🍬 12. Angin Apa? 🍬
Selamat siaang. Kalila datang bawa voucher karyakarsa untuk 3org yang rajin komen dan sudah follow othornya. Yang kangen, selamat membaca ....
"Gimana keadaan Mama?" Kalila baru masuk kamar saat mendengar pertanyaan Aizar. Tumben pria itu bertanya. Dua hari Indri di rumah sakit, belum pernah suaminya menanyakan keadaan beliau. Setidaknya pada Kalila karena pria itu pasti datang di sela kesibukan jam kerja dan kebetulan Kalila sedang tidak di tempat.
"Baik ... sudah baik. Kalau besok pagi tensi dan hasil pemeriksaan normal, Mama sudah boleh pulang."
"Apa Mama menanyakanku?"
Kalila menatap paras Aizar sekilas, lalu menggeleng. Buat apa menanyakan orang yang menyebabkan kesehatan beliau menurun? Jangankan bertanya, menyinggung pun tidak. Kalila ada di rumah sakit sejak keberangkatan beliau ke sana dan terus bertahan tanpa pulang. Keperluannya diantarkan oleh Renita. Bapak dan ibunya yang menyempatkan diri menjenguk besan juga membawa beberapa potong pakaian untuknya.
Indri sempat menegur bahwa semua keperluan Kalila bisa dibelikan kalau yang dibawakan Renita kurang. Saat itu, ibunya hanya berkata bahwa gamis putri mereka masih banyak yang ada di rumah. Daripada beli, lebih baik membawa yang sudah ada. Lagi pula, tidak akan ada yang memakai pakaian Kalila di rumah.
Kepulangan Kalila hari ini adalah untuk mengambil barang milik Indri. Sebenarnya, itu tidak terlalu penting menurut Kalila. Namun, Bagus sempat mengatakan kalau istrinya hanya ingin memastikan kalau Selina tidak ada di rumah.
Dari dulu, Indri kurang suka dengan Selina. Bukan kepada keponakan mereka, tetapi lebih kepada sikapnya yang terlalu bebas dan tidak bisa menjaga etika pergaulan. Tidak bisa menempatkan diri bagaimana harus bersikap di depan orang yang lebih tua.
"Aku bertanya padamu!" Kalila lupa kalau Aizar tidak pernah bisa bersabar. Dia juga lupa setiap pertanyaan yang dilontarkan suaminya wajib dijawab secara verbal. Aizar tidak pernah melihatnya lebih dari dua detik. Itu pun kalau benar-benar dihitung. Sudah pasti si suami tidak tahu gerakan kepalanya.
"Mama nggak bertanya apa-apa tentang Mas Aizar." Setelah mengucapkan kalimatnya, Kalila berlalu ke kamar mandi. Dia perlu membersihkan tubuh setelah berada di rumah sakit selama beberapa hari. Meskipun selalu mandi, tetapi dia merasa tubuhnya tidak benar-benar bersih. Bagaimana mau pulang jika Indri terus menahannya. Ada saja alasan yang mertuanya itu katakan supaya Kalila setuju untuk tetap tinggal.
Siang ini, Kalila bisa pulang juga karena keberadaan Halimah yang mengatakan akan menemani sejenak. Kesempatan itu digunakannya untuk pulang. Dia juga tidak menyangka kalau akan bertemu suaminya di rumah. Ini masih siang dan tidak seharusnya Aizar berada di rumah, bukan?
"Aku tidak bisa pergi bekerja. Papa mengusirku karena tidak fokus bekerja dan Mama menolak kehadiranku di rumah sakit. Aku kalut sekali."
Rekor. Ini adalah kalimat terpanjang Aizar yang diucapkan pada Kalila. Sejujurnya, Kalila tidak tahu bagaimana harus memberikan tanggapan. Dia tidak mau merusak suasana hati suaminya yang gampang berubah. Setidaknya, itu yang sudah dipelajarinya selama ini. Sebentar baik dan akan berubah seketika ketika sadar bahwa kebaikan itu ditujukan untuk orang yang tidak tepat.
"Kal? Kenapa diam saja?"
Wah ... ini pun juga rekor. Aizar memanggil namanya. Sudah berapa bulan mereka menikah dan baru kali ini namanya keluar dari bibir suaminya. Kalila bahkan sempat berpikir kalau pria itu tidak pernah ingat namanya. Hanya ijab kabul, kemudian lupa.
"Kal?"
Apa yang bisa kalian katakan? Apa dan bagaimana hidup Aizar, dia tidak mengetahuinya. Bagaimana keseharian pria itu di luar, Kalila juga tidak tahu. Belum pernah ada hari di mana mereka berbicara dari hati ke hati. Kalila belum pernah duduk dan mendengarkan cerita Aizar selama seharian bekerja. Bagaimana teman-teman atau rekan bisnisnya. Tahu atau tidak Kalila tentang mereka semua, setidaknya dia bisa mendengar dan menanggapi. Itu kalau pernikahan normal, berhubung pernikahan mereka tidak normal maka semua hal itu tidak pernah terjadi.
