🍬 19. Tidak Sabar 🍬

Assalamualaikum, temans. Selamat malam. Aku tuuu sering lupa update, teman semua bole kok nagihnya😁

Kalila turun dari kendaraan setelah mengucapkan terima kasih. Di tangannya, ada bungkusan bakmi goreng yang dibeli di depan minimarket. Tadi, dia bertanya apakah bisa jika mampir membeli makanan itu? Si sopir mengiyakan dengan sopan dan sebagai ucapan terima kasih, diberikannya dua bungkus untuk dibawa sopir itu pulang.

Sampai pondok pesantren bapaknya dengan selamat adalah hal yang disyukuri Kalila. Pulang sendiri, sementara suaminya masih melakukan sesuatu yang entah apa. Pikirannya masih mencoba untuk positif, tetapi kenyataan yang tak pernah mendukung terus membisikkan bahwa ada sesuatu yang tak biasa dan itu bukanlah hal baik.

Berpikir tentang Selina, Aizar mengatakan bahwa dia tidak menghamili perempuan itu. Namun, apa yang terjadi beberapa saat lalu juga tidak bisa diabaikan. Mengapa harus seperhatian itu kalau memang tidak ada apa-apa di antara mereka? Tak lagi bisa diam, dia memutuskan untuk mulai mencari tahu.

Kalila mengakui bahwa Selina adalah perempuan berparas cantik, berpendidikan, dan tentu saja diinginkan banyak pria. Siapa pun tak akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta. Terlepas bagaimana perempuan harus berpenampilan, Selina tetaplah menawan.

Kehadiran Kalila dalam keluarga besar Aizar adalah karena pernikahan. Mereka tidak dijodohkan dan itu masih tetap membuat tanya dalam benaknya tak terjawab. Keluarga besar Bagus meminangnya dan diyakini bukanlah tanpa alasan.

Katakanlah Kalila bodoh karena menyetujui pernikahan itu begitu saja. Namun, keyakinan bahwa orang tua tak akan menjerumuskan anaknya pada keburukan tetaplah hal yang dipegang erat olehnya.

Bukan ketabahan dan kesabaran yang sebenarnya Kalila tunjukkan sejak kedatangan Selina di keluarga Bagus. Ada kecemburuan besar saat mengetahui bahwa suaminya memiliki sifat luar biasa sabar dan menuruti keinginan sang sepupu tanpa berpikir dua kali. Sementara dirinya? Jangankan memberi sesuatu, kewajiban sebagai suami saja tak pernah dilakukan Aizar. Apa yang ada di kepala pria itu hanyalah marah dan mencari kesalahan Kalila kapan saja.

Hati yang awalnya menerima pernikahan sebagai ibadah, nyatanya tak semudah itu untuk dilakukan Kalila. Belum pernah ada debar bahagia yang dirasakannya bersama Aizar. Segala niat baik dan keinginannya untuk tetap sopan dan menghargai suami dimentahkan begitu saja. Aizar terus mencari kesalahan, mencemooh segala sikap yang ditunjukkannya. Singkatnya, dia dianggap sebagai ketidakberuntungan.

Hati Kalila seolah teremas. Belum pernah ada binar penuh cinta di mata Aizar saat menatapnya. Rasa cinta pria itu bukan untuknya. Ungkapan kasih sayang paling sederhana pun tak pernah dia terima. Mungkin, selagi berada di rumah bapaknya, ada baiknya jika dirinya memikirkan ulang nasib pernikahan mereka.

"Assalamualaikum, Ustazah Kalila!" sebuah sapa hangat menyentuh pendengaran Kalila. Dia melihat Osama, santri berusia 16 tahun melempar senyum padanya.

"Waalaikumussalam, Osama," balas Kalila ramah, "kenapa jam segini masih di luar? Mestinya sudah tidur. 'kan?" Kalila ingat, anak itu masuk ke pesantren ini sejak usianya belum genap tujuh tahun. Di awal penyesuaian anak itu di pondok, dirinya ikut memantau dan mengajari beberapa hal.

"Saya lambat setor hafalan. Mumpung Ustaz Ridho senggang, sekalian saja saya minta dibantu."

Kalila mengangguk. "Ya sudah, masuklah! Langsung tidur, biar nggak telat bangun nanti."

"Baik, Ustazah, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Kalila melanjutkan langkah setelah Osama menghilang di balik gedung yang difungsikan sebagai perpustakaan.

Melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, Kalila berlalu sambil menarik napas dalam. Sepanjang jalan yang ditumbuhi pohon flamboyan di kiri kanan membuat udara terasa lebih dingin. Akhirnya, setelah sekian lama dia merasakan kembali damainya tempat ini. Bukan masalah dia datang bersama Aizar atau tidak, yang penting sudah berada di tempat di mana dirinya dibesarkan.

