Kelam


Suara yang muncul tiba-tiba membuat keduanya menoleh ke pintu. Marisa menatap keduanya bergantian.

"Hanum kamu nggak apa-apa, kan?" Dia mendekat seraya mengusap bahu Hanum.

"Angga, kamu ngapain di sini?" Marisa tampak gusar.

Tak menyahut, Angga menggeleng kemudian mengusap tengkuknya.

"Hanum, Jaga dirimu baik-baik," pesannya lalu pergi.

Marisa menoleh ke sahabatnya. Wajah Hanum begitu muram terlihat.

"Hanum kenapa kamu di sini dan kenapa Angga bisa ke sini?"

Hanum tak menyahut, dia hanya menggeleng samar.

"Hanum, kamu nggak mau cerita ke aku? Ada apa sebenarnya, Num?"

Mengusap pipinya, Hanum mencoba tersenyum.

"Marisa, nggak ada yang perlu dikhawatirkan dariku. Aku baik-baik saja, kok."

"Nggak, Hanum! Kamu pikir aku buta? Jelas aku lihat ada beberapa luka gigitan di bahu dan lengan kamu kemarin! Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?" cecarnya.

Hanum diam. Dia kembali mencoba tersenyum.

"Marisa, aku tahu apa yang terlintas di kepalamu. Aku senang kamu masih peduli padaku. Aku hanya mau bilang kalau biarkan ini jadi jalanku. Aku yakin akan baik-baik saja," ungkapnya.

"Ck! Berhenti melindungi orang lain, Hanum! Berhenti berlagak sok pahlawan yang bersikap baik meski sebenarnya kamu hampir mati! Aku tahu siapa dan bagaimanapun kamu, Hanum!" Suara Marisa meninggi, dia terlihat mulai emosi.

"Kamu ngapain di sini? Kamu di sini sementara Bima tengah menikmati pesta! Jawab aku, Hanum!"

Hanum menarik napas dalam-dalam. Marisa tentu akan sangat marah jika tahu apa yang diperintahkan Bima padanya tadi. Suaminya itu menyuruh Hanum untuk ke toilet dan menunggu instruksi darinya untuk keluar.

"Aku nggak mau kamu bertemu Angga! Atau siapa pun yang akan menyambungkan dirimu dengan pria pecundang itu! Cepat ke toilet dan tunggu perintah dariku nanti!" Demikian titah Bima tadi.

"Atau kamu di sini karena Bima? Bima yang menyuruhmu di sini? Apa betul, Num?"

Perempuan bergaun hitam lengan panjang dengan kalung mutiara di lehernya itu bergeming.

Sebenarnya bukan dia tak ingin bercerita tentang kondisinya, tetapi dia khawatir jika Marisa akan menceritakan ulang kepada Angga. Sudah barang tentu, Angga akan mengamuk jika tahu hal ini, dan Bima? Pria itu sudah pasti akan berbuat semaunya baik kepada Angga maupun dirinya. Itu yang sangat membuatnya khawatir.

Belum lagi bagaimana jika ibunya mengetahui kisah sesungguhnya tentang rumah tangganya? Ada banyak hal yang dia pertimbangkan sebelum membagikan tentang dirinya.

Samar terdengar keributan di ruang pesta. Bersamaan dengan ponsel Hanum yang berbunyi.

"Hanum!"

"Aku akan ceritakan semuanya. Aku janji, tapi tidak sekarang! Eum ... aku harus pergi, Mas Bima sudah telepon! Sampai ketemu lagi, Marisa. Makasih ya," ujarnya seraya mengusap bahu Marisa kemudian mengambil langkah seribu meninggalkan sahabatnya itu.

**

Di mobil suasana tegang, meski berkali-kali Hanum mencoba mengusap darah yang terlihat di ujung bibir suaminya, tetapi Bima menepis tangannya. Dari yang dia lihat tadi, Bima dan Angga saling pukul, mereka berdua terlibat perkelahian di tempat itu. Beruntung segera dilerai oleh semua yang hadir hingga keributan itu tidak berlangsung lama.

"Kamu bicara apa ke dia! Apa yang kamu ceritakan ke pria pecundang itu?" tanyanya kasar.

Hanum menggeleng. Hal yang dikhawatirkan terjadi juga. Angga pasti tadi marah pada Bima meski dia tidak bercerita apa pun.

"Cerita apa? Aku nggak tahu, Mas."

"Jangan bohong! Kamu sedang mencoba melindunginya?" tangkis Bima.

Hanum menggeleng meyakinkan.

"Dari mana aku bisa cerita, sementara aku di toilet, Mas," elaknya.

Bima diam, tetapi matanya melirik tajam ke sang istri.

"Aku nggak tahu bagaimana caranya dia bisa menemuimu atau mungkin sebaliknya!"

"Mas Bima menuduh aku?"

Seringai terlihat di bibir pria yang tengah mengemudi itu.

"Sejak lama memang aku sudah tahu kalau kamu nggak pernah mencintaiku, Hanum!" ujarnya dengan tawa yang terdengar sumbang. "Tapi aku aja yang terlalu bodoh karena jatuh cinta padamu!"

