Lamaran


"Hai! Apa kabar?" sapanya ramah seraya tersenyum lebar. "Silakan duduk!"

"Kamu apa kabar? Long time no see, aku ...."

"Aku baik, seperti yang kamu lihat," sela Hanum masih dengan senyum.

Angga menatap gerak-gerik perempuan yang membiarkan rambutnya tergerai itu.

"Ada apa ke sini? Tumben? Kamu mau minum apa?"

Angga menggeleng cepat. "Nggak usah, aku ke sini karena ... kangen."

Sejenak tiga kali empat itu hening. Sekuat mungkin Hanum menjaga agar dirinya tidak terkesan nervous.

"Aku kangen kamu bawelin," cetusnya mencairkan suasana.

Hanum mengedikkan bahu. Bibirnya sedikit terangkat. Dia memang seringkali cerewet dengan penampilan Angga. Pria di depannya itu bukan pria yang suka berlama-lama mencari baju yang tepat untuk dikenakan sat bertemu orang banyak. Tak jarang waktu itu Angga video call ke Hanum hanya untuk bertanya kemeja dan dasi warna apa yang cocok untuknya agar klien terkesan dengan penampilannya.

"Hanum."

"Iya?"

"Apa dasi yang aku pakai cocok dengan kemeja ini?" tanya Angga sembari membetulkan letak dasinya.

Menaikkan kedua alisnya, Hanum mengangguk.

"Kamu yakin?" tanyanya lagi.

"Iya. Kamu kenapa sih?"

Angga membasahi kerongkongannya. Sejak berangkat dari rumah tadi, dia memang berniat untuk menyambangi Hanum. Meski dia ragu karena tidak yakin Hanum akan mau bertemu dengannya. Maka dia mencoba berbagai alasan agar bisa sedikit lebih lama berbincang dengan perempuan berkulit kuning langsat itu.

"Aku? Aku nggak apa-apa, cuma nggak yakin sama dasinya," tuturnya memberi alasan.

"Kamu sudah punya Ajeng. Kamu bisa konsultasi soal dasi itu ke dia. Bukan ke aku. Apa kata Ajeng kalau dia tahu ...."

"Tapi aku mau kamu!"

Keningnya berkerut mendengar ucapan cepat yang keluar dari mulut Angga. Kembali ruangan itu sunyi.

"Maksudku, aku mau untuk kali ini kamu yang mengomentari dasiku. Sudah lama sekali kamu nggak bawel ke aku," ralatnya.

"Ck! Jangan kayak anak kecil deh! Udah pergi sana! Kamu pasti sudah ditunggu klien, kan?"

Segaris senyum tercetak di bibir Angga. Setidaknya Hanum sudah kembali seperti biasa lagi, dan dia sangat merindukan itu.

"Oke, aku pergi dulu. Eum ... kamu kurusan, Num. Kamu nggak sedang sakit, kan?" tanyanya sesaat sebelum bangkit dari duduk.

Hanum terdiam. Belakangan ini memang dia kehilangan selera makan. Selain kesibukan yang menyita waktunya, juga karena Bima. Pria yang akhir-akhir ini sangat dekat dengan dia dan keluarganya tengah menunggu jawaban. Jawaban apakah Hanum bersedia untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Hanum? Are you oke?"

"Sure! Aku baik-baik saja. Apa kabar Ajeng?" tanyanya melawan nyeri. Mungkin terdengar dia tengah bersandiwara, tetapi dia gak ingin lupa diri jika Angga sudah bukan lagi oria yang selalu ada buatnya seperti dulu.

"Ajeng baik! Oke, take care ya. Aku pergi dulu."

**

Rukmini sejak beberapa hari memperhatikan Hanum yang lebih sering melamun. Perempuan yang bulan depan berusia lima puluh sembilan tahun itu selalu resah jika melihat puteri sulungnya bersikap seperti itu. Setidaknya hal seperti itu pernah terjadi saat Angga hendak menikah.

"Hanum," panggilnya pelan seraya menyentuh bahu puterinya.

"Iya, Bu?"

"Hari ini nggak ada jadwal ketemu klien?" tanya ibunya setelah duduk di sebelah Hanum di taman samping rumah.

"Nggak, Bu," jawabnya seraya menggeleng. "Hanum mau di rumah aja hari ini," imbuhnya.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, Bu. Hanum cuma sedikit lelah," jelasnya beralasan.

