Kecurigaan Marisa
Semenjak perdebatan beberapa pekan yang lalu, Hanum menjadi lebih pendiam. Dia juga mengikuti benar peraturan yang diterapkan suaminya.
Kemarin sore, Marisa menelepon mengajak dia untuk bertemu di depot bakso terkenal di kota itu . Namun, tentu saja hal itu tidak bisa dia penuhi. Saat Marisa bertanya kenapa, Hanum hanya mengatakan jika dia cukup sibuk dengan bisnisnya.
"Oke kalau aku yang ke rumahmu gimana?" tanya Marisa di seberang.
Hanum terdiam. Dia juga tidak mungkin begitu saja menerima temannya tanpa lebih dulu izin kepada Bima.
"Hanum? Apa kamu nggak bisa juga?"
Hanum menarik napas dalam-dalam.
"Aku ...."
"Kamu kenapa?"
"Aku bilang ke suami dulu ya, Marisa. Kalau dia izinkan, kamu bisa ke sini besok."
"Oke! Aku tunggu kabarnya!"
"Eum ... Marisa."
"Iya?"
"Kamu ke sini sendiri, kan?"
Sejenak tak terdengar jawaban dari Marisa.
"Iya, Hanum. Aku sendiri!"
**
Bima mengusap puncak kepala sang istri saat Hanum mengatakan jika temannya akan bertandang ke rumah mereka.
"Perempuan, kan?"
Hanum mengangguk.
"Sendiri?"
Dia kembali mengangguk.
"Oke. Tapi di rumah aja ya. Jangan keluar dengan alasan apa pun!"
Menyungging senyum, Hanum mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.
"Kamu boleh pesankan temanmu itu makanan apa aja!" imbuhnya sembari mendekap tubuh sang istri.
Istrinya itu mengangguk.
"Marisa itu chef, Mas. Namanya cukup dikenal. Dia juga aktif membagikan resep di channel YouTube-nya," tutur Hanum.
"Wah bagus dong! Oke! Terserah kamu aja. Besok kamu udah selesai, kan?" tanyanya menatap hangat paras istrinya.
Hanum menyipitkan matanya tak mengerti maksud dari pertanyaan Bima.
"Sudah selesai apa?"
"Sudah satu pekan aku nggak ...." Bima memberikan isyarat dengan mata berharap Hanum paham.
Kali ini perempuan yang mengenakan baju tidur sebatas lutut berbahan satin itu memamerkan dekikan di pipi. Seperti itulah Bima. Terkadang dia manis, tetapi bisa dengan cepat berubah penuh amarah.
"Jadi bisa besok atau malam ini?" tanyanya masih dengan mata nakal.
Hanum bangkit, dia mengatupkan bibir seolah menyembunyikan rahasia, lalu melangkah ke kamar. Paham dengan isyarat istrinya, Bima segera beringsut mengikuti langkah sang istri. Sekejap kemudian, Hanum sudah berada di dalam gendongan sang suami menuju ke kamar mereka.
**
Angga meletakkan pulpennya ke meja. Sejak seusai makan malam, hingga hampir dini hari dia berada di ruang kerja. Pria itu membiarkan Ajeng menginap di rumah mertuanya. Karena besok adalah ulang tahun mama Ajeng.
Entah kenapa ucapan Bima beberapa waktu lalu terus memenuhi ingatannya. Suami Hanum itu berbicara soal perasaan Hanum padanya.
Lembut kilas kebersamaan dia dan Hanum tersaji satu per satu. Hanum bak separuh jiwanya kala itu. Hamparan tidak ada rahasianya yang Hanum tidak tahu, begitu juga sebaliknya.
Angga lalu menarik napas dalam-dalam kemudian memijit pelipisnya. Kali ini perkataan Marisa yang mampir di kepalanya.
"Kalau seandainya dulu Hanum mengatakan jatuh cinta padamu, apa kamu menerima cintanya, Ngga?"
"Hanum? Hanum jatuh cinta padaku?" Angga lalu menggeleng cepat sambil tersenyum tipis.
"Kenapa? Apa yang kurang dari Hanum? Dia cantik, iya! Pintar, sudah pasti, kalau baik, aku rasa kamu nggak perlu aku jelaskan soal itu deh, Ngga!" papar Marisa seraya membalas tatapan Angga.
"Apa lagi yang kamu cari?" sambungnya.
Angga saat itu tidak menjawab pertanyaan Marisa, karena Dito suami Marisa menghentikan obrolan itu. Karena menurutnya sudah tidak perlu lagi pertanyaan itu diucapkannya karena masing-masing dari mereka sudah memiliki pasangan dan berbahagia dengan pilihan mereka.
