🍬 17. Malas 🍬
Assalamualaikum, malem, temans. Selamat Idul Fitri. Maaf sekua salah-salah, yaaa. Yang mudik tetep hati-hati dan semoga selamat sampai tujuan. Yang nggak mudik selamat bersenang-senang. Jadi ... maap lahir batin dari Aizar😆
Kalila sudah menyiapkan makan malam di meja tepat pada pukul tujuh. Hari ini, dia hanya membuat rawon yang diinginkan Bagus dan menggoreng kerupuk udang. Sambal dibuat Isah yang juga membersihkan toge untuk dihidangkan.
Bagus duduk di meja makan bersama Indri. Renita datang bersama Afif. Tak lama, Aizar pun menyusul sambil terus sibuk dengan ponsel.
"Meja makan bukan untuk bermain ponsel, Zar!" tegur Bagus yang sudah mendapatkan sepiring nasi.
"Hanya membalas e-mail penting, Pa," balas Aizar tanpa mengalihkan tatapannya dari layar enam setengah inci di tangannya.
Seperti biasa, Kalila tak pernah berbicara jika di meja makan. Suaranya akan muncul jika ada yang bertanya atau ada hal penting yang harus disampaikan. Kali ini, dia tak terlalu berselera untuk makan. Beruntung dia hanya mengambil sedikit nasi.
"Kenapa makanmu sedikit sekali, Kal?" Rupanya, gerak-gerik Kalila tak luput dari pengamatan Indri. "Malas lagi nyuapnya."
"Nggak apa-apa, Ma!" jawab Kalila. "Masih agak kenyang."
"Makan apa memangnya? Wong tak lihat-lihat kamu nggak makan apa-apa selain siang yang cuma makan sop."
Tanpa banyak bicara, Indri menambahkan nasi ke piring menantunya. Kalila hanya bisa pasrah menatap piringnya yang kini berisi lebih banyak dari porsi awal yang diambilnya. Kalau begini, mau tak mau dia harus menghabiskannya.
Kalila hanya mampu menghabiskan setengah dari yang diambilkan Indri. Dia menyerah untuk memaksa diri ketika serangan rasa mual muncul entah dari mana datangnya. Tarikan napas panjang disertai mata terpejam adalah salah satu cara untuk meredakan rasa tak enak yang menguasai.
"Kamu nggak enak badan, Kal?"
Tatapan semua orang tertuju pada Kalila, termasuk Aizar. Melihat rahang Aizar yang bergerak seolah mengunyah makanan keras, Kalila menunduk seraya menggeleng. Menjadi pusat perhatian bukanlah sesuatu yang diinginkannya, meskipun itu dari keluarga sendiri.
"Nggak apa-apa, Ma," jawab Kalila lembut, "hanya terlalu kenyang saja. Mungkin, karena tadi banyak makan semangka waktu memasak dengan Mbak Isah."
"Nggak usah dihabiskan kalau begitu!"tutur Indri. "Salah Mama yang maksa kamu buat makan banyak."
"Jangan-jangan hamil?" kata Bagus yang seketika membuat meja makan sunyi. "Sudah periksa?"
"Eh, nggak hamil, Pa. Itu cuma sedikit nggak fit saja."
"Makanya, nggak usah memaksa diri buat bantu Isah. Kalau lelah, langsung saja istirahat!"
Kalila tak menjawab ucapan Bagus. Dia hanya mengangguk samar dengan senyum kecil. Dengan keberadaan Aizar, kesalahan sekecil apa pun bisa jadi besar.
Selesai makan malam, Kalila membereskan meja. Dia tak bisa berlalu begitu saja, meskipun ada Isah yang akan melakukan tugasnya. Apa pun yang ada di rumah ini, dirinya merasa ikut punya tanggung jawab.
Selesai membereskan semuanya, Kalila duduk di ruang tengah. Seperti biasa, Indri ada di sana dan membicarakan banyak hal. Dari cerita ibu mertuanya saja, dia merasa tahu banyak hal baru yang selama ini tidak diketahuinya.
Indri mengatakan banyak barang bagus di toko online. Kalila hanya tersenyum menanggapi. Dirinya tak biasa dengan itu karena baginya, beli di toko secara langsung lebih menyenangkan. Lagi pula, buat apa dia melihat-lihat toko online kalau segala keperluannya sudah ada?
"Kamu itu nggak pernah belanja-belanja. Aizar nggak kasih duit kamu buat belanja?" tanya Indri mendelik sebal saat Kalila tak tertarik dengan apa pun yang ditawarkan.
"Nggak pernah minta apa-apa dia itu, Ma." Aizar muncul dari arah kamar, mengenakan jins dan jaket yang cukup tebal.
"Kalau istrimu nggak minta, ya kamu yang tahu diri untuk memberi. Nafkah itu beda dengan uang belanja, Zar."
"Ngerti, Ma."
"Ngerti-ngerti. Mama lihat, Kalila nggak pernah tuh pakai sesuatu selain yang dia bawa dari rumah orangtuanya dan segala yang Mama atau Papa kasih. Memangnya, kamu sepelit itu?"