"Apa kamu ragu soal Bima?" Rukmini langsung mengarahkan pembicaraan. Karena dia tahu kegelisahan puterinya berasal dari sana.

Tak menyahut, Hanum hanya menoleh sekilas kemudian kembali menatap gadget di tangannya.

"Benar, kan? Kamu masih ragu dengannya?"

Hanum masih bergeming. Perkataan sang ibu tidak salah. Dia memang ragu. Bukan ragu karena keseriusan  Bima, tetapi dia ragu dengan perasaannya sendiri.

Perasaannya terhadap pria itu memang masih tidak bisa dikatakan cinta. Entah kenapa sampai detik ini dia belum bisa memiliki perasaan seperti yang Bima miliki terhadapnya.

"Apa kamu tidak mencintainya?" Rukmini memiringkan kepalanya menatap paras puterinya.

"Hanum nggak tahu, Bu."

"Nggak tahu?"

Menghela napas panjang, Hanum seperti enggan menanggapi. Dia masih merasa sulit membuka hatinya untuk pria itu, meski dia tahu Bima sudah begitu baik terhadapnya. Akan tetapi, bukankah untuk membina hubungan itu harus dilandasi rasa cinta hingga perjalanan panjang itu nanti akan terasa indah meski pasti akan ada aral?

Jika dirinya saat ini saja masih mencari seperti apa sebenarnya yang dia rasakan terhadap Bima, mana mungkin kebahagiaan itu akan bisa dirasakan? Lagipula akan tak adil bagi pria itu jika dia memaksa untuk menerima.

"Hanum, Ibu tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi sejauh ini tidak ada alasan bagimu untuk menolak kecuali jika kamu tidak mencintainya. Betul begitu, kan?"

Puterinya itu mengangguk samar. Ada panas sesak mulai menjalari hati, mengingat beberapa waktu lalu dia mendengar ibunya mengungkapkan bahwa ingin melihat dirinya memiliki pasangan hidup yang bisa menjaga dan membahagiakan.

"Bu, apa menurut Ibu Bima itu pria yang akan mencintai Hanum seperti apa adanya?"

"Sejauh ini Ibu yakin dia mencintaimu, tapi semua kembali padamu, Nak. Ibu tetap membebaskan kamu dengan pilihanmu," jawab Rukmini.

Hanum kembali bergeming. Sejarah u ini namun memang benar apa yang dikatakan ibunya. Karena memang Bima selalu menunjukkan sikap baik dan sangat peduli padanya dan keluarganya. Lalu apa lagi yang dia cari?

"Untuk masalah hati, bukan lagi jadi kuasa Ibu, tapi rasa cinta itu akan muncul dengan sendirinya jika kamu sudah terbiasa hidup bersamanya," sambung Rukmini lembut.

"Salatlah, minta petunjuk kepada Allah, semoga kamu menemukan jawabannya."

**

Bima menarik napas lega saat mendengar jawaban dari Hanum. Perempuan yang sangat dia cintai itu akhirnya mau membuka hati dan menerimanya.

Kebahagiaan itu juga dirasakan oleh Rukmini. Dia merasa Hanum telah menemukan pria yang baik untuk hidup kedepannya. Seperti yang selayaknya terjadi, proses lamaran dan memperbincangkan soal pernikahan pun digelar.

Keluarga Bima datang ke kediaman Hanum untuk menindaklanjuti niat baik putranya. Dari hasil pembicaraan hangat kedua belah pihak, akhirnya disepakati bahwa pernikahan Bima dan Hanum akan dilangsungkan dua bulan lagi.

Yeni, mama dari Bima itu terlihat senang dengan pembawaan Hanum yang santun. Demikian pula dengan Cokro papa Bima, mereka mengungkapkan rasa bahagianya mendapatkan menantu seperti Hanum.

"Mama banyak mendengar cerita tentang kamu dari Bima. Dari semua cerita yang Mama dengar, ternyata gambarannya tidak jauh dari yang Mama bayangkan. Kamu sangat baik dan cantik, Hanum!" puji Yeni seraya menatap hangat calon menantunya.

Hanum tersipu mendengar penuturan Yeni. Sementara Bima sejak tadi menatapnya tanpa jeda. Kebahagiaan membuncah begitu jelas terpancar dari paras pria itu.

'Bahkan saat kamu hanya berpura-pura mencintaiku pun aku sudah bahagia, Hanum,' tutur hatinya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top