🍬 13. Terkuak 🍬

Malam, temans. Gaskeen yang mau mbaca Aizar. Pasti sudah rindu, kan?😁😁

Hari berangsur tenang setelah kepulangan Indri dari rumah sakit. Kalila menunggu Aizar karena pria itu sedang pergi ke Surabaya untuk mengurus kantor cabang yang sedikit bermasalah. Hanya sedikit kesalahan data, begitu kata Bagus.

Memang hanya Bagus, mertuanya, yang memberikan segala bentuk informasi di kantor. Meskipun tidak mendetail, bagi Kalila itu cukup. Mau dibicarakan lebih lanjut pun dia tak akan mengerti. Jadi, yang sedikit itu sudah bisa mewakili apa yang harus dan tidak diketahuinya.

Kalila sudah menarik selimut menutupi tubuh dan hampir terpejam ketika pintu terbuka. Aizar muncul dengan wajah lelah. Pria itu meletakkan tas begitu saja di lantai, lalu duduk di sofa bawah jendela.

"Pada ke mana orang-orang?" tanya Aizar menimbulkan keheranan di hati Kalila.

"Renita dan Afif ke rumah Om Agus."

"Mama dan Papa?"

"Ada di kamar."

"Mama baik-baik saja?"

"Baik." 

Dalam percakapan yang menurut Kalila lebih manusiawi itu, dia kembali bangkit dan merapikan hijab. Kebiasaan Aizar adalah minum kopi selepas pulang kerja. Jika hal lain bisa ditolak maka kopi adalah satu-satunya yang akan dicari tanpa ditawarkan.

"Kalila buatkan kopi dulu."

Kalila keluar tanpa peduli kalimatnya dijawab atau tidak. Aizar yang ramah membuatnya lebih waspada. Jangan-jangan akan ada hal serius lainnya sedang menanti. Kalila menepuk ringan dahinya, dia terlalu banyak menonton sinetron sampai berpikir serumit itu.
Saat kopinya jadi, Bagus datang dan mengambil kopi itu lebih dulu. Kalila hanya tersenyum mempersilakan. Dia kembali menjerang air dan membuatkan untuk Aizar. 

"Dari tadi baru jadi kopinya?"

Aizar duduk di meja makan dengan nada bicara yang kembali tak enak didengar. Kalila heran, suaminya itu salah makan atau bagaimana. Namun, dikatakan begitu juga tidak bisa, mengingat kesabaran suaminya yang tak pernah tebal.

"Tadi sudah jadi, diambil Papa." Kalila meletakkan kopi Aizar di meja. 

Kalila mencuci sendok bekasnya mengaduk kopi. Kebiasaannya sejak di rumah orang tua untuk tidak meninggalkan piring dan peralatan makan kotor saat akan tidur. Baru saja meletakkan sendok di tempatnya, Isah masuk membawa nampan berisi gelas kotor.

"Kenapa masih ada gelas kotor, Mbak Isah?" Kalila heran, tidak biasanya asisten rumah tangga itu bekerja hingga selarut ini.

"Temannya Mas Afif baru pulang," jawab Isah mulai membersihkan gelas. "Cuma dua ini, Mbak Kalila istirahat saja!"

"Bukannya Afif ngantar Renita pergi ke rumah Om Agus?"

"Sudah pulang, lantaran ada janjian ketemu teman itu tadi, Mbak Kal."

"Ada makanan apa, Mbak Isah?" Pertanyaan Aizar tercetus saat Kalila hampir meninggalkan dapur. "Aku lapar."

"Sambal goreng hati, Mas. Tunggu, Isah siapin dulu."

"Nggak ada sayur?"

"Kalau bisa nunggu, bisa direbuskan sebentar."

"Biar Kalila buatkan, Mbak!" Kalila urung ke kamar, berputar kembali menuju lemari es.

"Mbak Isah saja."

Langkah Kalila terhenti. Dia lupa, dalam keadaan apa pun, Aizar tak akan mau menyentuh masakannya kecuali pria itu tak tahu kalau dirinya yang memasak. Kalila terlalu berpikir serius tentang perannya sebagai istri.

Tanpa kata, Kalila meninggalkan dapur. Tidak semua niat baik itu disambut dengan baik juga, 'kan? Lagi pula, ada asisten rumah tangga di rumah ini yang bisa dimintai tolong kapan saja.

Mencoba untuk terus berpikir positif, Kalila kembali membersihkan kakinya. Setelah itu, dia membuka selimut dan mulai berbaring. Rasanya nyaman sekali setelah sedikit ketegangan di ruang makan. Matanya perlahan terpejam, merenggut kesadaran, dan mengarungi alam mimpi.

***

"Kenapa Selina diusir dari sini padahal masih mau liburan?" Anita, mamanya Selina, tidak terima dan akhirnya datang ke keluarga Bagus.

