Tragedi

Bima menatap tajam ke Hanum. Di tangannya menggenggam kertas surat dari Angga. Tak disangka saat tiba di rumah, Bima sudah ada di kamarnya. Pria itu ingin memberi kejutan dengan berniat mengajak mereka semua jalan-jalan. Namun, rupanya Rukmini menitahkan agar Bima beristirahat di kamar Hanum sambil menunggu kedatangan mereka.

"Kita pulang sekarang! Cepat berkemas!" titahnya dengan mata yang sama sekali jauh dari kata ramah.

Tak menjawab, Hanum mengikuti perintah suaminya. Entah apa yang terjadi nanti di rumah. Membayangkan saja dia tidak berani, apa lagi jika nanti tiba di kediaman mereka.

Tanpa suada Hanum memasukkan pakaiannya. Sementara Bima tak melakukan apa-apa, bola matanya terus bergerak mengikuti aktivitas sang istri.

"Sudah selesai?" tanyanya ketika resliting koper ditarik.

Hanum mengangguk sambil merapikan rambutnya.

"Ayo, turun!"

Mereka berdua meniti anak tangga. Di ruang tamu sudah menunggu ibunya, Tania dan Lila. Terlihat jelas wajah kedua adiknya khawatir. Terlebih Lila, paras gadis itu tampak paling khawatir dibanding Tania.

"Mbak Hanum, sering-sering telepon Lila ya! Mas Bima, jaga baik-baik Mbak Hanum ya. Kamu semua sayang sama Mbak Hanum," ujarnya saat Bima memohon diri kepada Rukmini untuk mengajak istrinya pulang.

"Iya, Lila. Kamu jangan khawatir!" jawabnya singkat kemudian menatap sang istri.

"Kita pulang sekarang?"

Hanum mengangguk. Dia lalu memeluk Rukmini, Tania dan terakhir Lila.

"Kamu jangan khawatir, Mbak baik-baik saja, Lila," bisiknya sangat lirih.

**

Di mobil kembali ketegangan terjadi.  Kali ini Bima melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, sehingga menyebar Hanum cemas.

"Mas, jangan ngebut, Mas! Aku takut!" tuturnya memohon.

Bima menyeringai.

"Takut apa? Apa yang ditakutkan jika ternyata hidup pun selalu dipenuhi kecewa? Apa!"

Hanum menggeleng. Dia menyadarkan bahwa dirinya sangat ceroboh hingga surat yang seharusnya dia simpan akhirnya terbaca oleh Bima.

"Apa? Kamu sedang memikirkan Angga?"

Bima lalu tertawa sumbang.

"Jelas sudah apa yang aku duga dan khawatirkan sejak dulu, kan? Angga masih mencintaimu begitu pula sebaliknya! Dan aku? Apa pun yang aku usahakan sama sekali tidak pernah ada artinya di hatimu!"

"Mas Bima! Dengarkan aku! Dengarkan penjelasanku, Mas!"

"Apa yang harus aku dengar? Semua sudah jelas, Hanum!" Kembali Bima tertawa dan lagi-lagi menginjak gas lebih kencang.

"Itu surat memang aku terima dari Angga, tapi aku sama sekali nggak punya niat atau keinginan untuk merespons! Aku tahu posisiku, Mas. Tolong berhenti berpikir hal yang sama dan terus berulang-ulang!"

Bima menoleh sejenak kemudian kembali menatap lurus ke depan. Hatinya diliputi kekecewaan yang mendalam. Dia merasa sudah memberikan segalanya yang terbaik untuk Hanum dan keluarga, tetapi tidak menerima apa yang dia harapkan.

Perasaan nyaman dan rasa cinta dari Hanum sepanjang masa pernikahan mereka menurutnya selalu ada kisah Angga. Bima berpikir sosok Angga sudah menjadi momok yang selalu hadir di antara dia dan Hanum.

"Terserah! Kamu berhak membela diri atau beralibi. Itu hakmu, aku nggak percaya dan nggak peduli itu juga hakku!" Suara Bima meninggi.

"Mas tolong, hati-hati! Pelankan mobilnya, please!" Kembali dia memohon seraya mengusap bahu sang suami.

Bima kembali menyeringai, dengan kasar dia menepis tangan istrinya.

"Mas tolong! Aku janji ini nggak akan terjadi lagi. Aku janji akan benar-benar memutus apa pun dan kamu harus yakin kalau aku benar-benar bisa menerima dan mencintai kamu, Mas. Tolong, lakukan demi aku," pintanya kali ini dengan air mata.

