🍬 10. Tak Mengenakkan 🍬

Malam, temans. Kemarin, aku lupa dong kalau harusnya update Aizar. Maafkaan🤔🤔

"Aku tidak akan berterima kasih karena kau sudah berbohong pada Mama."

Alis Kalila berkerut, tidak tahu maksud kalimat Aizar. Datang ke kamar dan langsung mengomel. Sebenarnya, itu bukanlah hal baru, tetapi bukankah akhir-akhir ini Aizar sudah jauh lebih tenang?

"Maksud Mas Aizar apa?"

"Aku tidak menyuruhmu untuk berbohong. Aku juga tidak bangga ketika mamaku menyuruhmu untuk mengatur keperluan rumah."

Ungkapan tentang mengatur keperluan rumah membuat Kalila ingat kejadian beberapa hari lalu termasuk peristiwa belanja bersama dengan Selina. Bagaimana suaminya begitu royal membayar belanjaan gadis itu dan melupakan kewajiban sebagai pria yang sudah menikah. Namun, tak ada keinginan untuk menegur sampai saat ini. Pria yang sudah mengakadnya, harusnya tahu tanggung jawab sebagai suami setelah mengambil alih tanggung jawab seorang gadis dari bapaknya.

"Memangnya, Mas Ai—"

"Jangan mulai untuk membantah!" Ketidaksabaran Aizar muncul secepat biasanya. "Sebentar lagi, kau akan bilang maaf. Hidup denganmu benar-benar membosankan, ya?"

Baik, ingatkan Kalila untuk tidak mengucapkan kata maaf setelah ini! Hidup bersama Aizar membuatnya untuk terus belajar. Hal-hal baru yang tidak pernah dia dapatkan selama tumbuh dalam lingkungan pesantren.

"Mbak Kalila, dipanggil Mama." Afif muncul dan berdiri di ambang pintu. "Ada tamu di depan."

"Bisa tidak ketuk pintu dulu sebelum masuk kamar orang?" Meskipun suara Aizar tidak menyebalkan, tetapi ketegasannya terdengar jelas.

"Buat apa mengetuk pintu, Mas?" bantah Afif. "Pintumu terbuka lebar. Memangnya penting harus mengetuk?"

"Kenapa kau mendadak menyebalkan, Fif?"

"Mas Ai yang cari gara-gara."

"Jangan membantah terus!"

"Siapa yang membantah?" Afif menegakkan tubuh dari posisi bersandarnya. "Mas Ai yang sensi. Lagi dapet, Mas?"

"Kau ...."

"Ayo menemui Mama, Fif!" Berpikir untuk menyudahi adu mulut Aizar dan Afif, Kalila memilih untuk mengajak adik iparnya berlalu.

Di ruang tengah, Kalila bertemu dengan Isah membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng. Secara otomatis, tangannya menerima nampan itu. Dia sudah tahu, ketika teman mertuanya datang, dialah yang harus mengantar suguhannya.

"Silakan ...." Kalila mempersilakan setelah teh dan pisang goreng terhidang di meja. Tamunya adalah suami istri dan gadis sebaya Renita. "Saya permisi dulu."

"Duduk dulu, Kal!" tahan Indri. "Ini mantuku, kalian nggak datang waktu Ai menikah. Kal, ini pakdenya Aizar yang tinggal di Bali. Waktu itu nggak datang waktu

"Tunggu!" Tamu lelaki di kursi tampak heran. "Mantumu ada dua? Maksudku ... istri Aizar dua?"

Kalaupun ada petir yang tiba-tiba menggelegar, Kalila tak akan terkejut seperti ini. Aizar menikah diam-diam dan terjadi tak hanya di belakangnya, tetapi keluarga besar mereka. Namun, sopan santun yang sudah mendarah daging dalam dirinya mencegah seluruh emosi yang ada. Dia menarik napas panjang beberapa kali, lalu berangsur tenang.

"Ap ... apa maksudmu, Mas Agus?" Indri sempat tergagap mendengar pertanyaan Agus. "Mantuku ya cuma Kalila ini."

"Tapi, beberapa hari lalu ...." Agus tampak berpikir. Alisnya berkerut seolah mengingat sesuatu. "Empat hari lalu, Aizar ke rumah untuk urusan proyek. Dia bawa perempuan ...." Pria itu menatap istrinya. "Siapa namanya, Ma? Perempuan yang mengaku istri Aizar itu?"

"Selina," sahut istri Agus. Sama dengan suaminya, alis perempuan itu pun juga berkerut. "Yang badannya berisi dan rambutnya diwarna merah. Bajunya ... uhm bajunya ...." Agus tidak bisa melanjutkan kalimat yang sudah dimulainya. Matanya bahkan melirik anak dan istrinya untuk meminta bantuan.

