Lamaran
Maafkan tadi bab yg aku posting salah, wkwkwk. Udah aku ganti yaa. Terima kasih 🙏💜
Hanum tersenyum melihat rangkaian bunga sudah tertata indah di ruang meeting. Perpaduan aneka warna menjadikan ruangan itu tampil berbeda.
Kini tinggal menunggu eksekusi Angga. Pria itu akan melabuhkan hati siang ini untuk merencanakan hari indah mereka. Kembali rasa pilu merebak.
Kilas kebersamaan dia dan Angga menari-nari di pelupuk. Mereka sudah sangat hapal kebiasaan dan kegemaran satu sama lain. Baik Angga maupun Hanum tahu bagaimana sifat masing-masing. Mereka juga paham seperti apa menyikapi jika salah satu di antara mereka kesal.
Seperti saat ini, di mobil tadi ketika Hanum meminta Angga untuk menjaga jarak. Bukannya menerima alasan Hanum, Angga malah menuduhnya tidak lagi punya niat baik dalam persahabatan mereka.
Sempat kembali menjelaskan dengan gamblang, tetapi Angga sudah diliputi kekesalan. Jika sudah terjadi seperti itu, Hanum memilih mendiamkan hingga akhirnya Angga sadar.
"Udah selesai, Mbak. Saya balik ke toko ya. Kasian Nunik sendirian," tutur Sella mendekat.
"Eh, iya, Sel, eum take care ya!" Hanum berpesan seraya kembali menatap dekorasi bunga yang sudah menyulap ruangan itu menjadi indah.
Sella adalah dan Nunik adalah karyawan Hanum. Mereka berdua tahu bagaimana dekatnya atasan mereka dengan Angga. Namun, Hanum tidak pernah membagikan kepada mereka seperti apa hubungan keduanya.
Baik Sella atau Nunik memiliki pikiran yang sama seperti orang yang mengetahui keintiman mereka pada umumnya. Mereka berdua pun berpikir jika Angga dan Hanum memiliki hubungan istimewa.
"Mbak Hanum," panggil Sella sebelum keluar dari ruangan meeting.
"Iya, Sel?" sahut Hanum berbalik menghadap karyawannya.
Terlihat keraguan di wajah Sella.
"Ada apa, Sel?" tanyanya seraya memiringkan kepala menatap Sella.
"Eum ... maaf ini Mbak bilang tadi untuk acara Mas Angga?"
"Iya."
"Mas Angga mau melamar?"
"Iya."
"Kejutan buat siapa, Mbak? Mas Angga bukan melamar Mbak? Kalau melamar Mbak, kan bukan kejutan karena ...."
Hanum menarik bibirnya singkat kemudian menggeleng.
"Karena apa?" sela Hanum. Dia melangkah mendekat dengan tangan dilipat di dada. "Sella, apa selama ini aku pernah bilang kalau antara aku dan Angga ada hubungan spesial?" Nggak, kan? Kamu sama Nunik aja tuh yang terlalu jauh menyimpulkan," imbuhnya seraya menepuk pundak Sella.
Kening karyawannya itu berkerut. Dia benar-benar tak habis pikir dengan apa yang didengar. Bagaimana mungkin Angga dengan mudah melamar perempuan lain setelah kedekatan yang sedemikian rupa yang sering dia saksikan. Apa mungkin ada masalah? Pertanyaan itu muncul di benak Sella.
"Mbak ada masalah dengan Mas Angga?"
Giliran Hanum yang mengernyit.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu? Apa aku terlihat bermasalah dengan Angga?" Dia balik bertanya.
"Maaf, Mbak, tapi ...."
Menarik napas dalam-dalam, Hanum kembali menepuk bahu Sella.
"Sella, kamu tahu jodoh itu seperti apa, kan? Nggak ada yang bisa menebak dan memastikan. Angga sudah mendapatkan jodohnya dan hari ini dia akan menyelipkan cincin di jari pemiliknya. Jadi ... nggak perlu dibahas lagi soal ini. Oke?"
Sella mengangguk paham. Meski Hanum terlihat tegar, tetapi Sella bisa melihat ada gurat luka di matanya. Mata bening Hanum tak bisa berdusta.
"Ya udah, sekarang mending kamu balik deh ke toko. Tadi kamu bilang kasihan Nunik sendirian, kan?"
"Iya, Mbak," sahutnya tersenyum.
"Hati-hati di jalan!"
Sella mengangguk. Sebelum kembali melangkah dia menoleh.
"Mbak Hanum."
"Apa lagi?"
"Mbak Hanum yang sabar ya!"
Mendengar ucapan tulus dari Sella, Hanum menarik napas dalam-dalam menahan air yang mulai menggenang di matanya.
"Thank you, Sell!"
**
Setelah Sella pergi, tinggal Hanum sendiri di ruangan itu. Ruangan yang setiap saat ketika meeting selalu dia bersama Angga.
