Kecurigaan Tania dan Lila

Rukmini mengernyit menatap putrinya. Dia melihat bibir Hanum ada bekas luka dan sedikit ada memar tampak di bahunya.

"Kamu kenapa kok ... bibirnya seperti habis luka gitu? Terus bahu kamu lebam. Kenapa, Num?" tanyanya seraya menyingkirkan anak rambut di dahi sang puteri.

Hanum tersenyum, dia membalas tatapan Bima sejenak kemudian menggeleng menatap sang ibu.

"Ini cuma sempat jatuh terpeleset kemarin, Bu," jelasnya.

"Terpeleset?" Ibunya tak yakin.

"Iya, Bu. Biasa, Hanum memang agak bandel kalau dilarang. Kemarin itu dia bantuin Surti di dapur, ya nggak tahu kenapa dia tiba-tiba terpeleset gitu. Padahal saya sudah melarang dia untuk ikutan kerja apa pun di rumah ini. Saya nggak mau dia kecapekan," papar Bima.

Rukmini tersenyum menatap Hanum.

"Hanum, suamimu itu sayang banget sama kamu
Sampai kamu nggak boleh ngerjain apa-apa. Ikuti saja apa yang dia perintahkan, Nak. Kamu jatuh itu juga karena suamimu nggak rida kalau ikutan sibuk."

Perempuan paruh baya itu menatap hangat sembari mengusap punggung puterinya. Sementara Hanum harus menahan perih sedemikian rupa agar tidak memekik karena luka yang tersentuh ibunya.

"Bima," panggil Rukmini menoleh ke menantunya.

"Iya, Bu?"

"Boleh Hanum Ibu ajak ke rumah? Adik-adiknya pada kangen sama Hanum."

Bima menarik napas dalam-dalam kemudian berpikir sejenak.

"Eum ... boleh, kan? Diah lama juga Hanum nggak ketemu Tania juga Lila. Besok Tania ulang tahun, dia ingin ada Hanum bersamanya," imbuh Rukmini.

"Oke, Bu. Nggak apa-apa, jadi Hanum bermalam di sana?"

"Iya, tapi itu juga kalau kamu mengizinkan, Bima," jawabnya.

Bima tersenyum lebar lalu mengangguk. "Saya izinkan, Bu, nanti kalau pulang, biar Hanum saya jemput."

Rukmini menarik napas lega, dia lalu mengucapkan terima kasih kepada menantunya itu. Sementara di lubuk hati Hanum, dia juga merasa sangat bersyukur karena Bima memberikan izin untuknya. Akan tetapi, tentu saja dia harus tetap menyembunyikan luka lebam di bahu dan punggungnya.

"Kalau begitu, Hanum beberes dulu ya, Bu."

Ibunya mengangguk kemudian kembali bercengkerama dengan Bima.

Sementara di kamar Hanum memasukkan beberapa helai bajunya.

"Hanum." Suara Bima mengejutkannya. Sontak dia berbalik menghadap ke belakang.

"Iya, Mas?" jawabnya menatap pria berwajah teduh itu.

"Adikmu mau ulang tahun kenapa nggak bilang ke aku?" tanyanya.

"Eum ... aku pikir itu bukan hal penting, Mas. Tania bukan orang yang suka ulang tahunnya dirayakan. Dia hanya ingin keluarga kecil kami berkumpul dan makan bersama. Itu aja."

"Tapi dia jadi adikku sekarang, dan sebagai kakak, aku harus memberikan kejutan buat dia."

Hanum bergeming. Bima memang bukan pria yang pelit untuk memberi hadiah kepada seseorang yang dianggapnya istimewa. Beberapa waktu lalu, Rukmini juga diberikan hadiah berupa satu set perhiasan mewah pada saat ulang tahunnya.

Meski Hanum keberatan karena khawatir itu akan jadi bumerang baginya, tetapi percuma saja keberatan, toh Bima tetap memberi kejutan itu ke ibunya. Belum lagi beberapa hadiah yang juga sering diterima Lila adik bungsunya karena prestasi yang dia raih.

"Sore nanti aku datang, ada hadiah spesial dariku buat Tania."

"Mas kamu terlalu memanjakan keluargaku, ada baiknya hal itu jangan diteruskan deh, Mas. Aku khawatir mereka terutama adik-adikku jadi tergantung padamu," ungkapnya seraya menarik resliting koper.

Bima meraih bahu Hanum perlahan. Dia tahu bahu itu masih memar dan tentu sangat terasa sakit jika dia memegang secara kasar.

"Sudah kubilang padamu, aku juga kakaknya sekarang, jadi biarkan aku ikut memberikan kebahagiaan padanya." Bima mengusap lembut pipi sang istri kemudian mengecup keningnya.

"Sekarang kamu boleh beranggapan. Kasian Ibu menunggu sejak tadi. Eum ... aku berharap kamu nggak menyia-nyiakan rasa percayaku ini," pesannya dengan menekan kalimat paling akhir.

"Aku tahu, Mas. Terima kasih ya, sudah mengizinkan aku pulang sebentar."

Bima mengangguk kemudian tersenyum.

"Aku bahagia kalau kamu bahagia, Hanum," tuturnya pelan.

**

Tania dan Lila antusias menyambut kedatangan Hanum. Meski satu kota, tetapi jarak tempuh rumah mereka cukup jauh dari kediaman Hanum sekarang.