"Assalamualaikum ...." Ucapan salam kembali menyapa pendengaran Kalila. Kali ini, dia berbalik dan menemukan bapaknya dengan Gus Ali.

"Waalaikumussalam," jawab Kalila pelan. "Bapak ...." Seketika wajahnya menunduk. Keberadaan Gus Ali membuat jantungnya kembali berdetak cepat. Rasa yang dulu pernah menyapa di dada, kini muncul kembali.

"Kenapa malam-malam datang, Nduk?" Maulana menatap tajam putrinya dan Kalila tahu jelas apa sebabnya. "Mana suamimu?"

"Ada, Pak, masih beli martabak. Tadi, Kalila memang lebih pilih pulang duluan, keburu rindu." Kalila benci dengan kebohongan ini. Benar kata ibunya bahwa sekali membuat kebohongan maka akan disusul kebohongan yang lainnya. Namun, mengatakan kejujuran pasti akan menimbulkan kecurigaan.

Senyum Maulana muncul, lalu mengajaknya pulang. Tentu saja, Gus Ali pamit dan mengatakan ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan. Kalila menggandeng lengan bapaknya, bermanja seperti kebiasaannya semasa kecil sampai sebelum menikah.

"Manjanya masih belum hilang," kata Maulana memecah kesunyian sepanjang jalan. "Bapak kira bakalan hilang setelah menikah. Ganti ke suamimu."

Ada rasa menyengat di mata Kalila mendengar ucapan bapaknya. "Bapak itu akan selalu jadi kesayangannya Lila," kata Kalila setelah beberapa saat.

Ini bukanlah perkara hati mendua atau sejenisnya. Kalila tak bisa menyangkal apa yang pernah ada di hatinya. Namun, kesadaran bahwa diri tak lagi sendiri membuatnya diam selain sekadar menyapa Gus Ali melalui anggukan. Kemudian, tidak ada lagi yang terjadi. Meskipun rasanya belum pergi, otaknya tetap kembali pada kenyataan bahwa Aizar adalah suaminya saat ini.

"Memangnya beli martabak di mana?" Maulana kembali memecah sunyi. "Kamu turun di depan?"

"Nggak tahu, Pak. Tadi cuma nurunin Lila di depan, terus putar, dan pergi." Baru saja berbohong beberapa saat lalu dan Kalila sudah berbohong lagi.

Dalam hati, Kalila mengucapkan banyak istighfar supaya dosanya diampuni. Namanya kebohongan, sekecil apa pun tetaplah kebohongan. Syukurlah, rumahnya terlihat. Ibunya hampir menutup pintu saat tiba-tiba melihat kehadirannya.

"Nduk ... kapan datang? Kok bisa sama bapakmu? Mana suamimu?" Halimah menyambut Kalila dengan berondongan pertanyaan.

"Kebiasaan Ibu, kalau tanya nggak pernah satu-satu." Kalila cemberut, kemudian memeluk Halimah dengan sayang.

"Jadi?"

"Lila baru datang, Buk. Ketemu Bapak pas jalan kemari." Kalila mengurai pelukan mereka. "Makan, yuk, Buk! Lila bawa bakmi."

"Ayolah!"

"Adik mana?"

"Di sini, Mbak!" Yana, gadis bongsor dengan celana panjang dan kemeja muncul dari dalam. Tangannya sedang membetulkan hijab supaya rapi sembari melangkah mendekati Kalila.

"Kangen, Dik!" kata Kalila seraya memeluk adiknya.

"Mana Kakak Ipar?"

"Sebentar lagi menyusul," kata Kalila. "Kita siapkan makan, yuk! Ibu masak apa tadi?"

Sebentar saja, Kalila asyik dalam kegiatan menyiapkan makan malam yang terlambat. Ada bakmi yang dia bawa, sop buatan ibunya, dan tentu saja ayam goreng serta perkedel sebagai pelengkap. Saat makan malam dimulai, tidak ada percakapan berarti. Hanya pertanyaan singkat dan jawaban pendek sekadarnya. Ini adalah kebiasaan di rumah orang tuanya yang meskipun tidak ramai, tetapi Kalila menyukainya.

Berada di tengah orang yang dikenalnya dengan baik, memiliki pikiran positif, dan mendukung satu sama lain membuat Kalila lupa ketidak bahagiaannya. Masa bodoh Aizar mau datang atau tidak. Baginya, cukup dirinya aman sudah berada di rumah ketika suaminya sedang menyibukkan diri dengan perempuan yang entah statusnya bagaimana di luar sana.

"Mana suamimu" tanya Maulana terlihat heran, "mestinya tidak sampai selama ini kalau hanya beli martabak, 'kan?"

Bapack mulai curiga

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top