🍬 1. Tak Diharapkan 🍬

Malem, temans. Aku datang dengan cerita baru. Semoga suka, yaaa🥰

Seperti biasa, baca selagi on going. Kalau PO artinya tamat dan jangan bilang saya cetak tapi belum tamat.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur haalan."

Kalimat yang diucapkan begitu lancar telah menghalalkan Kalila menjadi istri dari Aizar. Pria yang meminangnya pada sang ayah. Laki-laki yang katanya memiliki semua kualitas baik dalam dirinya. Tampan, mapan, dan budi pekerti yang baik.

Kualitas yang katanya diinginkan oleh setiap orang tua untuk dijadikan pendamping bagi putri mereka. Sayangnya, keberuntungan itu hanya didapatkan oleh Kalila, putri sulung Ustaz Maulana yang terkenal dengan kesopanan serta kelembutannya. Gadis cantik yang tidak pernah diperkenankan keluar rumah tanpa pengawalan dari saudara laki-laki atau ayahnya sendiri.

Beberapa hari menjelang pernikahan, Kalila tidak diizinkan untuk keluar rumah, dipingit istilahnya. Beberapa teman dan para sepupu menemuinya di rumah. Hampir semua dari mereka menggodanya. Tak ada yang mengatakan hal buruk tentang Aizar. Semua mengatakan betapa tampan calon suaminya dan Kalila menanggapi itu dengan senyum.

"Terus saja senyum-senyum begitu." Reina, salah satu sepupu Kalila, masuk kamar disusul Halimah, ibunya, yang langsung meraih tangannya dan menggenggamnya hangat.

"Alhamdulillah, Kal. Akhirnya kamu sudah menikah."

Kadang-kadang Kalila heran orang tua membesarkan anak-anak mereka, menyayangi dan mendidiknya dengan baik, lalu berakhir dengan menikahkan yang pasti direlakan untuk pergi mengikuti suaminya. Begitu pula dengan ibu dan bapaknya. Susah payah membesarkannya, diberi pendidikan bagus yang belum menghasilkan apa-apa dan dirinya sudah dinikahkan.

"Padahal dalem (saya) baru saja lulus dan belum sempat bekerja. Ini jelas meng-"

"Cukup, Kal!" sela ibunya. "Selaku orang tuamu, bapak dan Ibu ndak pernah berpikir yang begitu.

Kalila bukannya dijodohkan, tetapi dia sendiri yang memasrahkan urusan itu pada bapaknya. Jika ada pemuda yang menurut beliau baik dan meminangnya maka dia setuju. Pilihan orang tuanya adalah pilihannya juga. Tidak penting bagaimana rupanya, asal bapaknya menerima artinya pria itu telah terpilih.

"Waduh, yang sudah jadi istri orang ini bawaannya ngelamun terus." Lagi-lagi Reina melempar candaan. "Kalau efek menikah bisa sedahsyat ini, aku jadi pengin menikah juga."

"Hus." Halimah menyentil bibir gadis centil itu gemas. "Tangan saja belum nyentuh kuping, macam-macam saja pikirannya."

"Ih, Budhe ini. Reina sudah kuliah!"

"Semester satu. Sama saja itu masih SMA. Selesai kuliah dulu, baru boleh menikah."

Reina cemberut. "Mbak Kalila saja sudah boleh menikah. Padahal belum lulus kuliah," gerutunya.

"Siapa bilang?" tanya Kalila kalem. "Tapi, nggak usah terlalu dipikirkan. Nanti, ada saatnya seorang pria meminangmu pada ayahmu."

"Ih, tidak!" seru Reina spontan. "Malas banget kalau nggak kenal calonnya. Kalau dapatnya pas seperti Mbak Kalila, sih, nggak apa-apa. Kalau dapatnya jelek ...." Gadis berpembawaan ceria ini bergidik. "Seperti beli kucing dalam karung."

"Wis," sela Halimah. "Ayo keluar! Sebentar lagi suami mbakyumu pasti masuk.

Kalila tersenyum mendengar ucapan sepupunya. Dia biarkan ibunya menarik tangan Reina keluar. Tak lama, sebuah suara bariton mengucapkan salam disusul kemunculan pemiliknya.

"Waalaikumsalam," balas Kalila lembut.

Ada debar tak menentu ketika Aizar melewati ambang pintu. Saudara-saudaranya benar. Aizar adalah pria yang tampan. Wajahnya bersih, hidungnya mancung, alisnya lebat menaungi sepasang mata yang menyorot hangat. Bibirnya mengulas senyum yang mendadak surut ketika mata mereka bertatapan. Ada sorot bertanya di sana.

Ketika senyumnya telah menghilang sempurna, ada binar tak suka di mata yang tadinya bersorot hangat. Benarkah tidak suka? Kalila tidak berani berprasangka. Kepalanya kembali menunduk begitu suaminya tiba di hadapannya.

"Siapa kau?"