Tania berceloteh tentang sekolah dan cowok baru incaran para siswa perempuan di sekolahnya, sementara Lila tak lelah mengunyah krakers gurih kesukaannya sembari menyimak cerita Tania.

Hati Hanum menghangat melihat kebahagiaan mereka. Selain rasa rindu kepada ibu dan adiknya sedikit terobati, dia juga kembali bisa merasakan kenyamanan yang sekian lama tidak dia rasakan.

"Kemarin Lila ketemu Mas Angga!" cetus Lila masih dengan camilannya.

Saat disebut nama Angga, Tania sontak menatap kakaknya.

"Mas Angga duduk sendirian di kafe yang biasanya dulu Mbak Hanum sama.Mas Angga datangi itu loh, Mbak! Mbak ingat, kan?" imbuhnya tanpa merasa jika ada hati yang masih bergetar ketika nama itu disebut.

Tania yang mengetahui mimik wajah Hanum tiba-tiba berubah, segera menginjak kaki Lila.

"Aww! Apaan sih, Mbak! Kenapa kaki Lila diinjak!" serunya dengan bibir mencebik.

"Sori! Keinjek, La!" kilah Tania dengan mata masih menatap Hanum.

"Keinjek apaan! Sengaja, kan?" protesnya kesal.

Hanum tertawa melihat tingkah kedua adiknya. Sambil menggeleng dia melerai.

"Udah udah! Kalian ini selalu begitu. Baru aja akur, eh udah berantem lagi."

Lila memajukan bibirnya dengan mata mendelik ke Tania, sementara Tania tertawa kecil melihat tingkah sang adik.

"Mas Angga titip sesuatu ke Lila, katanya buat Mbak Hanum," sambungnya lagi.

"Titip apa, Num?" Tania ingin tahu.

"Kepo!" timpal Lila masih kesal.

"Nanti aja, Mbak. Sekarang Mbak cerita deh, gimana Mas Bima? Lila pikir Mas Bima baik ya. Dia sering kirimin Lila pernak pernik K-Pop!" celotehnya lancar.

"Malam Minggu pekan lalu, Lila sama teman-teman dibelikan tiket nonton bioskop!" imbuhnya lagi.

Hanum hanya tersenyum tipis mendengar celoteh adiknya. Bima, entah kenapa dia merasa jika pria itu tengah membangun image baik di mata orang banyak, tetapi dengan mengabaikan perasaan luka istrinya sendiri.

Bagaimana keluarganya bisa percaya jika dia menceritakan yang sesungguhnya? Sementara di mata kedua adik dan ibunya tak melihat celah buruk sedikit pun yang ada pada diri pria itu.

"Mbak Hanum!" Satu tepukan dari Tania membuatnya menoleh. "Kok ngelamun?"

"Nggak kok, Mbak cuma senang banget berada di tengah-tengah kalian! Sudah lama banget nggak seperti ini," jawabnya menahan mata yang terlihat berkaca-kaca.

"Mulai mellow deh!" Tania merengkuh bahu sang kakak erat sehingga Hanum tanpa sengaja memekik menahan perih.

Melihat ekspresi Hanum yang kesakitan, segera Tania mengangkat tangannya dari bahu Hanum.

"Maaf, Mbak! Mbak kenapa? Sakit? Apanya yang sakit?" Tania panik menelisik bahu dan punggung kakaknya.

"Nggak kok, nggak, Mbak nggak apa-apa cuma bahu Mbak terbentur kemarin jadi masih sakit banget," elak Hanum mencoba menghindar saat Tania ingin tahu.

Lila memindai wajah Hanum, adik bungsunya itu melihat mata berkaca-kaca sang kakak.

"Mbak Hanum."

"Iya, Lila?"

Tak menjawab, Lila bangkit mendekat.

"Mbak Hanum sedang sedih?" tanyanya pelan.

Menggeleng cepat, Hanum menjawab, "Siapa yang sedih? Mbak justru sangat bahagia sekarang! Eum ... oh iya, boleh Mbak istirahat di kamar Mbak? Sudah lama banget Mbak nggak tidur di sana!"

Kedua adiknya mengangguk. Hanum memamerkan dekikan di pipi kemudian melangkah menjauh meniti anak tangga menuju ke kamarnya.

Sepeninggal Hanum, kedua adiknya saling bertukar pandang.

"Aku pikir ada yang disembunyikan Mbak Hanum dari kita, Lila!"

Adik bungsunya itu mengangguk. "Nanti Lila coba cari tahu, Mbak. Sebab ... Mas Angga titip pesan ke Mbak Hanum supaya percaya pada ucapan Mas Angga."

**

Hanum merebahkan tubuhnya ke ranjang menatap langit-langit. Kamar ini selalu bisa memberikan kenyamanan sama seperti saat dia masih sendiri kala itu.

Perlahan dia memejamkan mata, hidup bersama Bima hampir bisa dipastikan dia hanya bisa tidur sebentar saja dalam satu malam.

Saat siang pun dia tidak bisa memejamkan mata karena hatinya selalu diliputi kekhawatiran.
Khawatir salah, khawatir Bima tiba-tiba menginterogasinya dengan segenap prasangka.

Perempuan berambut hitam itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan. Pelan tapi pasti matanya terlelap. Hanum mengistirahatkan jiwa dan raganya sejenak sebelum kembali menyadari bahwa hidup tidak selalu seperti yang diinginkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top