Ruangan yang kadang dirinya dan Angga terlibat dalam obrolan santai atau bahkan serius. Banyak memori di tempat ini. Banyak pula foto-foto yang dia simpan di galeri ponsel yang tercipta di tempat ini.
"Foto! Aku harus menghapus semuanya! Aku nggak bisa terus menyimpan sesuatu yang bukan jadi milikku meski hanya foto!" gumamnya merogoh tas tangan yang berada di meja.
Sejenak dia menarik napas panjang saat membuka galeri. Begitu banyak kisah tercipta di galeri itu. Begitu banyak rangkaian cerita jika dituliskan saat melihat deretan foto-foto itu. Namun, kini semua sudah selesai.
Angan dan harap akan selalu menjadi angan. Harapan pun kini sudah menguap. Tak akan ada lagi kisah indah, tak akan ada lagi harap yang ingin diuntai.
Foto-foto yang sedianya bisa menjadi aksara indah, kini tak mungkin lagi bisa diterjemahkan. Karena menurut Hanum semua sudah selesai. Dia harus berani beranjak dari rasa hancur, dari rasa patah meski dia tahu tak mungkin bisa secepat itu mengobati.
Perempuan berambut sepunggung itu kembali menarik napas. Jarinya sudah siap mengetuk tombol delete untuk semua foto-fotonya saat bersama Angga.
"Selamat berbahagia, Angga! Wish you all the best, My Friend!"
Sekejap saja, semua foto-foto itu terhapus. Hanum memejamkan mata membiarkan air matanya menetes.
"Sudah selesai?" Suara bariton mendadak terdengar dari arah pintu.
Sedikit panik karena tak ingin air matanya terlihat oleh Angga, cepat Hanum mengusap kedua matanya.
"Sudah," jawabnya tanpa menoleh. Hanum masih di posisi semula, membelakangi pintu.
"Bagus! Aku suka! Ini keren!" pujinya. "Sebentar lagi kita meeting, Num! Proposal kemarin sudah siap, kan?" Angga menoleh ke arah Hanum yang masih membelakanginya.
"Sudah juga," sahut Hanum.
"Hei, kamu kenapa?" Angga mendekat seraya memiringkan kepalanya memindai paras Hanum.
Senyum datar terbit di bibirnya. Sambil menggeleng Hanum bertanya, "Kenapa emang?"
Angga menyipit masih menatap Hanum.
"Mata kamu merah. Kamu habis nangis atau ngantuk?"
Hanum tertawa kecil kemudian mengangguk.
"Iya, aku ngantuk!" jawabnya lalu menjauh dari Angga. Sigap dia meraih tas tangan miliknya kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. "Aku ke ruanganku dulu. Sebentar lagi mereka datang, kan?"
Angga mengangguk meski dia tak yakin sahabatnya itu benar-benar mengantuk.
"Hanum," panggilnya saat Hanum hendak membuka pintu.
"Iya?" sahutnya membalikkan badan.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" Angga terlihat khawatir.
"I'm okey! Aku cuma ngantuk. Itu aja. Don't worry!" jawabnya mencoba meyakinkan dengan senyum lebar.
"Kamu nggak bohong, kan?"
"Kamu kenapa, Angga? Kamu seperti orang yang sedang mencurigai aku?"
Tak ada senyum di bibir Angga. Pria itu tampak menarik napas kemudian mendekat.
"Maafin aku ya. Maaf kalau tadi aku kesal mendengar permintaanmu." Angga menarik napas panjang. "Aku paham apa maksud dari ucapanmu di mobil tadi. Oke, aku setuju soal itu. Kita nggak harus mulai menjaga jarak. Karena harus menjaga hati Ajeng, itu maksudnya, kan?"
Perih, hati Hanum seperti tengah disayat mendengar penuturan Angga. Mendadak kerongkongannya terasa kering. Degup jantungnya hanya satu-satu terdengar. Dia merasa seluruh tulang di tubuh tak mampu menopang dirinya. Hampir saja dia terjatuh jika tak berpegangan pada pintu.
"Hanum? Benar, kan itu yang kamu maksudkan?"
Mengangguk cepat, Hanum mencoba tersenyum.
"Syukurlah kalau kamu paham. Jadi sekarang aku boleh balik ke ruanganku, kan?"
"Sure!"
"Oke, permisi!"
"Eum, Hanum!" Kali ini kembali langkahnya tertahan.
Perempuan itu menoleh menengah menatap Angga.
"Ada apa lagi?"
"Makasih ya."
"Sama-sama, Angga. Makasih juga."
Seperti enggan melepas cekalan tangannya, Angga membalas senyum Hanum. Kembali hatinya terasa diremas.
"Bisa lepaskan lenganku?"
Angga tak menjawab, dia hanya tersenyum lalu perlahan melepaskan tangannya dari lengan Hanum, dan membiarkan perempuan itu menjauh.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top