Hanum membasahi kerongkongannya. Ucapan Bima terdengar seperti penyesalan. Mungkin dia memang belum mencintai Bima, tetapi dia berusaha untuk menjadi istri seperti yang diinginkan pria itu. Hanum berharap dia bisa mengubah perasaannya dengan mencoba memahami setiap apa pun yang Bima kerjakan.

"Mas dengar aku! Hentikan ucapanmu itu. Aku sakit setiap kali mendengar kamu bicara seperti itu!" protes Hanum.

Genangan air di matanya perlahan tumpah.

"Tolong jangan bicara seperti itu lagi. Aku istrimu, Mas! Berhenti terus curiga padaku!"

Bima menyeringai.

"Kamu pantas dicurigai, Hanum!"

"Setelah semua yang terjadi, setelah aku mengikuti semua keinginanmu?"

"Iya! Setelah semuanya terjadi! Aku bahkan semakin mencurigaimu!"

Hanum membuang napas dari mulutnya. Selama ini dia selalu mencoba mengalah dan sabar. Berharap suara saat Bima bisa berubah, tetapi Hanum salah! Karena pria itu semakin tenggelam dalam prasangka yang tak berujung hingga bisa sewaktu-waktu menghancurkan dirinya sendiri.

"Aku capek, Mas! Aku lelah! Ternyata semua usahaku sama sekali tidak pernah dianggap. Semuanya yang kuusahakan sia-sia saja. Aku nyerah!"

Rahang Bima tampak tegang, gemeretak giginya terdengar samar.

"Apa yang kamu pikirkan? Apa maksud kamu bilang soal lelah?" tanyanya menoleh sekilas. "Kamu pikir aku akan lepasin kamu begitu saja?" Bima menyeringai kemudian menggeleng. "Lebih baik kamu kubur saja pikiran itu!"

Hanum hanya menarik napas dalam-dalam kemudian menyandarkan kepalanya ke jendela. Malam semakin larut, jalanan sudah mulai lengang meski ada toko dan penjual makan yang masih menunggu pelanggan.

Sementara Bima berkali-kali membuang napas kasar sembari menambahkan kecepatan mobilnya.

**

Seperti yang dipikirkan Hanum sejak semalam, dia pasti akan kembali dihukum oleh Bima. Pria itu kembali mengajaknya ke ranjang untuk memuaskan hasratnya.

Air mata Hanum menetes saat di kamar mandi. Luka yang kemarin belum sembuh, kini dia harus kembali merasakan hal yang sama. Ingin dia memekik meminta tolong, tetapi khawatir Bima akan lebih marah lagi yang tentu saja akan berakibat lebih fatal dari saat ini.

Membuka pintu kamar mandi, aroma vanilla dari parfum Bima menguar.

"Hanum," sapanya mendekat.

Hanum mundur mengurungkan niatnya menuju lemari. Dia perlahan mundur dan merapatkan bathrobe ke tubuhnya.

"Kamu takut padaku?" tanyanya lirih masih mencoba mendekat.

"Kamu mau ninggalin aku? Kamu marah, Hanum?" cecarnya dengan wajah bersalah. "Maafkan aku. Aku ...."

"Aku mau ganti baju, Mas."

"Bibirmu ... luka. Maaf aku nggak bisa menahan ...."

"Aku baik-baik saja. Percayalah! Tolong sekarang Mas keluar, aku mau ganti baju," pintanya.

Seperti tak mendengar, Bima terus mendekat hingga mengungkungi Hanum yang merapat ke tembok. Lembut Bima mengusap air mata sang istri kemudian mengecup pelan keningnya.

"Aku mohon, jangan pergi, jangan tinggalkan aku, Hanum," bisiknya tepat di telinga.

Hanum memejamkan matanya, bukan desir indah yang dia rasakan, melainkan ketakutan yang semakin memenuhi jiwanya. Bima telah bisa membuat hidupnya jungkir balik seketika.

"Mas Bima, Mbak Hanum, ada ibu Mbak menunggu di ruang tamu, Mbak." Suara Surti terdengar disertai ketukan di pintu.

"Ibu!" seru Hanum bernapas lega.

Wajah Bima menegang.

"Kamu yang nyuruh ibumu ke rumah kita?" selidiknya.

Hanum menggeleng cepat.

"Nggak! Aku nggak pernah meminta ibu untuk datang. Mungkin Ibu rindu, karena sudah lama aku nggak berkunjung ke sana," jelasnya.

Bima mengangguk paham dia kemudian memberi isyarat agar Hanum segera mengganti bajunya.

"Aku percaya padamu, Hanum, aku percaya kamu tidak akan meninggalkan aku dan kamu bisa simpan rahasia dengan baik!" tutur Bima seraya menyugar rambutnya. "Aku keluar menemui ibumu dulu!"

Hanum menghela napas lega, setidaknya untuk beberapa waktu dia bisa sedikit berhenti merasakan hidup bak di neraka.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top