Posesif
"Aku baik-baik aja kok, cuma memang belakangan sibuk banget." Angga tersenyum menjawab pertanyaan Hanum.
Hanum menarik kedua sisi bibirnya, kali menarik napas dalam-dalam. Meski mencoba terlihat bahagia, tetap saja di mata Angga, sahabatnya itu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kamu baik-baik aja, kan, Hanum?" tanyanya.
Mengangguk, Hanum menaikkan alisnya.
"Ajeng apa kabar? Eum ... apa dia sudah hamil?"
Manik Angga menangkap gurat luka di mata Hanum.
Menarik napas, Angga mengedikkan bahu.
"Tuhan belum izinkan untuk itu sepertinya, Hanum," tuturnya dengan senyum. "Doakan ya."
Perempuan berkulit kuning langsat itu mengangguk. "Apa pun itu asal kamu bahagia, pasti kudoakan!" Hanum menarik napas dalam-dalam. "Sepertinya Ajeng sudah sangat ingin memiliki anak. Karena dia sempat berbisik waktu acara resepsi pernikahanku tempo hari. Dia juga memintaku untuk mendoakannya."
"Oh ya? Dia bicara begitu?"
Hanum mengangguk. "Hal itu wajar kok. Terlebih mungkin dia sudah sangat siap. Semoga Tuah segera menjawab doa kalian ya."
Kembali dia merasa ada ribuan anak panah yang menusuk hati. Ternyata ikhlas melepas itu tak semudah yang orang-orang ucapkan. Tak secepat yang dia perkirakan. Terbukti, Hanum masih merasakan sakit ketika membicarakan soal Ajeng bersama Angga.
Angga tersenyum samar. Ajeng semakin lama memang semakin sering uring-uringan, terlebih karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari semua usahanya. Tak kurang dia menasihati agar bersabar, tetapi istrinya itu seolah enggan untuk mendengar. Dia semakin sering melamun dan menangis.
"Hanum."
"Ya?"
"Ada yang aku mau tanyakan ke kamu."
"Apa itu?"
"Aku harap kamu jawab jujur ya."
Hanum menyipitkan matanya seraya memiringkan kepala.
"Apa yang mau kamu tanyakan? Tanyakan aja!"
Angga menghela napas panjang seolah ingin mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan.
"Apa selama ini Bima memperlakukanmu dengan baik?"
Kening Hanum tampak mengernyit mendengar pertanyaan itu.
"Maksud kamu?"
"Eum, iya, apa Bima selama ini tidak pernah membuatmu sedih?"
Hanum bergembira. Sedih? Entahlah, tetapi kalau dibilang sedih itu bukan karena Bima bersikap keras padanya. Pria itu hanya ingin menunjukkan jika dirinya benar-benar ingin menjaga Hanum dengan baik. Jika mungkin dirasa terlalu over protective, selama ini Hanum masih bisa mencoba menerima meski terpaksa.
"Hanum? Melamun lagi, kan?"
Sambil melebarkan bibirnya, Hanum menggeleng.
"Bima baik, kok! Dia nggak pernah bikin aku sedih. Aku happy, sama sepertimu. Kamu happy juga, kan?"
Pernyataan sekaligus pertanyaan Hanum membuat Angga tak sanggup berkata-kata lagi. Meski perempuan itu mengatakan dengan senyum, tetapi tidak dengan matanya. Sementara dia sendiri? Bahagia? Iya! Tentu saja dia bahagia, tetapi entah kapan terakhir dia bisa tertawa bareng Ajeng. Dia lupa kapan mereka berdua menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan dan menghabiskan waktu nonton film kesukaan.
Semua itu sudah tidak ada lagi. Semakin hari semakin membosankan yang dia rasa. Karena Ajeng memilih sibuk dengan ambisinya untuk segera mendapatkan anak.
"Angga? Jangan bilang kamu sedang bermasalah! Kalau pun bermasalah aku harap bukan dengan Ajeng," ujarnya menatap Angga.
Pria itu tersenyum singkat kemudian menggeleng.
"Biasalah, Num! Bukannya hidup itu memang begitu? Akan selalu ada masalah dan itu memang sudah seharusnya."
Seperti Angga, Hanum juga merasa sahabatnya itu sedang menyembunyikan hal yang sesungguhnya. Pembawaan Angga yang penuh canda jika bertemu dengannya kini terlihat ada yang berusaha dia hindari.
Sejenak mereka saling diam.
"Maaf, Mbak Hanum, teleponnya sejak tadi berdering," Sella muncul di tengah-tengah mereka membawa ponsel milik majikannya.