"Protes melulu Mama ini. Coba gitu, Ma ... sebelum bilang gitu itu ngecek isi lemari mantunya Mama!" Ekspresi muka Aizar berubah. Meskipun tak kentara, tetapi Kalila mengetahui itu dengan baik.
"Mau dilihat apanya?" tegas Indri. "Kalau memang dia punya baru dari kamu, pasti dipakai, dong? Semua yang Mama dan Papa berikan saja, nggak ada tuh dia simpan terus. Apalagi kalau pemberian suaminya, sudah pasti dipakai."
"Mama, besok Kalila ikut arisan, ya? Jadwalnya pertemuan RW besok itu, 'kan, Ma?"
Kalila mencoba mengalihkan perhatian Indri. Dia merasa tak enak dengan Aizar. Jika merasa dipojokkan terus, pria itu akan marah dan dirinyalah yang akan menjadi korban kalimat-kalimat menyakitkan yang rasa-rasanya tak pantas diucapkan.
Beruntung Aizar tidak terus menanggapi ucapan Indri. Pria itu melangkah menuju pintu setelah merapatkan resleting jaket. Tangannya menyisir rambutnya yang sedikit lembab.
"Mau ke mana kamu malam-malam begini?" Indri mungkin tak memperpanjang permasalahan sebelumnya, tetapi ternyata masih memperhatikan putranya.
"Nongkrong sebentar. Ada janji ketemu sama teman."
"Ingat, Zar. Kamu itu sudah menikah, gayamu jangan kaya laki-laki bujang begitu!"
"Sebentar doang, Ma, astaga! Istriku saja diam, kenapa ini justru Mama yang cerewetnya ampun-ampunan?"
"Bohong, Ma!" Renita muncul dari tangga sambil memegang ponsel yang masih menyala. "Mau memuin Selina itu, Ma!"
Kalila menghela napas panjang. Rasanya sudah tak sanggup lagi. Dia ingin menyerah menghadapi permasalahan demi permasalahan yang rasanya tak pernah selesai. Dimulai dari pernikahan yang salah, tak pernah dianggap sebagai istri, status suaminya dengan Selina yang sampai sekarang tak juga diketahui kejelasannya, termasuk kehamilan yang katanya bukan anak Aizar.
Bagian mana dari diri Kalila yang kurang bersabar? Sesabar-sabarnya orang, pasti ada masanya sampai di ambang batas. Dia tahu bahwa setiap cobaan pasti ada hikmahnya dan Tuhan tak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan seorang hamba. Namun, apa yang sudah terjadi seperti sudah di luar batasnya.
"Cepu banget, sih, punya adik," jengkel Aizar, "lagian, dari mana munculnya prasangka kalau aku mau nemuin Selina?"
"Mesti cepu kalau punya kakak macam Mas Ai." Renita meletakkan ponsel di meja. "Orangnya sendiri yang bilang kalau Mas Ai jangan lama-lama. Mau ngeles gimana lagi, Mas?"
Aizar menyambar ponsel yang baru diletakkan Renita. "Kamu lancang membuka ponselku!"
Telinga Kalila berdenging karena teriakan Aizar. Entah mengapa, suaminya gemar berteriak. Bukankah bicara dengan suara perlahan juga bisa didengar?
"Siapa yang buka?" elak Renita. "Ponsel Mas Ai ada di meja atas, depan kamarku, bunyi terus gak diangkat-angkat. Aku sudah ke kamar, Mas Ai dan Mbak Kalila nggak ada, jadi ya aku angkat. Lagian, mau apa Selina nelpon jam segini?"
Aizar terlihat bingung dengan penjelasan Renita. Meskipun tahu kebingungan itu, Kalila berpura-pura tidak tahu. Menatap suaminya di saat seperti ini, pasti akan membuatnya terpojok ketika mereka sudah berada di kamar nanti.
"Bukan urusanmu, bocah!" kata Aizar sambil melotot pada Renita.
"Kamu mikir nggak, Zar, kalau kamu itu sudah menikah?" Intonasi Indri mulai tak enak didengar. "Mama lihat-lihat, kamu ini kok nggak ada pekanya jadi suami. Kalila memang diam saja, tapi mestinya kamu tahu perasaannya!"
"Aku nggak macam-macam, Ma!"
"Posisinya dibalik saja, gimana? Kalila pergi menemui pria lain, apa kamu bisa terima?"
"Ayo, Kal!" Aizar meraih tangan Kalila dan menariknya. "Ikut aku supaya Mama tahu kalau aku nggak macam-macam!"
Kalila memang berdiri karena tarikan Aizar, tetapi dia melepaskannya dengan lembut. "Kalila nggak mikir macam-macam, Mas! Pergilah kalau memang ada yang penting!"
Apa gunanya berpikir macam-macam sekarang? Aizar bahkan sudah memulai banyak macam jauh sebelum ini. Ditambah satu, dua, atau seribu, tetap tak ada pengaruhnya untuk Kalila.
"Istrimu saja malas kamu ajak keluar, Zar. Mama rasa rumah tangga kalian memang tak baik-baik saja."
Coba tebak, Aizar bakal ngeles gimana lagi sekarang?
Btw, yang mau cepat bisa ke karyakarsa. Di sana sudah bab 34. Link ada di bio-ku, yaa.
Oh iya, Kidung Merah Jambu juga update hari ini.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top