Mulai Menjauh

Angga tak menjawab, dia hanya menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Oke!" Dia mundur perlahan dari meja Hanum. "Kamu yang minta aku untuk menjauh. Oke!"

Membalikkan badan, pria berkemeja putih itu melangkah menuju ruangannya. Terdengar suara pintu ditutup dengan keras membuat Hanum sedikit terkejut.

Di ruangannya, Angga mendengkus. Pria itu tampak kesal dengan reaksi Hanum. Salahkah jika dia masih berempati atas berubahnya perilaku Hanum? Dia hanya ingin bisa bercengkerama seperti dulu. Toh dirinya juga sudah tidak lagi menjemput sahabatnya itu untuk berangkat kerja bersama-sama. Hanya saling berbagi cerita, apa itu salah?

Angga tak mengerti kenapa Hanum menolak hanya sekadar berbincang? Apa ada yang salah dari perlakuannya terhadap perempuan itu?

Beragam pertanyaan timbul di benaknya. Membuang napas kasar, Angga merogoh kantong celana mengambil ponselnya.

[Bro!]

[Weiss! Tumben pagi-pagi ngubungin aku!]

[Ck! Aku lihat kemarin kamu bicara sama Hanum. Apa dia sedang dalam masalah?]

Lama seseorang di seberang sana membiarkan Angga penasaran.

[Kenapa emang?]

[Dia beda aja. Nggak kayak biasa.]

[Tanyain sendirilah!]

[Kalau dia mau cerita ke aku. Aku nggak mungkin tanya ke kamu, Bima!]

Emoticon tertawa dari Bima terkirim.

[Kenapa kamu bingung, Bung?]

Angga terdiam membaca pertanyaan Bima. Pria itu gak lagi membalas pesan rekannya. Kembali mengembuskan napas, Angga meletakkan ponsel ke meja kemudian menyandarkan tubuh ke kursi.

Kenapa dia bingung? Iya! Kenapa dia harus bingung menghadapi sikap Hanum. Bukannya Hanum sendiri yang memutuskan untuk tidak lagi sedekat dulu, dan bukankah dia juga telah setuju?

Angga mengusap wajahnya. Menelaah semua yang terjadi belakangan ini membuatnya kesal.

"Masuk!" serunya saat mendengar pintu diketuk.

Muncul perempuan yang baru saja dia pikirkan. Hamin tersenyum ramah. Dia terlihat segar dengan rambut dikuncir kuda dengan mengenakan blazer berwarna kuning.bmasih dengan bibir mengembang, dia melangkah pasti mendekati meja kerja Angga.

"Selamat pagi, Pak. Ini beberapa dokumen yang harus ditandatangani, dan mengingatkan ada jadwal meeting dengan CV. Perkasa Nusantara siang nanti," tutur Hanum dengan kalimat resmi.

Iya. Kalimat resmi yang jauh dari akrab seperti biasanya.  Angga tak menjawab, matanya sengaja terus memindai paras Hanum yang justru seolah-olah tidak menyadari jika pria di depannya tengah menatapnya intens.

"Silakan ditandatangani, Pak. Saya harus membalas email dari CV. Perkasa Nusantara untuk memberi kabar apakah siang ini Bapak bisa ...."

Angga bangkit seraya mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat agar Hanum berhenti berbicara. Pekan dia mendekat.

"Kamu letakkan saja di meja. Buat aku selesaikan nanti. Untuk meeting, tetap hari ini dan di jadwal yang sudah direncanakan," tuturnya pelan dengan mata masih menatap Hanum.

"Aku nggak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku merasa kamu berubah sejak aku memutuskan untuk memilih Ajeng. Apa itu ada hubungannya dengan perubahan ini?"

Hanum mendongak menatap Angga yang berdiri di sampingnya. Perempuan berdagu lancip itu menggeleng. Tentu saja dia tak mungkin menjelaskan apa yang terjadi padanya meski tebakan Angga tidak salah sama sekali.

"Angga, hidup adalah tentang bagaimana menerima apa pun yang sudah digariskan. Masalahku bukan hanya melulu soal hidupmu. Aku juga punya masalah sendiri, jadi tolong! Berhenti berpikir tentang kenapa aku dan bagaimana sikapku. Aku sejauh ini baik-baik saja. Kita tetap bersahabat, meski tidak seperti dulu lagi,"tuturnya panjang lebar. "Kamu pasti tahu kenapa, kan?" Hanum menarik napas dalam-dalam. Tak dipungkiri hatinya terasa diremas ketika mengatakan itu semua. "Aku rasa kita sudah membicarakan hal ini kemarin, jadi semuanya aku pikir sudah cukup,"imbuhnya lalu beringsut dari duduk.

Hanum sedikit mundur karena merasa berdiri terlalu dekat dengan pria yang diam-diam memiliki tempat istimewa di hatinya itu. Aroma parfum kesukaan Angga kembali menyapa penciumannya.