Bima memanggil, demikian tertera di layar ponselnya. Tampak wajahnya menegang dan itu ditangkap oleh mata Angga.
"Halo?"
"Kamu di mana?"
"Di ...."
"Kamu ke toko?"
"Aku ...."
"Berapa kali aku bilang kalau kamu cukup di rumah! Kamu bisa kontrol mereka zoom atau video call atau apalah yang bisa digunakan untuk bisa tetap terhubung, kan?" Suara Bima terdengar tak bersahabat.
"Kamu mau aku menghadirkan apa lagi di rumah? Perlengkapan gym sudah, kolam renang sudah, ruang karaoke juga sudah! Semua sudah aku rasa. Kamu mau apa lagi sih!" sambungnya.
Sementara Hanum memilih bungkam membiarkan suaminya berbicara. Sebenarnya bisa saja dia berbohong, tetapi itu bukan Hanum. Perempuan itu tidak ingin membohongi sang suami. Karena tanpa mengaku pun, dia pasti sudah mengecek asisten rumah tangga mereka dan menanyakan keberadaannya.
"Ada siapa di sana! Aku video call sekarang!" suaranya masih tinggi.
Hanum menatap Angga. Jelas matanya menyiratkan makna agar dia segera menyingkir pergi. Tanpa menunggu lama, Angga menyingkir dari tempat itu.
"Maaf, Mas, aku tadi ...."
"Coba perlihatkan sekeliling! Aku mau tahu ada siapa di sana!" tukasnya tanpa mendengar penjelasan Hanum.
Hanum mengarahkan ponselnya ke segala arah dengan wajah khawatir. Khawatir jika Bima tahu ada Angga di sana. Sungguh! Dia merasa dalam ancaman jika kondisinya seperti ini. Meski sebenarnya dia tidak punya niatan apa pun jika berada di luar rumah.
"Oke! Aku percaya kamu nggak ketemu dengan siapa pun! Sekarang pulang! Aku video call kamu dua puluh lima menit lagi! Dan kamu harus sudah di rumah!"
"Dua puluh lima menit lagi? Tapi aku nggak tahu bagaimana kondisi jalan, macet atau ...."
"Dua puluh lima menit lagi!"
Bima menutup sambungan teleponnya meninggalkan Hanum yang memejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam. Air yang menggenang di pelupuk akhirnya tumpah juga.
"Hanum!" Suara Angga muncul dari belakang.
Tak ingin air matanya diketahui, segera Hanum mengusapnya.
"Aku harus pulang. Eum ... maaf, Angga. Aku nggak bisa menemuimu lama-lama. Maaf ya."
Hanum masuk ke ruangan yang tadi dia dan karyawannya menyortir bunga. Sejenak kemudian dia keluar membawa tas tangan. Langkahnya tergesa menuju mobil.
"Hanum tunggu!" seru Angga mengejar perempuan di depannya.
"Kau harus pulang! Sebaiknya kamu kembali ke kantor. Jaga dirimu baik-baik. Jangan telat makan!" ujarnya setelah masuk ke mobil.
"Hanum tunggu aku bilang! Atau aku ikut masuk ke mobil kamu!"
Membuang napas dari mulutnya, Hanum mendongak menatap Angga.
"Ada apa lagi?"
"Itu tadi Bima, kan? Dia marah karena ...."
"Dia berhak marah karena aku keras kepala nggak nurut sama dia. Dia suamiku, Angga."
"Tapi dia nggak bisa seenaknya seperti diktator begitu kepadamu, Hanum!"
"Aku sudah memilihnya dan aku harus mengikuti apa yang jadi keputusannya."
Angga menggeleng cepat.
"Tapi ini nggak adil buatmu! Dia nggak bisa menggunakan kedudukan dia untuk menekanmu seperti itu!"
Hanum memejamkan mata, hatinya teriris mendengar ucapan Angga.
"Sejak aku diperlakukan adil, Ngga? Sejak kapan?" Hanum menggeleng. Kini dibiarkannya air mata itu jatuh di depan Angga. "Jadi biarkan aku menikmati apa pun itu. Ini takdirku."
Sejenak mereka saling diam.
"Aku harus pulang. Dua puluh lima menit lagi dia telepon!"
Tanpa menunggu jawaban Angga, Hanum menginjak gas dan mobil pun meluncur kencang ke arah pulang. Sementara Angga menatap dalam diam kendaraan Hanum hingga menghilang dari pandangan.
"Maafkan aku, Hanum," gumamnya dengan paras menyesal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top