Mencoba bahagia
Rukmini mengusap air mata puterinya. Perempuan paruh baya itu bisa merasakan bagaimana kondisi hati Hanum saat ini. Dibiarkannya Hanum menangis hingga puas.
"Menangislah, Hanum. Menangislah jika itu bisa membuatnya lega. Ibu tahu apa yang kamu rasakan."
"Ibu tak menyangka jika ternyata hubungan kamu dengan Angga itu hanya sebatas teman, tapi gak apa, Nak. Itu artinya bisa jadi Tuhan sedang menyiapkan jodoh terbaik untukmu."
Hanum mengurai pelukan meski masih berkecamuk perasaan kecewa dan luka di hati, tetapi sedikit terobati karena nasihat Rukmini.
"Akan terasa berat untuk melupakan itu sudah pasti. Karena kamu dan Angga sudah sedemikian dekatnya. Namun, bukan berarti tidak bisa. Pasti bisa, hanya memang butuh waktu," imbuhnya seraya mengusap bahu Hanum.
Menarik napas dalam-dalam, Hanum mengangguk.
"Sekarang sudah malam. Sebaiknya kamu tidur ya. Besok kamu harus kembali bekerja."
Rukmini bangkit kemudian mengusap puncak kepala puterinya.
"Ibu yakin kamu bisa melewati ini semua, kamu nggak sendiri. Ada Ibu. Kamu bisa cerita apa pun ke Ibu ya," tutur Rukmini sebelum dia meninggalkan kamar Hanum.
Sepeninggal sang ibu, Hanum merebahkan diri menatap langit-langit kamar. Mata sembabnya seperti enggan berhenti menangis.
Getar ponsel di meja rias mengalihkan perhatiannya. Perlahan dia bangkit meraih benda itu.
[Hanum.]
Tak menanggapi Hanum kembali meletakkan ponsel itu ke tempat semula. Akan tetapi seseorang di seberang sana kembali mengirim pesan.
[Hanum kenapa nggak dibalas? Kamu sakit?]
[Aku telepon. Tolong angkat.]
[Sudah malam. Aku ngantuk, Angga. Aku nggak apa-apa.]
Setelah mengetuk tombol kirim, Hanum mematikan daya ponselnya lalu kembali ke ranjang untuk tidur.
**
Rahang Angga mengeras saat tak bisa menghubungi Hanum. Pria itu menatap jam dinding, belum terlalu malam untuk pergi ke rumah sahabatnya itu. Dia tak peduli apa yang dipikirkan Hanum tentang dirinya nanti. Yang terpenting baginya kini adalah mengetahui dan memastikan Hanum baik-baik saja.
Menyambar kunci mobil menyisir rambutnya asal rapi dengan tangan, Angga berlari meniti anak tangga.
"Ke mana?" Sasti sang mama yang baru saja hendak masuk kamar bertanya.
"Ke luar sebentar, Ma. Ada perlu!"
"Jangan terlalu malam pulangnya!"
"Iya, Ma."
Angga melangkah cepat menuju pintu.
"Angga!"
"Ya, Ma?"
"Bilang ke Ajeng, lusa Mama tunggu di butik langganan Mama."
"Untuk?"
"Fitting gaun pengantin."
Kening Angga berkerut.
"Secepat itu?"
Sasti menarik napas panjang.
"Untuk sebuah pesta pernikahan harus dipersiapkan sematang mungkin. Satu bulan itu sebentar."
Angga tersenyum lalu mengangguk paham.
"Lagian, kan kamu juga yang mau segera menikahi Ajeng."
Kali ini Angga sedikit tertawa.
"Siap, Ma. Oke, Angga pergi dulu, Ma."
"Eh, Angga!"
"Apa lagi, Mama?" Angga kembali membalikkan badannya dengan tatapan mata memohon.
"Teman kamu si ... Hanum itu ... apa kabar?"
"Baik, Ma. Kenapa?"
Sasti menggeleng. Sebagai seorang ibu dia tahu kedekatan keduanya.
"Dia nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Kenapa gimana, Ma?" tanya Angga tak mengerti.
"Nggak. Maksud Mama, dia denganmu masih berhubungan baik, kan?"
"Baik kok, Ma. Emang kenapa, Ma?"
Kembali Sasti menggeleng. Seraya tersenyum dia berkata, "Nggak apa-apa. Ya udah kamu pergi sekarang. Ingat! Jangan terlalu malam pulangnya. Besok kamu harus kerja."
Angga mengangguk kemudian melangkah keluar setelah menutup rapat pintu rumah.
**
Mobil Angga berhenti tepat di depan kediaman Hanum. Arlojinya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih sore untuk ukuran orang di kota. Rumah Hanum sudah gelap.
Meski begitu, dia merasa lega karena portal di komplek rumah Hanum belum ditutup. Menurut satpam dan depan tadi, portal ditutup pukul sebelas malam. Itu artinya masih ada waktu satu jam untuk tahu kondisi Hanum.
Mengembuskan napas perlahan, Angga turun dari mobil dan mengetuk pagar berharap Hanumlah yang muncul membuka pintu. Sepuluh menit berdiri dengan hati bimbang akhirnya ruang tamu tampak menyala.
"Mas Angga?" sapa Lila saat membuka pintu.
Adik nomor tiga Hanum itu melangkah mendekat. Matanya masih bening menandakan belum tidur.
"Hai, Lila!"
"Mas Angga mau ketemu Mbak Hanum malam-malam begini?" selidiknya ingin tahu.
"Iya. Mbak Hanum sudah tidur?"
