Pesan dari Angga
Lila mengetuk pelan pintu kamar Hanum. Adik bungsunya itu membawa sepucuk surat di tangannya. Malam belum terlalu larut. Seusai makan malam tadi, mereka bertiga berbincang hangat di ruang tengah sembari membuka hadiah untuk Tania dari Bima.
Sebuah jam tangan keren pemberian Bima membuat Tania bersorak gembira. Sementara Lila meski tidak merayakan ulang tahun, tetap mendapat hadiah berupa sepatu olahraga keluaran terbaru dari merek ternama.
Kebahagiaan yang terpancar di mata kedua adiknya membuat hati Hanum menghangat. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum saat kedua Tania dan Lila berkali-kali memuji Bima. Pun demikian dengan ibunya.
Perempuan paruh baya itu merasa beruntung karena Hanum memiliki suami yang demikian besar perhatiannya kepada keluarga mereka.
"Mbak Hanum udah tidur?" Suara Lila terdengar ragu.
"Belum, Lila. Ada apa?" Sosok Hanum muncul saat pintu terbuka.
"Boleh Lila masuk?"
Hanum mengangguk seraya tersenyum. Mengucapkan terima kasih, Lila melangkah melewati sang kakak.
Menghela napas, mengedarkan pandangan, Lila duduk di bibir ranjang kakaknya.
"Ini, Mbak!" tuturnya menyodorkan surat di tangannya ke Hanum.
"Apa ini?"
"Dari Mas Angga!"
Mengembuskan napas dalam-dalam, dia menerima surat itu dari tangan sang adik.
"Mbak nggak mau baca?" selidiknya.
"Nanti aja. Mbak masih malas," jawabnya menyungging senyum.
Lila membalas senyuman Hanum kemudian menyipitkan matanya ke arah bahu Hanum.
"Mbak?"
"Iya?"
Adik bungsunya itu beringsut dari duduk menghampiri Hanum yang duduk di depan meja rias.
"Ini kenapa, Mbak? Memarnya banyak banget?" tanyanya masih memperhatikan memar di bahu Hanum.
Perempuan yang sudah mengenakan piyama itu berdiri menghindari agar Lila tidak melihat bagian punggungnya.
"Kan udah Mbak bilang kalau Mbak habis jatuh, kamu lupa?"
Lila mengerucutkan bibir, kemudian tersenyum samar. Meski memang sejak bertemu, Hanum selalu beralasan jika memar di bahunya akibat dari luka terpeleset, tetapi tetap saja dia tidak bisa percaya begitu saja.
"Mbak yakin luka memar yang lebih dari satu itu karena terpeleset? Mbak yakin luka yang kalau diamati itu lebih terlihat seperti gigitan itu karena terpeleset?" cecarnya membuat Hanum tak bisa menjawab.
"Lila besok mau ke mana? Besok Minggu kita ke mal yuk!" Hanum mengalihkan pembicaraan.
Tahu kakaknya enggan ditanya perihal lukanya, Lila menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Mbak, apa Mas Bima menyakiti Mbak?" tanyanya langsung ke sasaran.
Kening Hanum berkerut mendengar pertanyaan sang adik. Sambil tersenyum dia menggeleng.
"Kamu pasti sering nonton sinetron ini. Iya, kan?" godanya menahan sesak karena sedih yang memenuhi hatinya.
Lila terlihat masih ingin tahu banyak soal kondisi kakaknya.
"Mbak Hanum, Lila serius ini. Apa Mbak sedang dalam masalah?" Kembali dia bertanya dengan mata menelisik.
Hanum menggeleng sambil tersenyum lebar. Akan banyak hal yang terjadi bila sampai adiknya itu tahu. Terlebih Lila tipenya akan langsung bertanya jika ada hal yang menurut dia kurang tepat.
"Sekarang kamu istirahat ya. Besok kita jalan! Oke!"
Mengangguk cepat, Lila memeluk Hanum, dan lagi-lagi tanpa sengaja seperti saat Tania memeluknya, Hanum mengerang kesakitan.
"Mbak? Mbak kenapa sih? Punggung Mbak kenapa?"
"Nggak apa-apa, udah tidur sana! Mbak juga mau istirahat!" titahnya.
Namun, Lila bukan anak yang mudah diperintah terlebih jika tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Alih-alih keluar dari kamar Hanum, gadis ABG itu justru memutar ke belakang sang kakak.
Dengan cepat dia membuka resliting baju Hanum tanpa bisa dicegah. Mata Lila membeliak melihat banyak memar dan luka di sana. Air matanya mengalir begitu saja tanpa bertanya kenapa. Gadis SMP itu sudah bisa membaca apa yang terjadi pada sang kakak.
Lila melangkah mundur, setelah Hanum berbalik badan menghadapnya.
"Mbak Hanum," tuturnya pelan seraya menutup mulutnya dengan tangan kanan. "Mbak Hanum luka-luka itu ...." Kalimat gadis itu mengambang.