"Apa yang dikatakan anakmu saat aku mengusirnya, Mbakyu?" Berbanding terbalik dengan saat kejadian, kali ini Indri terlihat lebih santai menanggapi permasalahan.

"Hanya masalah pergi berbelanja saja kok dipermasalahkan."

"Berbelanja?" Alis Indri bertaut. "Sungguh hanya perkara berbelanja yang dikatakan anakmu?"

"Memangnya apa lagi?" Anita mengibaskan rambut, lalu memutar duduk menghadap Indri. "Bisa kuganti uang Aizar kalau masalahnya hanya terlalu banyak. Kami bukan keluarga yang miskin sekali sampai pengeluaran tak seberapa itu jadi pertengkaran keluarga. Nggak etis, Dik Indri."

Kalila yang selalu menemani Indri merasa tidak enak. Apalagi suara tinggi yang seolah menjadi kebiasaan ketika sedang ada masalah. Mau beranjak, tetapi tidak bisa karena Indri yang terus memegang lengannya.

"Memang nggak etis. Tapi, bagaimana pendapatmu kalau anakmu bilang menikah dengan Aizar."

"Apa?" Anita melotot menatap anaknya tak percaya. "Apa yang kamu lakukan, Selina?"

"Kalaupun pernikahan itu benar, aku minta perceraian segera." Indri berkata dengan tatapan tajam, tanpa kompromi, dan menegaskan maksud yang jelas. "Aku sudah menikahkan Aizar dan tidak berencana untuk mencari menantu lagi untuknya. Satu anak, satu pasangan."

"Dik Indri, tenanglah dulu!"

"Aku tidak bisa, Mbakyu. Kurasa … tidak berlebihan kalau aku mengatakan permintaanku, bukan?" Ucapan Indri memang masih tidak keras kali ini, tetapi tangannya yang memegang tangan Kalila, mengatakan hal sebaliknya. Genggamannya pada tangan sang menantu bisa dikatakan sangat erat.

"Sabar, Mbakyu!" Anita mengalihkan tatapannya pada Selina. "Apa yang sedang kamu sembunyikan dari Mama, Selina?"

Hening. Tidak ada jawaban dari sepupu Aizar yang beberapa waktu lalu begitu pongah menatap anggota keluarga. Tatapan sombongnya tak terlihat. Kepalanya menunduk dengan tangan saling meremas.

"Selina!" geram Anita, jengkel mendapati putrinya hanya bisa diam. "Mulutmu masih berfungsi dengan baik, 'kan?"

"Mas Ai memang suamiku, Ma."
Sebuah tamparan melayang ke pipi Selina. "Memalukan! Memangnya kamu nggak lihat kalau Aizar itu sudah menikah. Lagian, kalian sepupu."

"Sepupu boleh menikah, Ma." Selina memegang sebelah pipi, menatap mamanya dengan mata yang mulai berair. "Aku mencintai Mas Ai."

Kalila tetap diam seperti biasanya. Tidak ada satu kata pun yang mampu dia ucapkan. Indri belum pernah memperkenalkannya kepada kepada keluarga Selina. Tidak sopan jika tiba-tiba melibatkan diri dalam pembicaraan.

"Memang boleh, tapi nggak seperti ini caranya. Aizar sudah menikah dan seharusnya kamu nggak memasuki kehidupan mereka."

"Pokoknya aku mencintai Mas Ai."

"Inilah anak kalau nggak mau mendengarkan pendapat orang tua. Mama menyesal mengizinkanmu berlibur kemari. Mestinya, Mama mendengarkan papamu bahwa kamu tidak bisa dipercaya. Selalu membuat onar, nggak bisa diam. Kesemutan kaki dan mulutnya kalau duduk manis dan diam. Mama harus menelepon papamu."

"Jangan, Ma!" Kalau awalnya Selina masih terlihat tenang meskipun diam, kali ini tidak. Gadis itu berpindah duduk dan berusaha memeluk mamanya yang sudah menatap ponsel.

"Capek Mama dipermalukan olehmu terus." Anita tak peduli permohonan Selina.

"Maaf, Ma … tapi aku memang cinta sama Mas Ai. Jangan bilang Papa, nanti pasporku diambil."

"Mama nggak peduli. Kamu ini nggak bisa dipercaya. Dikasih hati minta jantung. Mama lelah."

Anita menelepon suaminya yang kemudian membuat Selina terduduk di lantai. Gadis itu menangis keras kini, melupakan harga diri dan kepongahan yang pernah ada. Di mata Kalila, Selina tak lebih dari gadis yang butuh dikasihani.

"Aku hamil, Ma …."

Nah, lo ... dipevel lah sudah, dipecel ajaa🤐🤐

Di karyakarsa sudah bab 26, yaa. In Sya Allah lusa bab 27 dan 28.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top