahukah bapaknya bahwa tak perlu mencarikan jodoh dari luar pesantren untuk anaknya? Kalila nelangsa. Pernikahannya belum berumur dua puluh empat jam, tetapi praharanya sudah menerjang.
Kata orang, pilihan orang tua adalah yang terbaik. Tidak ada satu orang tua pun di dunia ini yang akan menjerumuskan anaknya pada penderitaan. Namun, lihatlah yang terjadi! Kalila merasa bapaknya sudah memilih jodoh yang salah untuknya.
Kalila mengucapkan istigfar berkali-kali atas pikiran buruknya. Bagaimanapun, bapaknya pasti sudah berpikir berkali-kali sebelum menetapkan perjodohannya. Mencoba berpikir positif, Kalila merapikan tempat tidurnya sebelum pergi ke kamar Aizar dan melakukan hal yang sama.
Setelah berlama-lama merapikan kamar dan membersihkan diri, Kalila beranjak ke kamar Aizar. Tidak ada suaminya di sana. Namun, perkiraannya salah karena kemudian dia mendengar suara air. Sebelum suaminya keluar, Kalila segera merapikan tempat tidur. Semua dilakukan secara cepat dan efisien. Pekerjaan selesai ketika ada suara ketukan dari pintu depan.
"Mama …." Kalila meraih tangan Indri dan menciumnya dengan takzim. "Mama dari mana?"
"Sengaja mau ke sini." Indri masuk menuju ruang makan. "Itu kopermu kenapa masih di ruang tamu? Mana Aizar? Kalian …."
"Aku baru mandi, Ma." Aizar muncul dari arah kamarnya. "Belum sempat beresin aja itu koper. Aizar pikir pagi ini baru mau beres-beres. Semalam lelah."
Kalila melirik Aizar. Bagaimana kebohongan bisa diucapkan demikian mudah? Dia tidak mengerti, hampir seumur hidupnya dia diajarkan untuk jujur, seberapapun sakitnya itu. Ini, kenapa suaminya justru berbohong dengan mudahnya?
"Sudah, nggak usah diberesin!" Indri menata aneka kue dalam piring dan meletakkannya di tengah meja. "Justru kamu beresin baju-bajumu. Bawa semuanya dan tinggal di rumah!"
"Mama apa-apaan? Aizar ingin—"
"Mama tahu kalian ingin mandiri." Indri memotong ucapan putranya tanpa rasa bersalah. "Tapi sepupumu diterima bekerja di sini dan butuh bantuan tempat tinggal."
"Ya urusan dia, dong, Ma. Apa urusannya sama Aizar? Dia yang mau kerja kok kita yang repot." Tampang Aizar benar-benar tidak enak dilihat kala ucapannya selesai.
"Hus. Nggak bagus bilang begitu. Kalau nggak ada pakdemu, hidup keluarga kita tak mungkin seperti sekarang."
"Kita udah terlalu banyak balas budi. Jatuhnya, keluarga mereka itu udah kayak parasit tahu, nggak, Ma?"
"Aizar!" Suara Indri sedikit meninggi. "Jaga omonganmu! Terlepas dari rumah ini mau dipakai sepupumu atau tidak, kalian tetap pulang ke rumah. Rumah kita terlalu besar untuk Mama tinggali bertiga dengan adikmu.
"Ma—"
"Cukup!" Indri menatap garang putranya, lalu berpindah pada Kalila. "Kamu nggak apa-apa, 'kan, tinggal bersama keluarga suamimu?"
"Tidak apa-apa, Ma." Kalila terlambat menyadari arti tatapan Aizar. Ada sorot tidak suka di mata itu dan dia berharap bisa memperbaiki semuanya. "Tapi, Kalila apa kata Mas Aizar saja."
"Ya ampun …." Indri memegang kedua pipi Kalila dan mengusapnya lembut. "Nggak salah Aizar meminta kami untuk meminangmu. Kamu benar-benar mengerti bagaimana harus berbakti."
Hal yang Kalila rasa tidak ada gunanya. Aizar bukanlah suami yang merasa beruntung telah menikahinya. Dia bahkan tidak tahu di mana letak kesalahannya sehingga mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.
"Mama rasa, kamu pasti bisa membahagiakan Aizar. Setidaknya, Mama bisa tenang ketika harus bepergian mengikuti papamu keluar kota jika di rumah ada kamu, Kal."
"Ma, bolehkah kami di sini selama—"
"Duh, manisnya menantuku ini." Indri memotong ucapan Kalila tanpa rasa bersalah. "Mama paham kalian ini pengantin baru. Mama janji nggak akan mengganggu waktu kalian. Tenanglah dan jangan pikirkan apa-apa di rumah nanti. Zar, cepat bereskan pakaianmu! Nggak usah manja meskipun sudah ada Kalila."
Tak ingin menatap ekspresi kebencian di paras Aizar, Kalila pilih menunduk. Matanya menatap kedua tangan yang saling meremas di pangkuan. Berbeda kamar saja, perkataan Aizar benar-benar tajam dan menyinggung perasaan. Bagaimana dia bisa menahan kalimat lainnya bila sekamar nanti? Tak perlu menduga-duga karena Kalila seolah bisa melihat gambaran hari-harinya di rumah mertua.
Coba tebak, gimana hari-hari Kalila di rumah mertua.
Love Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top