"Lila." Hanum menatap sang adik sambil menggeleng. Dia kemudian kembali membetulkan resliting bajunya. "Tolong jangan bilang ke Ibu juga Tania ya. Tolong Mbak!"
Lila menggeleng cepat.
"Kenapa Ibu nggak boleh tahu? Kenapa Mbak menyembunyikan ini dari Ibu?" Lila berjalan mendekat kemudian menghambur ke dada Hanum.
Hati gadis itu terlihat sangat terpukul. Selama ini dia berpikir jika kakaknya akan baik-baik saja dan bahagia meski harus berpisah dengan Angga. Akan tetapi, malam ini dia harus melihat sendiri betapa selama ini kakaknya harus bertahan menyembunyikan luka-luka itu demi membuat ibunya, Tania dan dia merasa semuanya baik-baik saja.
"Mbak, itu semua karena Mas Bima? Iya, kan, Mbak? Kalau bukan kenapa luka itu banyak dan polanya hampir sama dengan yang di bahu? Apa yang terjadi, Mbak? Bilang ke Lila!" cecarnya masih dengan air mata berderai.
Lila masih terlalu kecil untuk tahu apa yang menimpanya. Dijelaskan pun adik kecilnya itu tidak akan paham. Jika dipaksakan untuk berbagi kisah dengan Lila, dia bisa memastikan adik bungsunya itu akan menceritakan kepada sang ibu.
"Mbak Hanum?"
Hanum menarik napas dalam-dalam kemudian dia melangkah menuju ranjang.
"Mbak nggak akan menjawab pertanyaan Lila. Lila bisa lihat sekarang, Mbak Hanum baik-baik saja, kan?" Hanum menarik kedua sudut bibirnya.
"Ini nggak adil buat Mbak Hanum! Pokoknya Ibu harus tahu!"
"Dengan resiko Mbak dilarang bertemu kalian lagi?"
Mata Lila membulat. "Mas Bima itu psiko!" cetusnya. "Mbak nggak boleh kembali ke rumah itu! Mas Angga juga harus tahu!"
"Nggak Lila! Nggak ada yang boleh tahu! Tolong, berjanji ke Mbak. Kamu bisa, kan, Lila?" Hanum menekan suaranya lebih lirih agar tak terdengar.
"Please, setidaknya biarkan Mbak mencoba bicara dari hati ke hati dengan Mas Bima dulu sebelum kamu cerita ke Ibu," mohonnya.
Lila mengusap air matanya. Matanya menatap Hanum pilu. Tak disangka sang kakak selama ini bertahan dalam kondisi yang jauh dari kata baik.
"Sekarang kamu tidur. Besok kita jalan-jalan ya. Karena besok malam Mbak harus balik karena Mas Bima sudah bilang mau jemput Mbak."
Lila mengangguk kemudian berjalan melewati Hanum.
"Mbak," panggilnya saat berada di pintu.
"Ya?"
"Mbak juga harus janji untuk kasi kabar Lila kalau terjadi sesuatu ya."
Perempuan bermata indah itu tersenyum tipis seraya mengangguk. Pintu kembali tertutup. Hanum menghela napas panjang. Entah apa yang dirasakan saat ini, sedih atau lega setelah Lila tahu tentang dirinya meski tidak detail. Yang jelas malam ini dia masih bisa menikmati 'kebebasan' sebelum besok malam.
Hanum menoleh ke meja rias. Sepucuk surat dari Angga tergeletak di sana. Kedua sudut bibirnya tertarik samar berjalan mendekati meja itu. Perlahan dia membuka amplop dan membacanya.
'Hanum, aku nggak tahu kapan kamu bisa baca pesan ini. Aku juga nggak tahu apa kamu masih mau membaca tiap baris tulisanku. Nggak banyak yang mau aku tulis, aku cuma merasa rindu dan ingin mengulangi ucapanku tempo hari bahwa aku ternyata pria bodoh yang baru sadar jika benar-benar jatuh cinta padamu sejak lama.
Hanum, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, tapi nggak mungkin semua aku tuang di kertas ini. Namun, satu yang aku ingin kamu selalu percaya, aku nggak akan membiarkan kamu menanggung semua luka itu sendiri. Aku akan melindungimu, Hanum.'
Love, Angga.
Hanum memejamkan mata mencegah air yang mengumpul di matanya agar tak tumpah. Jantungnya memompa cepat setelah membaca tulisan tangan Angga.
Mendadak memorinya mengangkasa ke beberapa tahun lalu saat dia dan pria itu masih sedekat nadi. Angga memang bukan pria yang mudah mengungkapkan perasaanya, tetapi segenap perhatian akan dia berikan jika sudah sangat menyayangi seseorang dan itu yang dia rasakan meski harus berperang dengan kata sahabat.
Angga menjadi sedikit penuh kejutan saat hendak menikah dengan Ajeng. Di saat itulah terkadang Hanum terkaget-kaget dengan perubahan pria itu. Entahlah, terkadang sebagian orang memang berubah untuk menunjukkan jika dirinya layak untuk diperhatikan. Mungkin itu ada pada Angga. Mungkin ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top