Menerima


Sorak sorai dan ucapan selamat semua yang hadir kala menyaksikan Angga menyematkan cincin di jari manis Ajeng, terdengar menjadi alunan elegi di telinga Hanum. Meski begitu senyum sempurna tetap dia tunjukkan.

"Hai, aku nggak nyangka kamu bisa setegar ini. Selamat ya!" Suara seseorang tiba-tiba muncul di sebelahnya.

Hanum menoleh sejenak kemudian kembali bertepuk tangan saat satu kecupan manis Angga mendarat di kening Ajeng. Ingin rasanya dia memejamkan mata dan secepat kilat ada di tempat indah di mana dia bisa sendiri menikmati luka.

Akan tetapi, nyatanya dia berdiri tak jauh dari kedua pasangan yang sedang berbahagia itu. Hanum dipaksa menelan mentah-mentah setiap adegan yang dia saksikan dengan bibir melebar meski hati tercabik.

"Kenapa kamu nggak membela diri, Num?" Kembali Bima bertutur dengan suara lirih.

Hanum tak bereaksi, dia seolah berusaha menunjukkan jika dirinya benar-benar ikut larut dalam kegembiraan yang dirasakan Angga, Ajeng dan tentu saja seluruh yang ada di ruangan itu.

Meski tak dibalas oleh Hanum, Bima masih tetap berada di sampingnya. Bima adalah rekan bisnis Angga. Rekan bisnis yang sudah sangat lama bekerjasama.

Sebenarnya Bima sering memperhatikan gerak-gerik Hanum. Jauh di lubuk hatinya berharap ada ruang kosong di hati perempuan itu untuknya.

Namun, tentu dia tidak segegabah itu. Bima tahu jika ada hubungan istimewa yang tidak bisa diterjemahkan oleh siapa pun kecuali Angga dan Hanum. Dari pengamatan itulah, Bima membiarkan perasaan untuk Hanum tersimpan rapi di hatinya.

"Tisu?" Bima menyodorkan tisu ke Hanum. Perempuan itu sedikit kesulitan menghapus air matanya yang jatuh perlahan.

"Thank you!" tuturnya mundur perlahan lalu meninggalkan ruangan itu. Dengan sedikit berlari dia menuju kamar mandi.

Sementara Bima menarik napas dalam-dalam sembari menggeleng pelan.

"Sebenarnya, kamu nggak perlu sesedih itu," gumamnya seraya keluar tempat itu mencoba mencari Hanum.

**

Berkali-kali Hanum mencuci wajahnya mencoba menghilangkan sembab dan merah di mata. Akan tetapi, tetap saja matanya seperti enggan berkompromi.

Lekat dia menatap dirinya di pantulan cermin seolah mencoba berdialog pada diri sendiri.

"Kamu nggak boleh seperti ini, Hanum. Angga lebih bahagia bersama Ajeng. Dia sudah menemukan apa yang dia cari selama ini. Kamu bukanlah orang yang dia cari. Bukan, Hanum! Bukan kamu!"

Kembali air matanya menetes, hatinya benar-benar merasa diremas nyeri.

"Hanum? Kamu di dalam? Are you oke?" Suara Bima disertai ketukan diabaikannya.

"Hanum, please! Aku tahu kamu di dalam. Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi tolong, jangan terlalu larut dalam kesedihan."

Hanum bergeming. Dia masih seperti tadi. Menatap ke arah cermin.

"Kamu harus bisa melepas Angga. Aku tahu kamu bisa, Hanum!"

Hening. Baik Hanum atau Bima saling diam di tempat masing-masing.

"Okey, kalau kamu butuh teman, kamu bisa hubungi aku ya. Aku siap mendengarkan semua keluhmu."

Tak lama, terdengar langkah kaki menjauh. Bima sudah meninggalkan tempat itu.  Sejenak dia menarik napas dalam-dalam.

Kata-kata dari Bima sedikit membuat dia kembali mencoba menerima kenyataan. Kenyataan bahwa dia bukan pilihan Angga dan dia bukan perempuan yang bisa memberikan bahagia kepada pria itu.

Hanum kembali mengusap pipinya lalu mencoba tersenyum pada diri sendiri. Dia mulai berpikir jika menangisi seseorang yang bahkan mungkin sama sekali tidak pernah memikirkan kita? Untuk apa? Hanya ada luka yang akan terasa. Sementara di luar sana mungkin dia akan menemukan bahagia lebih dari saat bersama Angga. Mungkin iya ... mungkin tidak. Entahlah.

"Hanum? Hanum kamu di dalam? Kata Bima kamu sejak tadi di kamar mandi. Kamu sakit?" Kali ini suara Angga hampir saja membuat jantungnya melompat. Bagaimana mungkin pria itu mencari tahu soal dirinya sementara baru saja larut dalam euforia kebahagiaan dengan Ajeng?

Bukannya tadi pagi Angga mengatakan akan melakukan apa yang dia minta? Menjaga jarak untuk menjaga hati Ajeng itu adalah keputusan bersama yang sudah disetujui? Tetapi kenapa kini pria itu masih saja mengkhawatirkan tentang dirinya?