Seolah tak mendengar, Bima terus memacu mobilnya lebih kencang. Karena malam sudah semakin larut sehingga kendaraan pun hanya bisa dihitung dengan jari.

"Mas Bima! Dengarkan aku, kalau Mas memang cinta ke aku, tolong jangan seperti ini. Pelankan mobilnya, Mas!"

"Aku nggak peduli, Hanum! Kamu tidak pernah menyadari kalau aku benar mencintaimu sejak awal kita bertemu. Tapi aku cukup tahu diri karena kamu mencintai cecunguk itu!"

"Sesederhana itu seharusnya kamu bisa memahami aku, Hanum! Tapi itu pun kamu tidak pernah bisa memahami dan menerimaku!"

Mobil terus melaju membelah malam.

"Dan saat Angga meninggalkanmu, aku masuk perlahan dan berusaha membuat kamu bahagia atau setidaknya terhibur hingga perlahan bisa menerimaku, tetapi aku salah! Aku bukan pria yang pantas untuk dicintai! Bima kembali tertawa sumbang kali ini dia membuka kaca jendela mobil dan berteriak, "Aku telah jatuh cinta pada orang yang salah dan tidak pantas menerima cintanya! Dasar bodoh! Pecundang! Bima, kamu bodoh!"

"Mas Bima! Awas, Mas! Mas Bima!" Hanum memekik kencang.

Tak lama kemudian suara dentuman keras memecah gulitanya malam itu. Asap mengepul membumbung ke angkasa. Orang-orang di sekitar tempat itu segera bergerak cepat mengeluarkan orang yang berada di dalamnya. Beberapa orang lagi terlihat sibuk menelepon polisi dan ambulans.

**

Angga menyambar kunci mobil dan berlari ke garasi. Sejenak kemudian kendaraan beroda dua itu sudah meluncur menuju rumah sakit yan diinformasikan Lila. Berulang-ulang dia memohon kepada Tuhan agar Hanum dalam keadaan baik-baik saja. Wajahnya terlihat tidak sabar ingin segera tahu kondisi terakhir perempuan yang memiliki senyum menawan itu.

Setibanya di rumah sakit, pria berkaus putih itu mengambil langkah seribu menuju bagian informasi untuk menanyakan kondisi korban kecelakaan yang baru saja masuk.

"Keduanya masih di ruang IGD, Pak. Silakan Bapak jalan terus, kemudian ada lorong itu di sebelah kanan ruangannya," jelas perempuan berbaju seragam rumah sakit itu dengan ramah.

Setelah mengucapkan terima kasih, Angga mengayun langkah ke ruangan yang ditunjukkan. Di sana sudah ada keluarga Hanum. Dia melihat Rukmini tengah duduk menangis didampingi kedua adik Hanum. Sementara di sisi lain dia orang suami istri patuh baya juga tampak tengah menangis.

"Ibu ... Tania, Lila," sapa Angga setelah mendekat.

Mereka bertiga mendongak. Terlihat jelas kesedihan yang sangat dalam tergambar di paras mereka.

"Mas Angga." Lila terisak dan menghambur di pelukan pria itu. "Mbak Hanum, Mas. Mbak Hanum ...."

"Sstt ... Mbak Hanum pasti akan baik-baik saja. Kamu harus percaya. Mas Angga yakin Tuhan akan menyelamatkan Mbak Hanum," tuturnya mencoba menenangkan.

"Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Mbak Hanum, Lila nggak pernah memaafkan Mas Bima! Mbak Hanum sengsara karena Mas Bima. Lila benci Mas Bima!" ujarnya di sela isak.

"Lila, kamu nggak boleh bicara begitu. Daripada terus mengutuk gimana kalau kita berdoa. Berdoa supaya Mbak Hanum baik-baik saja," usulnya.

Lila mengangguk pelan sembari mengusap pipinya yang basah.

Sementara di ruang IGD, kondisi keduanya masih dalam pantauan tim medis. Angga berulang-ulang menarik napas dalam-dalam . Bibirnya terus merapal doa berharap Hanum dan Bima bisa melewati masa kritisnya.

Beragam alat terlihat dipakai Bima. Sementara Hanum terlihat lebih sedikit alat yang dipakai. Menurut informasi yang dia dapat, Bima banting setir karena menghindari truk yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka saat Bima hendak menyalip mobil di depannya.

Angga memijit pelipisnya membayangkan situasi yang terjadi di mobil yang dikendarai Bima. Dan kilas wajah Hanum yang panik juga ikut membayanginya.

"Hanum, please! Kamu harus kembali. Kamu harus kuat," bisiknya.

**

Boleh komentarnya?

Terima kasih sudah mampir ke ceritaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top