Keputusan Hanum


Sudah beberapa pekan belakangan, Hanum selalu pulang bersama dengan Bima. Pria itu rupanya tidak menyia-nyiakan kesendirian Hanum dalam kesedihannya. Kebaikan dan perhatian Bima sedikit banyak telah membantu Hanum untuk perlahan bisa mengalihkan kesedihannya.

Tak dipungkiri, Hanum memang masih berada pada titik kesedihan yang mendalam. Meski dirinya menolak mengakui itu di depan Bima. Akan tetapi, Bima punya seribu satu cara untuk membuat Hanum tertawa.

"Belakangan aku sering lihat bunga di mejamu. Dari siapa?" tanya Angga saat Hanum menyerahkan beberapa berkas ke ruangan Angga.

"Dari Bima."

Angga meletakkan pulpennya mendengar jawaban Hanum. Dia mulai berpikir jika Bima tengah berusaha untuk memenangkan hati Hanum.

"Apa ada sesuatu yang spesial di antara kalian?" tanyanya menatap Hanum.

Hanum menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Dia tahu ke arah mana pertanyaan Angga. Pria itu nyaris tanpa ekspresi saat menanyakan hal itu.

Mengedikkan bahu, Hanum berkata, "Bisa jadi."

"Bisa jadi? Kalian belum jadian?" Kembali Angga bertanya.

'Jadian? Semudah itukah aku bisa lupa? Semudah itukah juga Bima menjatuhkan hatinya padaku sementara aku sama sekali tidak memiliki perasaan dengan dia?' bisik hati Hanum.

"Aku ikut bahagia kalau kalian sudah jadian. Kenapa nggak kasi tahu aku, heum? Apa ini jawaban dari perubahan sikapmu?" cecarnya kali ini dengan senyum.

"Nggak apa-apa, aku tahu siapa Bima dan aku pikir dia pria baik. Kamu juga tahu, kan?" imbuhnya.

"Maaf, saya nggak perlu komentar untuk urusan pribadi, Pak," tegasnya.

Ada sembilu yang menancap lalu mengoyak hatinya saat Angga berkata seolah selama ini dia dan Bima memiliki hubungan istimewa. Terkadang pria memang sedatar itu untuk bisa memahami siapa yang sebenarnya mencintainya. Tapi sudahlah, toh pada akhirnya Tuhan juga yang akan menunjukkan ke mana arah hidup dan siapa jodohnya.

"Ah iya, aku lupa. Selamat ya. Semoga kamu bahagia."

Hanum tak menanggapi uluran tangan Angga. Baginya terlalu menyakitkan untuk menyambutnya.

"Terima kasih. Nggak perlu bersalaman," tolak Hanum seraya bangkit dari duduk. "Permisi!"

Angga menarik napas dalam-dalam. Ada perasaan yang dia tidak mengerti apa. Yang jelas, Angga merasa ada hal yang mengganjal saat Hanum terlihat dekat dengan Bima. Terlebih dia tahu jika pria itu setiap pulang kantor selalu menjemput Hanum dan tidak pernah alpa mengirim bunga setiap pagi.

**

Keputusan Hanum sudah bulat untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Proyek kedua juga sudah goal dan dia sudah bebas dari tanggung jawab. Tinggal membuat alasan pengunduran dirinya kepada Angga.

Dia sadar tentu tak semudah itu Angga melepaskannya. Marah, itu sudah pasti. Namun, Hanum sudah siap jika itu terjadi. Apa pun nanti reaksi Angga dia akan terima.

"Kamu sudah yakin untuk resign dari kantor Angga, Nak?" tanya Rukmini saat selesai makan malam.

"Insyaallah, yakin, Bu," sahutnya sembari membersihkan meja makan.

"Biar Tania aja yang cuci piringnya, Mbak!" Adik perempuannya yang duduk si SMA itu mengambil tumpukan piring dari tangan Hanum. "Makasih, Tania."

"Sama-sama, Mbak. Tania khawatir aja, sebab belakangan ini Mbak Hanum sering murung. Bahaya kalau piring ini jadi pecah karena Mbak nggak fokus," ledeknya dengan wajah jenaka.

Hanum hanya tersenyum mendengar ucapan Tania.

"Duduk dulu. Ibu mau memastikan bahwa apa yang kamu putuskan itu benar, Hanum."

Rukmini mengajaknya ke ruang tengah. Mereka berdua duduk di sofa cukup besar berwarna hijau lumut.

"Kamu sudah bicarakan ini dengan Angga?" tanya ibunya saat mereka berdua sudah duduk.

Hanum menggeleng.

"Mungkin besok, karena beberapa hari belakangan Angga sibuk mengurusi persiapan pernikahannya," jelasnya dengan suara lirih.

Semakin dekat waktu pernikahan, Angga memang jadi jarang berada di kantor. Dia beberapa kali dijemput Ajeng untuk kemudian pergi untuk melihat persiapan pernikahan mereka.

Hanum sendiri diberikan kepercayaan oleh Angga untuk menghandle apa pun yang berurusan dengan kantor, jadi dia pun ikut sibuk meski dalam versi berbeda.