"Hanum! Kamu keluar sekarang, atau aku dobrak!" ancamnya.

Kali ini Hanum benar-benar tak ada pilihan selain bersuara. Dia tahu, jika Angga sudah bersuara dengan nada seperti itu, maka dia pasti dalam keadaan tidak sedang bergurau.

"Aku ... aku nggak apa-apa, Angga! Kamu kenapa sih!"

"Keluar sekarang! Jangan tanya aku kenapa! Aku yang harus tanya kamu kenapa?"

Hanum menggigit bibirnya kuat-kuat. Dirinya mencoba mengalihkan rasa perih di hati.

"Ck! Kamu kayak nggak tahu jadwal bulanan perempuan aja, Angga! Udah ah! Pergi sana. Nggak usah lebay!" Hanum berusaha mengatur nada suaranya.

Angga tak menanggapi. Dia terdiam mendengar penuturan Hanum. Pria itu tahu Hanum sedang berbohong soal jadwal bulanannya. Angga tahu pasti jika Hanum baru saja selesai menstruasi.

Dia tahu soal itu karena Hanum tak pernah meninggalkan salat kecuali berhalangan. Sementara sebelum meeting tadi, dia jelas melihat Hanum tengah sujud khusyu di musala.

"Oke, aku pergi! Aku tahu tahu kamu bohong, Hanum. Aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu dan kamu nggak mau membaginya denganku! Oke! Aku pergi!"

Angga meninju tembok kamar mandi sebelum di melangkah menjauh. Sementara Hanum kembali  bermandi air mata.

**

"Aku antar pulang?" tawar Bima saat Hanum keluar dari kantor.

"Nggak perlu, Bima. Kamu kenapa masih di sini? Bukannya meeting dan acara sudah sejak siang tadi selesai?" Hanum menoleh menatap pria bercambang tipis di sebelahnya.

Mengedikkan bahu, Bima tersenyum.

"Sengaja."

"Sengaja?"

"Iya. Sengaja aku kembali lagi ke sini. Lagian kamu tahu, kan kalau kantorku nggak jauh dari kantormu?"

"Selain itu, aku juga sengaja ke sini karena aku mau mencoba peruntungan," imbuhnya.

"Peruntungan?" Hanum menyipitkan matanya. "Peruntungan apa?"

"Peruntungan kali aja bisa nganterin perempuan cantik di depanku," jawabnya seraya menaik turunkan alis.

Hanum memamerkan dekikan di pipi kemudian mengangguk samar.

"Jadi gimana? Bersedia aku antar?" Bima memasukkan tangannya ke saku celana seraya kepala menatap Hanum.

"Bima, aku ...." Dia terdiam sejenak.

"Kamu kenapa?"

Tampak Hanum mengatupkan bibirnya.

"Aku mau pulang sendiri."

"Untuk sore ini aku mau mampir ke toko buku dulu sebabnya. Mungkin berikutnya kita bisa pulang bareng. Nggak apa-apa?" tanya Hanum.

Bima mengedikkan bahu lalu tersenyum.

"Kamu ke toko buku sendirian?"

"Iya. Kenapa?"

Menggeleng, Bima berkata, "Nggak apa-apa. Hati-hati."

Hanum menarik napas lega, dia tahu Bima ingin menghiburnya, tetapi untuk saat ini Hanum sangat ingin sendiri.

**

Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan Hanum. Dia tahu itu ibunya.

"Nggak dikunci, Bu."

Pelan pintu terbuka. Rukmini menatap sang puteri yang berdiri menatap jendela. Perempuan bertahi lalat di dagu itu mendekat.

"Kamu nggak makan malam, Nak?" tanyanya saat berada di samping Hanum.

"Masih kenyang, Bu."

Rukmini kembali teringat ucapan Angga pagi tadi. Pria yang sudah sangat dekat dengan keluarganya itu menceritakan singkat siap rencana kejutan untuk melamar kekasihnya. Ajeng. Demikian jawab Angga saat dia bertanya nama perempuan yang akan menjadi pasangan hidup sahabat puterinya itu.

Tentu saja dia terkejut dan tak menyangka jika selama ini Hanum dan Angga tidak ada ikatan spesial seperti yang dia pikirkan.

"Tadi ... Angga jadi memberi kejutan untuk Ajeng?"

Mendengar pertanyaan Rukmini, Hanum menoleh dengan dahi berkerut. Seolah tahu apa yang dipikirkan anaknya. Rukmini tersenyum.

"Ibu dengar dari Angga pagi tadi saat menunggu kamu keluar."

"Kamu nggak apa-apa, kan?" sambungnya.

Hanum bergeming. Percuma saja dia mengatakan pada ibunya bahwa dia baik-baik saja. Hal itu akan semakin terlihat jika dia berbohong dan membohongi diri sendiri.

"Hanum?" Lembut sang ibu menyelipkan rambut ke belakang telinga puterinya.

"Hanum ... Hanum  ...." Tangisnya pecah. Hanum menangis di pelukan sang ibu.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top