Rasa yang tak terungkap


Berkali-kali Hanum mencoba memejamkan mata, tetapi sia-sia. Bayangan Angga justru semakin menari-nari di kepalanya. Kesal dengan kegelisahan yang dialami, Hanum beranjak dari tempat tidur menuju ke meja rias kemudian duduk menghadap cermin.

"Kenapa kamu lakukan itu, Angga? Kenapa?" gumamnya seolah pria itu berada di depannya.

Getar ponsel di sebelahnya mengalihkan pandangan Hanum. Nama pria yang siang tadi semakin memporak-porandakan hatinya menelepon. Tak ingin suasana hatinya semakin bercampur aduk, Hanum membiarkan ponsel itu terus bergetar.

Namun, rupanya si pemanggil gak jemu meski diabaikan ponsel itu terus bergetar hingga Hanum me-nonaktifkan telepon genggamnya.

"Cukup, Angga!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca lalu kembali melangkah ke ranjang.

Sementara di tempat yang berbeda, Angga tampak cemas. Dia tahu saat ini tentu Hanum sangat marah padanya. Dirinya juga mengutuk apa yang telah dia lakukan kepada sahabatnya itu.

"Sial! Sekarang malah nggak aktif! Dia pasti sangat marah," gerutu Angga seraya mengusap kasar rambutnya.

Pria beralis tebal itu berjalan mondar-mandir di kamarnya. Sesekali dia memijit pelipis lalu membuang napas kasar. Dengan menggerutu, dia melangkah cepat ke luar kamar.

"Mau ke mana malam-malam begini, Angga?" tegur Edi papanya.

"Ada perlu sebentar, Pa!" jawab Angga seraya menyambar kunci mobil.

"Jangan lama-lama! Ingat! Kamu sebentar lagi menikah, Angga!"

"Iya, Pa. Angga tahu," ujarnya. "Angga pergi dulu, Pa!"

Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang di jam sepuluh malam rupanya tak membuat dia sampai cepat di kediaman Hanum. Kendaraan yang masih lalu lalang membuat dia cukup frustrasi.

Angga menaikkan kecepatan. Satu jam lagi portal komplek tempat tinggal Renata akan tutup. Itu artinya komplek itu tidak lagi menerima tamu kecuali mereka yang tinggal di sana.

"Halo, Mas Angga! Selamat malam!" sapa sekuriti.

Dia dan sekuriti di komplek Hanum sudah kenal. Tentu saja karena waktu itu setiap hari dia  selalu menjemput dan mengantar perempuan itu. Tak heran jika para sekuriti sedikit membebaskan dia untuk masuk meski waktu sudah hampir pukul sebelas malam.

"Tumben, Mas? Malam-malam begini ke rumah Mbak Hanum?" tanya pria berseragam biru gelap itu dengan ramah. "Kangen ya? Sudah lama saya nggak lihat Mas Angga jemput dan antar Mbak Hanum," imbuhnya.

Angga tersenyum tipis mendengar ucapan pria itu.

"Eh iya, sekarang yang jemput Mbak Hanum beda orang. Apa Mas Angga putus sama Mbak Hanum?" tanyanya ingin tahu.

"Putus?" Kening Angga berkerut. Sekuriti itu berpikir jika dia dan Hanum selama ini tengah berpacaran. Menarik napas dalam-dalam, Angga belok bertanya, "Pak Anto. Saya boleh masuk ya?" tanyanya penuh harap.

Mengangguk ramah, pria paruh baya bernama Anto itu mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, Angga meluncur ke blok tempat rumah Hanum tinggal.

Sepi. Semua lampu menyala selain lampu kamar Hanum. Jendela kamar itu masih terbuka.  Dia yakin sahabatnya itu sama sepertinya. Tidak bisa tidur. Angga diam, dia tak mengetuk pintu pagar rumah itu. Pria berkaus abu-abu itu hanya membuka jendela mobilnya dengan kepala mendongak menatap kamar Hanum.

Kejadian singkat siang tadi kembali melintas di ingatan. Ada dorongan kuat yang tak bisa dilawan saat dia melakukan hal itu. Menyesal? Mungkin, tetapi entah kenapa dia justru bisa sedikit bernapas lega telah melakukan hal seperti itu kepada Hanum.