"Hanum."

"Iya, Bu?"

"Boleh ibu tahu siapa yang sering mengantarmu pulang?"

Hanum tersenyum.

"Dia Bima, Bu."

Rukmini sedikit menarik bibirnya menatap sang puteri.

"Apa dia istimewa?"

Puteri pertamanya itu terdiam sejenak lalu mengedikkan bahu.

"Biasa aja, Bu. Dia baik dan perhatian. Itu saja."

"Kamu yakin hanya itu?"

Hanum mengangguk.

"Iya, Bu."

Mengusap puncak kepala puterinya, Rukmini menarik napas dalam-dalam. Hanum sudah terlihatlah lebih tenang dari hari-hari sebelumnya. Dia sudah bisa sedikit diajak bercanda oleh adik-adiknya meski tak bosan Rukmini berpesan agar mereka tidak menyinggung soal Angga.

Ketenangan lainnya juga bisa dirasakan perempuan paruh baya itu dari cara Hanum menyimpan semua pemberian Angga di kotak penyimpanan untuk diletakkan di gudang.

"Ibu melihat Bima itu bukan hanya ingin berteman denganmu, Nak."

"Maksud Ibu?"

Rukmini melebarkan bibirnya.

"Yakin kamu nggak tahu apa yang dia inginkan? Kalau menurut Ibu dia itu ia ngin lebih dari sekadar teman kepadamu, Hanum," papar ibunya.

Hanum menarik bibirnya singkat kemudian mengembuskan napas perlahan. Bukannya dia tidak tahu apa yang diinginkan Bima, tapi dia merasa masih sangat sulit beranjak dari semua hal tentang Angga meski sudah sedemikian rupa dia mencoba melupa.

"Ibu tahu kamu masih bimbang dengan perasaanmu. Ibu paham soal itu, tetapi nggak ada salahnya membuka hati untuk seseorang yang baru. Terlebih dia tahu bagaimana dirimu."

Hanum bergeming.

"Memang semuanya butuh waktu, tapi setidaknya dengan membuka hati dan meyakini takdir yang diberi, kamu pasti bisa menatap ke depan dan melewati perjalanan ini dengan baik," sambung Rukmini lagi.

"Bu, Bima memang pria baik, kalau memang takdir Hanum bersamanya, Hanum tentu makan terima. Jadi Ibu tenang aja. Hanum baik-baik saja kok."

Perempuan berambut mulai kelabu itu menghela napas panjang. Bukan dirinya ingin menyegerakan agar puterinya kembali memiliki seorang pengganti Angga, tetapi dia hanya tidak tega melihat Hanum terkadang masih tampak melamun meski tak sesering sebelumnya.

Rukmini khawatir dengan kejadian ini, Hanum menutup hati untuk siapa pun. Karena sebagai seorang ibu, tentu dia sangat ingin melihat puterinya bahagia.

"Baiklah. Hidupmu tetap naik menjadi hidupmu, tapi Ibu selalu ingin melihat anaknya bahagia. Ibu akan selalu berdoa agar kamu mendapatkan kebahagiaan itu, Nak."

"Terima kasih, Bu. Terima kasih selalu ada buat Hanum," ujarya lalu menghambur ke dalam dekapan Rukmini.

**

"Masuk!" titah Angga dari dalam setelah Hanum mengetuk pintu.

"Pagi, Pak."

"Pagi, Hanum!"

Hanum menarik napas dalam-dalam seolah ingin mengumpulkan banyak oksigen di paru-parunya agar tak kehabisan napas ketika berhadapan dengan Angga. Karena dia yakin jika nanti akan ada perdebatan alot antara mereka berdua.

"Ada berkas yang harus ditandatangani?" sambut Angga ramah.

Hanum menyungging senyum. Beberapa hari tidak masuk ke ruangan Angga, kini ruang itu berbeda. Biasanya Hanum yang meletakkan bunga di ruangan itu agar terlihat indah, tetapi sejak dia memutuskan untuk menjauh, kegiatan itu tak lagi ada.

Namun, kini dia melihat rangkaian bunga yang lain tampak di mejanya. Di sebelahnya terdapat figura kecil yang dia sendiri tak ingin tahu apa isinya. Mungkin foto Angga dengan Ajeng.

"Hari ini nggak ada dokumen apa pun yang ditandatangani. Semua tugas saya sudah saya selesaikan. Untuk file dan berkas lainnya sudah saya berikan ke Nova."

"Maksudnya? Kenapa harus ke Nova?"

Kembali Hanum menarik napas dalam-dalam.

"Maaf, Pak. Ada hal yang harus Bapak tandatangani. Saya mohon," pintanya seraya meletakkan di meja sebuah amplop besar berwarna cokelat.

"Apa ini, Hanum?"

"Silakan Bapak baca sendiri."

Angga mengambil amplop itu dan membukanya cepat. Wajah pria itu terlihat penuh rasa ingin tahu. Sejenak Angga seperti membeku kala membaca isi amplop tersebut. Namun, kemudian dia menatap Hanum dengan tatapan meradang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top