"Apa yang harus Kalila katakan?"
"Capek berurusan denganmu. Selain cengeng, berpikirmu juga lambat. Payah." Aizar berlalu dari hadapan Kalila.
Kalila mengelus dada. Aizar memang tidak cocok ramah berlama-lama. Suami bermulut tajam itu tidak akan betah untuk berbicara halus terus menerus. Kesabarannya terlalu tipis dan toleransinya juga rendah.
Kalila tidak ambil pusing dengan ucapan Aizar. Setidaknya bukan hal yang perlu dipikirkan sekarang. Kejadian beberapa saat lalu masihlah lebih baik dibanding sebelumnya. Jadi, yang seperti itu masih biasa saja.
Setelah mengambil tas yang Indri maksud di kamar, ponsel Kalila berbunyi. Itu dari mertuanya yang memesan supaya dibelikan tahwa. Bibirnya menyungging senyum atas keinginan sederhana itu.
"Cari apa, Mbak Kalila?" Isah muncul saat Kalila membongkar laci di dapur.
"Kotak buat beli tahwa. Mama pengenpp katanya."
"Bukan di situ." Isah menutup laci yangs empat dibuka Kalila, lalu membuka laci di bawah konter dapur sebelah kanan. "Ini, Mbak. Sudah bersih dan ada tasnya. Cocok untuk wadah tahwa yang banyak kuahnya."
"Bukan kuah itu, Mbak Isah," kata Kalila tertawa.
"Trus apa? Juruh (gula merah yang dicairkan)?"
"Wedang jahe," sahut Kalila kalem.
"Sesukamu, Mbak. Langsung berangkat sana! Rumah aman dan bersih. Nona kecil sudah nggak di sini."
Kalila berlalu dari dapur. Di depan, dia berpapasan dengan Afif yang baru pulang dan berkata akan ke rumah sakit menjenguk mamanya. Anak itu minta supaya Kalila menunggu dan akhirnya, mereka sampai di rumah sakit setelah beberapa menit antre membeli tahwa.
"Wah, tumben Mas Ai ada di rumah sakit," cetus Afif saat hendak memasuki kamar rawat mamanya.
"Comel, anak kecil!" balas Aizar datar tanpa mengangkat wajah dari layar ponsel.
"Kalau menjenguk itu masuk, Mas!" Afif tidak terpengaruh nada bicara Aizar. "Bukan cuma duduk di depan sambil main game."
"Game gundulmu."
Enggan menunggu dua bersaudara yang sama-sama kepala batu, Kalila membuka pintu kamar. Dilihatnya Indri sudah duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah berseri meskipun sedikit pucat. Senyumnya mengembang saat tatapannya menemukan Kalila.
"Sini ... tas yang kamu ambil di kamar Mama."
"Ini, Ma." Kalila mengulurkan tas yang dimaksud. "Kapan makan tahwanya?"
"Makan tahwanya di mobil saja. Sekarang, bantu Mama ganti baju. Kita mau ke rumah Budhe Susi. Anaknya habis melahirkan."
Kalila bengong. Seingatnya, besok Indri baru boleh pulang. Ini kenapa sekarang sudah heboh? Mau pergi lihat bayi pula.
"Nggak usah banyak mikir, Kal!" Indri mengeluarkan baju dari tas dan meletakkannya di tempat tidur dan mengulurkan satu untuk Kalila. "Yang ini buatmu. Ganti sekarang! Mama kok suka sama gamis itu dan mikir kalau pasti cantik kamu pakai."
Kalila membantu Indri memakai baju barunya yang ternyata berwarna serupa dengan miliknya. Dress biru toska di bawah lutut dengan potongan longgar dengan bordir melingkar di bagian leher. Sedangkan milik kalila adalah gamis dua layer yang akan berkibar bagian luarnya saat berjalan. Tentu saja, hijab cantik berwarna senada menutup kepala cantiknya.
"Wah ... sudah siap ini Mama dan anaknya." Bagus masuk dengan suara renyah.
"Katanya keluar rumah sakit besok, Pa?"
"Memangnya, kapan mamamu nurut kalau sudah punya mau?"
Kalila mengangguk paham. Ketika merasa dirinya sehat, Indri bisa sangat keras kepala. Lagi pula, dokter tentu tahu keputusan yang diambil atas kesehatan pasien mereka.
"Sudah siap?" Aizar muncul di ambang pintu. Tatapan Indri mendadak tajam dan napasnya sedikit lebih cepat.
Mertua dan mantu cocok. Anaknya bener2 nggak ketolong. Minta diapain?
Buat FaridaHariyani9 JayatiJaya0 AnnaNoor326 dm yaa, untuk kode voucher karyakarsa. Bisa dipakai untuk baca cerita ini bab mana pun yang dimau.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top