Peraturan Bima

Hanum menegang saat tangan Bima melingkar di perutnya. Pria itu menghidu ceruk leher Hanum kemudian meninggalkan bekas di sana. Sebisa mungkin dia mencoba mengikuti ritme sang suami menikmati keintiman itu. Dia tak ingin Bima kecewa di malam pertama mereka.

"Kamu bisa memintaku untuk berhenti jika kamu belum siap, Hanum," bisiknya tepat di telinga sang istri.

Hanum tak menjawab, dia membiarkan suaminya melanjutkan apa yang dia inginkan dan menyerahkan hak yang seharusnya dia dapatkan.

Malam itu akhirnya terjadi, malam yang dulu pernah menjadi obrolan rahasia antar teman sekamar akhirnya dia alami meski bukan dengan pria yang diimpikan.

Kamar pengantin yang dihias indah nan romantis menjadi saksi puncak kehangatan keduanya malam itu.

Sementara di tempat lain, Angga menatap Ajeng yang terlelap. Perempuan yang dinikahinya itu benar-benar telah membuat dia senewen karena permintaannya. Besok adalah jadwal bertemu dengan dokter kandungan seperti yang dia minta.

Keinginan memiliki anak dengan alasan supaya dia tak lagi berpikir tentang Hanum mungkin masuk akal bagi sebagian orang, tetapi tentu terasa terlalu dibuat-buat jika Ajeng masih tidak percaya dengan keseriusannya membangun rumah tangga bersama perempuan yang tengah terlelap itu.

Menarik napas dalam-dalam, Angga bangkit dari ranjang. Dia melangkah membuka pintu balkon kemudian menutupnya kembali setelah berada di luar. Angin malam itu terasa sepoi-sepoi. Pikirannya melayang teringat paras cantik Hanim di pesta tadi. Tersadar hal itu tidak pantas lagi untuknya, cepat Angga menggeleng seraya mengusap kasar wajahnya.

"Sial! Kenapa sekarang aku merasa sangat kehilangan? Bukankah aku juga yang mendorongnya untuk menikah? Kenapa sekarang aku justru mengkhawatirkan Hanum?" Angga memijit pelipisnya dan kembali menggeleng.

"Nggak! Ini nggak boleh terjadi! Hanum  sudah bahagia dengan Bima dan aku juga harus bahagia dengan Ajeng!" pungkasnya lalu kembali masuk ke kamar dan menutup pintu balkon.

**

Waktu terus berjalan tanpa menunggu. Dia akan terus berputar meninggalkan jejak. Terkadang jejak itu indah, tetapi tak jarang pula jejak buruk yang tertinggal.

Tanpa terasa empat bulan usia pernikahan Hanum dan Bima. Kebahagiaan itu terus terasa. Keluarga Bima begitu perhatikan dan sayang kepada Hanum. Pun demikian dengan keluarga Hanum. Perhatian Bima terhadap adik-adik Hanum juga ibunya membuat mereka merasa nyaman. Semuanya disyukuri oleh Hanum.

Rasa yang awalnya terasa hambar kini perlahan mulai terpupuk. Segala yang diharapkan Hanum kala itu ada pada Bima. Pria itu sangat sabar menghadapi perilaku Hanum yang terkadang sedikit manja dan keras kepala. Kebaikan hati Bima telah berhasil melelehkan pertahanan perempuan berdagu lancip itu.

Bisnis yang dikelola Hanum pun lancar tak ada hambatan berarti. Toko bunganya semakin besar dan kini memiliki beberapa penambahan karyawan. Kerja sama dengan beberapa hotel atas rekomendasi Bima menjadi jalan namanya disegani oleh beberapa pesaingnya.

Namun, Hanum tetap Hanum. Perempuan cantik, mandiri, dan rendah hati. Dia tak sungkan mengikuti kursus merangkai bunga dan seminar apa pun demi menjaga kualitas bisnisnya agar tetap bertahan.

Bima dan Hanum menempati rumah besar hadiah Bima untuk pernikahan mereka. Rumah berpagar tinggi itu sangat indah dengan taman dan rerumputan hijau yang menghampar serupa karpet yang digelar.

Pagi itu saat Hanum berada di tokonya. Memilih bunga-bunga segar untuk di kemas dan di kirim ke sejumlah kantor dan hotel langganannya. Semenjak dia menikah, kantor Angga tidak lagi menjadi langganan tokonya.

Hanum pun tidak lagi mempermasalahkan hal itu, dia justru senang bisa lepas dari apa pun yang berkaitan dengan Angga, meski terkadang jika dia menatap cincin pemberian pria itu kelebat kenangan masih setia menampilkan slide-slidenya.