Lelucon apa ini? Bagaimana bisa Aizar menanyakan pertanyaan semacam itu padahal beberapa menit lalu baru saja menghalalkannya. Apakah ini bercanda? Namun, ini bukan saatnya untuk itu, bukan?

"Mas, apa-"

"Diam!" geram Aizar tertahan. "Aku tidak mengenalmu, jadi bagaimana bisa kau ada di sini?"

"Tapi, a-aku ...," ucap Kalila terbata. Tangannya mengusap kening dengan selembar tisu yang sejak tadi diremasnya. "Aku Kalila, Mas."

"Kalila!" seru Aizar. Kini giliran dia mengusap kening. Bukan dengan tisu, tetapi punggung tangan.

"Me-memangnya Mas Aizar tidak melihat foto Lila?"

Aizar terdiam. Matanya memindai wajah Kalila cermat. Untuk sesaat, mata itu terlihat kosong, lalu kembali menyorot dingin.

"Kalau kau memang Kalila, ayo ke depan!" ajak Aizar. "Anggap saja aku tak mengatakan apa-apa."

Aizar melangkah terlebih dulu keluar kamar. Dia terlihat tak peduli apakah Kalila akan mengikuti atau tidak. Meskipun tidak mengerti mengapa suaminya bersikap seperti itu, tetapi Kalila mengikuti.

Tak bisa mengimbangi langkah panjang Aizar, Kalila melangkah lebih cepat. Beruntung dia mengenakan gamis meski langkahnya membuat baju itu tak terlihat anggun. Bahkan, dia sedikit mencengkeram pakaiannya supaya tak terinjak.

Hampir saja Kalila menabrak punggung Aizar kalau saja tak menghentikan langkahnya tepat waktu. Suaminya hanya menoleh dan memberikan isyarat supaya Kalila menggandeng tangannya.

Tanpa kata, Kalila menurut. Diselipkan tangannya di lengan Aizar, lalu melangkah menuju meja di tengah ruangan. Tempat itu pasti tempat akad nikah dilangsungkan, pikirnya. Ada bapaknya di sana yang langsung menoleh dan menyunggingkan senyum yang tak pernah gagal memberikan ketenangan.

Kalila berpikir bahwa sejak detik ini, dia membutuhkan senyum itu lebih dari biasanya. Ketika suara Bapak menembus pendengarannya, Kalila sadar bahwa dia terdiam cukup lama. Dia menoleh, Aizar menatapnya datar.

"Tanda tangan di sini, Nduk!"
Kalila mengambil pulpen dan membubuhkan tanda tangan. Setelahnya, cincin disematkan disusul pemberian maskawin serta doa-doa untuk kebahagiaannya.

Prosesi demi prosesi berlangsung lancar. Kalila menikmati acara pernikahannya yang meskipun mewah, tetapi suasananya tetap hangat. Rasa kekeluargaan begitu kental. Seluruh keluarga besar dari pihak bapak dan ibunya datang lengkap dengan sepupu-sepupunya kecuali yang sedang kuliah di luar kota. Saatnya ujian, itulah mengapa dia tidak melihat beberapa sepupunya.

"Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, ya Nduk. Budhe hanya bisa mendoakanmu."

Kalila membalas pelukan budhenya. "Sesungguhnya, Kalila hanya memerlukan doa, Budhe. Lebih dari segalanya."

Giliran Halimah yang memeluk Kalila. "Jangan aneh-aneh di rumah suamimu, Nduk!"

"Inggih, Bu." Kalila mencium punggung tangan ibunya sebelum berpindah pada bapaknya. "Kalila pamit, Pak."

Bapaknya mengangguk. "Nak Aizar, titip Kalila. Bimbing dia supaya menjadi istri salehah. Sering-seringlah main ke sini!"

Ada getar halus dalam suara pria yang telah membesarkan Kalila selama dua puluh tiga tahun. Tentu saja beliau begitu karena tak bisa menahannya yang kini harus menurut pada Aizar. Suaminya mengajak pulang malam ini juga karena ada pekerjaan mendesak yang harus dilakukan.

Entah berapa lama perjalanan yang hanya berisi keheningan itu tertempuh. Kalila keluar mobil tanpa menunggu Aizar membukakan pintu begitu mobil berhenti di sebuah rumah. Dia melangkah masuk setelah suaminya membuka pintu.

"Kamarmu ada di situ." Aizar menunjuk pintu yang berada di ruang tengah. "Yang ini kamarku."

"Mas, tapi bu-"

"Jangan berharap banyak. Aku tak mengenalmu. Jadi, sebaiknya jagalah perilakumu!"

Kalila tentu tersentak mendengar ucapan suaminya. Apa maksud di balik ucapan itu? Bukankah keluarga pria itu sendiri yang meminang dirinya? Tidak mungkin ada pernikahan ini jika tanpa pinangan, bukan?

"Mas-"

"Aku tak menghendaki dirimu sebagai istri. Jaga batasanmu!"

Eaakk ... sudah langsung esmosi? Suka nggak? Kalau suka aku lanjut, kalo enggak ya kapan-kapan aja😁

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top