"Permisi. Saya mau  kembali ke tempat saya. Jangan lupa siang nanti jam satu, Bapak harus bertemu klien," ujar Hanum melangkah mundur lagi lalu membalikkan tubuhnya.

"Hanum!"

"Iya, Pak?"

"Aku nggak suka kamu panggil dengan panggilan itu! Apa kamu nggak bisa memanggilku seperti sebelumnya?"

Hanum menarik bibirnya lebar.

"Sudah waktunya kita mengubah kebiasaan yang lalu. Akan terasa tidak sopan jika aku tetap memanggil hanya dengan nama," dalihnya.

Angga tak lagi berkata, pria itu tetap berdiri dengan satu tangan di kantong celana hingga Hanum keluar dari ruang kerjanya.

Ada yang beda saat Hanum berinteraksi resmi dengan dirinya. Angga perlahan merasa Hanum tengah berupaya membangun tembok untuk mereka.

'Ada hati yang harus dijaga. Kamu harus paham itu. Aku perempuan demikian pula dengan Ajeng. Aku mau kamu nyaman bersama Ajeng.'

Terngiang kembali perkataan Hanum saat di mobil beberapa waktu lalu. Angga menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

'Kamu benar, Num. Mungkin memang aku yang selalu ingin melihatmu tersenyum dan bercengkrama seperti biasa denganku. Mungkin aku memang terlalu sering melibatkan dirimu dalam segala hal yang menyangkut hidupku,' tuturnya bermonolog.

**

Hanum tersenyum lebar ketika kesepakatan disepakati. Kesepakatan untuk bekerja sama dalam pembangunan hotel yang terletak tak jauh dari pantai. Senyum lebar juga tampak di bibir Angga. Wajah keduanya semringah saat bersalaman sebelum para tamu itu pergi meninggalkan ruangan.

"Huuft! Syukurlah, satu sudah terlewati, tinggal satu lagi dan ... aku resign," gumamnya seraya membenahi berkas dan semua perlengkapan meeting yang berserak di meja.

"Makasih, ya. Seperti biasa! Cara kamu menjelaskan dan menarik investor sangat keren!" puji Angga melangkah mendekat.

"Sama-sama, Pak. Sudah tugas saya."

Paras Angga berubah mendengar respon Hanum. Entah kenapa dia belum bisa menerima kekakuan yang terjadi di antara mereka. Ada rasa kecewa bercampur kesal karena hubungan baik mereka menjadi kaku seperti saat ini.

"Kamu mau ke mana, Hanum?" tanya Angga saat melihat Hanum melangkah menuju pintu.

"Saya ...."

"Hai, kamu pasti yang namanya Hanum, kan?" sapa seseorang berwajah manis dengan lesung pipi di kanan kirinya.

Dengan wajah berseri dia mengulurkan tangan ke Hanum.

"Aku senang akhirnya bisa bertemu dekat denganmu. Angga banyak cerita tentang kamu loh, sampai-sampai aku dibuat cemburu olehnya," ungkap Ajeng masih dengan senyum. Sementara Hanum hanya menarik bibirnya singkat.

Angga tampak terkejut mendengar penuturan Ajeng. Terlebih calon istrinya itu tanpa canggung mengatakan jika dia sering bercerita soal Hanum.

"Ehem, Ajeng? Kenapa ke kantor nggak bilang dulu?" Dia melangkah mendekati mereka berdua.

"Kalau aku telepon kasi kabar, nanti kamu pasti sibuk menghias ruangan kantor lagi kayak kemarin," ujarnya manja dengan tawa berderai.

Hanum kembali tersenyum.

"Kata Angga kamu punya toko bunga?" tanya Ajeng menatap Hanum yang merasa canggung.

"Iya, eum ... Hanum Florist,"sahutnya seraya mengeluarkan kartu nama.

"Hanum Larasati." Ajeng mengeja nama yang tertera di kartu itu. "Nama yang cantik! Secantik orangnya!" imbuhnya kemudian.

Hanum tersenyum tipis kemudian berkata, Terima kasih, Ajeng.  Oke, saya mau melanjutkan pekerjaan dulu. Permisi."

Ajeng mengangguk kemudian menatap Angga yang memperhatikannya.

"Kamu benar, Hanum orangnya baik dan sopan. Pantas kalau dianjadi salah satu rekan kerja terbaik menurutmu. Meskipun kamu dan dia  tidak ada hubungan apa pun, tapi ...."

"Tapi apa?" Angga menyentuh pucuk hidung Ajeng.

Perempuan berkulit khas Indonesia itu sedikit mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa aku cemburu ya?"

Angga tergelak sembari mengacak rambut Ajeng.

"Itu tandanya kamu cinta," jawabnya meraih tangan Ajeng. "Aku tadi belum makan siang. Kita makan siang, yuk!"

Dengan wajah semringah, Ajeng mengangguk mengikuti langkah calon suaminya keluar dari ruangan tersebut.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top