"Mbak Hanum ada tamu," tutur salah satu pegawainya.

"Siapa, Nur?"

"Nggak tahu, Mbak. Laki-laki," jawabnya.

Hanum bangkit dari duduknya. "Kamu teruskan kerjaan saya ya. Saya temui tamu dulu."

Hanum mencepol rambutnya yang panjang kemudian mengambil bunga sedap malam untuk diselipkan di cepolan rambut hitamnya.

Kening Hanum mengernyit menatap punggung tamunya. Meski dari belakang dia sangat kenal dengan pria itu.

"Angga?" sapanya lirih.

"Hanum. Apa kabar?" tanyanya seraya membalikkan badan dengan bibir melebar.

Ada selaksa perasaan yang tak bisa diungkap oleh Hanum tatkala mata mereka saling tatap.

"Eum ... baik! Kamu kok kurusan, Ngga?" tanyanya memecah kebekuan suasana.

Angga mengedikkan bahu. Matanya seolah enggan untuk berhenti menatap Hanum.

"Tumben mampir? Kirain ...."

"Kamu mau bilang aku lupa? Begitu?" potong Angga kali ini sembari memamerkan giginya yang putih.

Hanum tak menyahut dia kemudian menarik bibirnya singkat. Angga sebenarnya tidak lupa, dia bahkan ingin setiap hari bertandang ke toko bunga ini meski hanya untuk menyapa, tetapi dia hanya tak ingin terjadi apa-apa kepada Hanum.

Karena beberapa waktu lalu setelah pernikahan keduanya, Bima datang dan meminta agar Angga berhenti untuk bertemu perempuan itu. Meski sebenarnya semenjak Hanum sah menjadi istri Bima, Angga sudah tak pernah lagi menemuinya.

"Suami kamu ...."

"Keluar kota. Kenapa?"

Angga menaikkan alisnya kemudian menggeleng.

"Aku khawatir dia cemburu kalau tahu aku ke sini."

Hanum menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya Bima juga sudah mewanti-wanti agar dia jangan terlalu sering ke toko jika tidak ada urusan mendesak. Bima beralasan jika semua yang berhubungan dengan pengiriman, dan semacamnya adalah urusan karyawan.

"Kamu hanya mengurusi hal yang bersifat manajerial aja. Kalau teknis kamu bisa serahkan Sella. Dia, kan senior di sana," ujarnya kala itu.

Namun, berdiam diri di rumah bukan hal yang mudah bagi Hanum sebagai perempuan yang selalu ingin turun sendiri mengurus bisnisnya bahkan hal yang teknis sekali pun.

"Hanum?"

"Eh iya."

"Kek malah bengong?"

"Nggak kok. Eum ... silakan duduk!" tuturnya memberi isyarat agar pria jangkung itu duduk di kursi kayu yang berukir di ruangan itu.

"Makin besar, makin luas dan ... ownernya makin ...."

"Makin apa?"

Angga tersenyum tipis.

"Nanti kamu ge er!" candanya.

Hanum kembali menarik napas dalam-dalam. Bercanda! Hal seperti ini yang gak pernah dilakukan Bima setelah mereka menikah. Pria itu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan segala peraturan yang dia buat untuk Hanum.

Hari ini dia sedikit bisa bernapas lega karena Bima keluar kota tiga hari. Ada urusan penting yang mengharuskan dia berada di sana. Hal itu tentu menjadi angin segar bagi Hanum untuk pergi menyambangi tokonya lebih lama. Dia juga bisa bercanda berbagi cerita dengan para karyawan.

Hanum pernah protes atas semua aturan yang diterapkan oleh sang suami. Termasuk jika seminar supaya dia dibiarkan pergi sendiri tanpa didampingi sopir. Akan tetapi, Bima menolak permintaannya dengan alasan dia tidak mau Hanum mampir ke mana pun setelah acara.

"Kalau mau ke mall atau sekadar melepas penat, kamu bisa datang ke kantor dan kita bisa jalan-jalan berdua," ujarnya saat Hanum meminta untuk diizinkan pergi sendiri.

"Tapi aku mau ketemu teman-teman lama dan ...."

"Nggak, Hanum. Aku nggak suka dibantah. Aku hanya ingin menjagamu dengan baik. Itu saja!"

"Nah, kan melamun lagi!" Suara Angga menyadarkan lamunannya.

"Kamu apa kabar, Ngga? Kamu baik-baik saja, kan? Kenapa kamu kurusan?" cecar pertanyaan muncul dari Hanum.

Mendengar kekhawatiran perempuan di depannya, Angga tersenyum lega. Hanum tetap seperti dulu dan tidak pernah berubah!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top