"Hanum, aku tahu kamu belum tidur. Please, apa pun yang kamu rasakan saat ini aku juga bisa merasakannya. Aku minta maaf untuk itu. Sekarang aku mohon kamu tidur ya," tuturnya dengan pandangan masih di jendela kamar  Hanum. "Kamu harus tidur. Kamu harus istirahat karena aku nggak bisa lagi menjaga dan mengingatkan seperti waktu itu. Aku tahu maksudmu, aku tahu kenapa kamu menjauh. Terima kasih untuk semua pengertian. Maafkan aku, Hanum.

Sementara di kamar, Hanum berdiri mematung bersembunyi di sebelah jendela. Deru mobil Angga sudah sangat melekat di kepalanya. Mengintip di sela-sela tirai dan dia yakin itu adalah Angga. Perempuan berparas cantik itu bersandar di dinding.

Dia sangat paham Angga tidak akan pergi dari situ sebelum dia menampakkan diri. Akan tetapi, tidak mungkin baginya karena berbagai alasan, saya satunya sudah pasti Hanum ingin menjaga perasaannya yang semakin hari semakin tercabik terlebih kejadian siang tadi.

"Hanum, aku kan tetap di sini. Aku nggak peduli kalau sekuriti itu akan mengusirku. Aku akan kembali ke sini sampai kamu muncul di jendela itu!"

Hanum menarik napas dalam-dalam. Angga sudah mulai mengancam. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas
Itu berarti portal akan ditutup dan Angga pasti bakal diusir jika masih di sana.

"Pergi, Angga! Cukup! Pergi kamu sekarang. Aku nggak apa-apa. Aku baik-baik saja. Aku akan tetap istirahat dan tetap tidur tanpa kamu minta. Nggak perlu kamu pikirin aku lagi. Terima kasih sudah begitu perhatian padaku. Aku mohon! Untuk saat ini berhenti memikirkanku dengan alasan apa pun. Please! Lakukan apa yang aku mau demi persahabatan kita!" Suara Hanum bergetar mengatakan hal itu panjang lebar. Matanya berkaca-kaca, tetapi dia bersyukur karena Angga tidak akan tahu jika sebenarnya dirinya tidak sanggup menahan jatuhnya bulir bening itu.

Angga mengangguk dengan senyum getir. Dia senang Hanum mau menemuinya meski dari jendela.

"Oke, Hanum. Aku pergi, tetapi permintaanmu itu ... aku nggak janji karena sulit buatku. Tapi nggak apa aku coba demi persahabatan kita! " Angga mengembuskan napas perlahan lalu mengangguk.

"Selamat malam, Hanum. Selamat istirahat ... aku pergi."

Angga menutup perlahan kaca jendela setelah Hanum menutup jendela kamarnya. Kisah mereka rumit, karena begitu banyak perasaan bercampur aduk di dalamnya. Hanum yang diam-diam memendam rasa, sementara Angga yang tidak peka dan kini justru gelisah merasakan hal berbeda saat jauh dari sahabatnya itu.

**

"Mbak Hanum! Dipanggil Ibu, Mbak! Kita semua sudah siap!" seru Tania dari luar kamar.

Hari ini tanggal delapan September. Angga dan Ajeng melangsungkan hari indah mereka. Acara hikmat itu akan dilaksanakan pagi ini di masjid komplek rumah Angga. Dia dan keluarganya diminta khusus untuk hadir oleh Angga. Pria itu sengaja menelepon ibunya dan meminta sendiri hal ini.

Sementara saat ini Hanum masih duduk tercenung di depan cermin dengan masih memakai piyama.

"Mbak Hanum?" panggil Tania lagi.

"Tania, tolong bilang ke Ibu Mbak Hanum pergi ke pesta Mas Angga malam aja. Pagi ini perutbak mules. Tolong ya bilang ke Ibu!" sahutnya dari dalam kamar.

Tania mengernyitkan dahi kemudian mengangguk. Meski dia masih SMA, tetapi dia tahu ada alasan lain selain sakit perut. Tania paham jika kakaknya itu hanya mencoba menghindari bertemu dengan Angga.

"Oke, Mbak. Tania sampaikan. Mbak cepat sembuh ya," tuturnya seraya menjauh lelu berlari kecil turun meniti anak tangga.

"Mana Mbak Hanum?" tanya Rukmini.

"Ibu, Mbak Hanum sakit perut. Dia menyuruh kita pergi tanpa menunggu dia."

Perempuan berkebaya putih dengan sanggul kecil berhias melati itu menarik napas dalam-dalam. Dia paham apa yang dirasakan puterinya hingga tanpa bentuk bertanya, dia mengajak Lila dan Tania untuk segera masuk ke mobil.

"Siapa yang nyetir, Bu?"

"Ibu yang nyetir."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top