"Kurang bahan," sahut istri Agus tanpa malu-malu.

"Sebentar!" Indri meraih ponselnya dari meja dan mencari sesuatu. "Ini bukan?" tanyanya sambil menunjukkan satu gambar di ponsel. "Apa ini yang kalian maksud?"

"Benar," jawab Agus.

Jantung Kalila seperti tercabut. Pernikahannya baru seumur jagung dan dari awal terbina tidak pernah baik. Kalau keadaan sekarang ini benar, bagaimana dia harus bersikap?

"Kal ...." Indri terlihat merasa bersalah. "Kamu ... Mama minta maaf."

"Ma ...." Sebenarnya Kalila juga tidak tahu harus mengatakan apa. Namun, untuk ibu mertua sebaik Indri, dia bisa menekan perasaannya. "Kita tanya Mas Aizar saja nanti! Kalau pun benar, pasti ada alasannya."

"Nggak ada alasan yang bisa dibenarkan dalam kondisi ini, Kal."

"Setidaknya kita tahu alasan Mas Aizar, Ma."

"Kedatangan kami nggak bermaksud mengacau, Dek Indri." Agus terlihat tidak enak. Begitu pula istrinya yang kini menunduk dan tidak mengangkat wajah, sementara putri mereka hanya diam. "Kami hanya ingin bersilaturahmi."

"Nggak apa-apa, Mas Agus," jawab Indri santai, "kita ini saudara. Wajar kalau saling mengunjungi. Jangan sampai putus silaturahminya."

"Tapi ...." Agus menatap semakin tak enak pada Kalila. Meskipun diam, perempuan itu mengerti perasaan tak enak yang tiba-tiba menyelimuti. "Om minta maaf, Kal."

"Jangan minta maaf, Om!" ujar Kalila pelan. "Om hanya menyampaikan apa yang terjadi."

"Tetap saja rasanya seperti—"

"Sudah, jangan dibahas lagi!" sela Indri, "ini bisa dibahas nanti dengan Aizar."

Mendengar nama Aizar disebut, perasaan Kalila justru semakin nelangsa. Semula, dia berpikir bahwa ini bukanlah pernikahan yang diinginkannya. Sekarang ada hal lain lagi yang muncul di benaknya, bahwa pernikahan ini bukan untuknya.

"Kalila ...." Rupanya, istri Agus benar-benar peka dengan sekelilingnya. Mata itu mengamati Kalila yang terus berusaha mengendalikan diri.

"Kalila nggak apa-apa, Tante." Kalila mengusap lembut pipinya. Ucapannya bohong dengan mengatakan kata itu padahal air matanya tidak bisa berhenti mengalir. "Jangan merasa bersalah dan tidak enak."

Kalila tidak tahu kapan Indri meraihnya ke dalam pelukan. Tiba-tiba saja, wajahnya sudah berlabuh di bahu sang mertua. Usapan halus di kepalanya adalah bukti bahwa kasih sayang itu tetaplah miliknya.

"Nggak apa-apa, Kal. Mama janji semuanya akan baik-baik saja," janji Indri.

Apanya yang baik-baik saja? Kalila bahkan belum pernah dianggap oleh Aizar. Kemudian, setelah keadaannya jadi seperti sekarang, masihkah dirinya akan dipertahankan?

Ini bukanlah kisah poligami yang Kalila pikir akan menghampiri hidupnya. Sungguh ... meskipun diperbolehkan, dia belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Ilmunya belum sampai di tahap ini.

"Kal ...." Indri mengurai pelukannya saat tidak mendapat respons Kalila.

"Ya, Ma?"

"Kok diam?"

Bagaimana tidak diam? Kalila bahkan tidak tahu harus berkata apa. Indri selalu baik, rasanya tidak pantas jika beliau mendengar semua keluhan hatinya. Lagipula, apa yang harus dikeluhkan?

Kalila sudah setuju dengan pernikahan ini. Apa dan bagaimana Aizar memperlakukannya, biarlah itu menjadi rahasianya. Untuk sementara, diam masihlah hal terbaik untuk dilakukan.

"Kalila mesti ngomong apa, Ma?"

"Mama berharap kamu bisa marah, Kal. Hal ini pasti menyakitimu, marahlah! Mama nggak keberatan sama sekali meskipun Aizar itu putra Mama."

Kalila meremas tangan Indri yang bertautan dengan tangannya. "Setidaknya, kita bisa menunggu sampai Mas Aizar untuk menceritakan semuanya, Ma."

Kesabaran Kalila beneran war byasaahh.

Oh iya ... buat teman-teman yang rajin komen, minggu depan kukasih voucher gratis untuk 2 bab di karyakarsa untuk 3 orang. So ... jangan lupa tinggalkan jejak.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top