"Eum ... tadi sih sudah masuk kamar. Kayaknya Mbak Hanum ...."
"Siapa, Lila?" Rukmini muncul di pintu.
"Mas Angga, Bu," sahut Lila seraya menoleh.
Angga membungkuk sopan saat Rukmini mendekat.
"Malam, Bu," sapanya.
"Angga? Ada apa malam-malam begini?" tanyanya memberi isyarat agar Lila masuk rumah.
Sejenak Angga terlihat ragu kemudian tersenyum tipis.
"Apa Hanum sudah tidur, Bu? Eum, maksudnya apa saya bisa bertemu Hanum?"
Rukmini bergeming.
"Hanum sepertinya sudah tidur, Angga. Apa ada hal penting?"
Pria berkaus putih itu menghela napas lalu mengangguk.
"Hanum sehat, kan, Bu? Dia nggak sedang sakit?"
Perempuan yang berdiri di balik pagar itu tersenyum.
"Dia baik-baik saja, Angga. Kamu nggak perlu khawatir."
Angga menarik bibirnya singkat kemudian mengangguk.
"Syukurlah kalau dia baik-baik saja, Bu. Tadinya saya pikir dia sedang sakit, Bu. Karena ponselnya nggak aktif," tuturnya dengan wajah lega.
Rukmini hanya tersenyum menanggapi. Dia sebenarnya tahu jika tak secepat itu puterinya tertidur, tetapi dia hanya ingin memberi ruang untuk Hanum agar bisa tenang setidaknya untuk malam ini.
"Kalau begitu saya pamit, Bu. Maaf mengganggu istirahat Ibu."
"Hati-hati ya."
Angga mengangguk kemudian kembali ke mobil. Sementara ibu Hanum berdiri menatap mobil Angga hingga menghilang ditelan kegelapan.
**
Memulas bibirnya dengan pelembab, Hanum siap berangkat kerja. Pagi ini dia sudah siap dengan segala konsekwensi yang akan dihadapi. Bertemu Angga, adalah hal yang harus dia hadapi. Dia tak ingin pria itu masih memenuhi pikiran dan hati. Hanum sudah bertekad untuk mencari bahagia dengan versinya, dan tentu saja itu tanpa Angga.
"Morning, Mbak Hanum! Widiih, wajahnya cerah gitu!" sapa Dodo bagian cleaning servis.
"Morning juga, Do! Kamu juga cerah banget wajahnya!" Hanum berbalas senyum.
"Ada bunga kiriman dari seseorang untuk Mbak di meja," ujarnya.
"Dari siapa, Do?"
Dodo mengedikkan bahu lalu berkata, "Mbak lihat sendiri deh."
Setelah mengucapkan terima kasih, Hanum mengayun langkah ke mejanya. Rangkaian bunga mawar merah segar menyambut kedatangannya. Senyum tercetak di bibir Hanum. Bima. Pria berkulit sawo matang itu benar-benar ingin menghiburnya.
'Morning, Hanum. Semoga hari ini kita bisa pulang bareng ya. Atau makan siang bareng mungkin? Aku tunggu balasan pesanku.'
Tak lama satu pesan masuk.
[Kamu pasti sedang tersenyum. Jadi apa jawabannya untuk tawaranku?]
[Oke! Aku penuhi janjimu untuk pulang bareng.]
[Makasih bunganya, Bima.]
Setelah mengetik balasan untuk Bima, Hanum merapikan mejanya. Siang ini dia tidak akan makan siang, rencananya diabakan ke toko bunga miliknya untuk mengecek kondisi di sana.
Sudah terlalu lama dia sibuk dengan Angga dalam mempersiapkan lamaran hingga acara itu terselenggara. Kini dia harus bisa kembali fokus melebarkan sayap untuk toko bunganya. Salah satu rencananya adalah bekerja sama dengan beberapa hotel.
Mungkin setelah semua rencananya terwujud, dia akan mengundurkan diri dari perusahaan properti yang dipimpin Angga ini. Cukup sudah dia berpijak pada kerapuhan hatinya. Dia berharap dengan pergi, semua kenangan tentang Angga akan bisa hilang seiring berjalannya waktu.
Menarik napas dalam-dalam, Hanum memulai kembali ke pekerjaannya. Ada beberapa proyek kerja sama yang masih harus dia selesaikan bersama Angga sebelum akhirnya dia menulis surat pengunduran diri.
Aroma maskulin yang biasa dipakai Angga terhidu olehnya. Dia tahu pria itu tengah berada di depannya. Akan tetapi, Hanum mencoba mengabaikan.
"Hanum."
Meski enggan, tak pelak dia terpaksa mendongak menatap Angga. Pria di depannya itu tampak khawatir dan seperti orang yang bersalah membalas tatapannya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ada yang ingin kamu bicarakan? Kamu mau berbagi denganku?"
Hanum mengatupkan bibirnya. Kenapa Angga begitu terlihat semakin perhatian justru setelah dia tahu tidak mungkin memimpikan apa yang pernah jadi angannya.
"Hanum?"
Menarik napas dalam-dalam, Hanim menggeleng.
"Angga, tak bisakah kita menjalankan kesepakatan waktu itu mulai hari ini?"
**
Sebelum teman² salah persepsi soal kenapa kisah ini nggak sampe berjilid2 aku posting di sini , karena cerita ini aku ikutkan kontes menulis di KBM App ya. Syaratnya hanya sampai bab 7saja. Selebihnya teman² bisa kepoin akunku Scarlett di KBM App di sana kisah ini sudah sampai bab 19
Terima kasih banyak untuk dukungannya🙏💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top