Bahagia dengan pilihan mereka? Benarkah? Benarkah dia sekarang bahagia dengan pilihannya? Apakah dia bahagia dengan Ajeng? Jika dia bahagia, lalu apakah Hanum juga bahagia dengan Bima? Sementara yang Angga tahu Bima begitu over protective terhadap Hanum. Sedangkan dirinya? Ajeng semakin hari semakin sibuk dengan dirinya sendiri. Fokus memiliki anak dan iku berbagai terapi belakangan ini membuat Angga merasa kembali hidup sendirian.
Memikirkan semuanya membuat Angga gusar. Pria itu mengacak rambutnya seolah ingin menuangkan perasaan kesalnya saat ini.
[Hanum sepertinya bahagia, tapi ... cuma sepertinya. Aku nggak melihat binar bahagia yang sesungguhnya di matanya.] Satu pesan masuk dari Marisa di ponselnya.
Angga kembali mengacak rambutnya, lalu meletakkan ponsel di meja begitu saja.
"Ck! Apa itu artinya kamu nggak bahagia, Hanum?" gumamnya.
**
Suasana rumah Ajeng masih riuh, meski acara ulang tahun mamanya sudah selesai. Semua kerabat dan rekan sudah beberapa ada yang pulang. Sementara Ajeng terlihat gusar karena sejak acara pagi tadi hingga sore, suaminya belum datang.
"Angga belum datang, Jeng?"
"Belum, Ma. Ajeng sebel!"
"Sabar. Mungkin dia masih sibuk."
"Tapi ini hari istimewa Mama! Seharusnya dia datang sejak tadi dong!" ungkapnya kesal.
"Ajeng, itu bukan masalah buat Mama. Kamu nggak boleh begitu. Dia suamimi dan dia sedang kerja sekarang. Jangan bersikap seperti anak kecil!"
Ajeng mendengkus seraya mengerucutkan bibirnya. Meski apa yang dibilang mamanya itu benar, tetapi dia merasa Angga memang tidak pernah memprioritaskan dirinya akhir-akhir ini.
"Ma."
"Iya?"
Ajeng mendekat ke mamanya lalu meraih tangan perempuan paruh baya itu.
"Doakan hasi pemeriksaan Ajeng baik ya, Ma. Eum ... doakan tidak ada masalah di rahim Ajeng ya, Ma," mohonnya.
Mamanya mengangguk lalu tersenyum tipis.
"Tentu, Ajeng. Mama selalu berdoa untukmu dan kebahagiaanmu, Nak," ujarnya kemudian memeluk sang puteri.
"Ajeng nggak mau Mas Angga jadi nggak sayang ke Ajeng karena belum bisa memberikan anak, Ma," keluhnya.
"Apa Angga selama ini selalu menuntut untuk itu?"
Perempuan berambut pendek itu menggeleng.
"Nggak sih, Ma, tapi buat Ajeng satu-satunya untuk menjaga hati Mas Angga adalah jika Ajeng bisa memberi anak buatnya."
Menarik napas dalam-dalam, perempuan berbaju biru itu menggeleng pelan.
"Ajeng, ukuran kebahagiaan sebuah rumah tangga itu tidak hanya anak. Ada banyak yang bisa membuat bahagia, Nak. Seperti bagaimana kamu bisa memanjakan perut suamimu, bagaimana kamu bisa selalu memberi kenyamanan pada suami saat dia pulang kerja, bagaimana kamu bisa membuat dia merasa kamu benar-benar mencintainya ... itu semua adalah cara menciptakan bagaimana sebuah rumah tangga itu bisa bertahan dan saling setia. Jadi bukan hanya tentang bagaimana bisa menghadirkan anak," jelasnya panjang lebar.
Ajeng menghela napas panjang.
"Tapi, Ma. Ajeng nggak bisa masak, Ma!" ungkapnya. "Lagian Ajeng merasa sudah melakukan semuanya kok, kenyamanan saat dia di rumah, menunjukkan jika Ajeng sangat mencintainya. Ini sebenarnya bukan cuma tentang Ajeng, tetapi juga tentang Angga! Pokoknya anak harus bisa hadir di antara baku dan Angga!" imbuhnya dengan wajah masam.
**
Dito, Marisa dan Angga duduk melingkari meja bulat di kediaman Marisa. Sudah dua jam Angga berada di rumah itu. Dia mengusap wajahnya berkali-kali saat mendengar penuturan Marisa.
"Dia memang nggak cerita apa-apa, tapi aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. Karena ...."
"Karena apa?" desak Angga.
Marisa menggeleng cepat. Dia menatap Dito yang juga menatapnya. Bagi Marisa menjadi teman berbagi cerita sejak lama, membuatnya merasa apa yang dialami Hanum adalah hal yang sepatutnya dia pikirkan. Terlebih dia sangat paha seperti apa Hanum dan bagaimana sifat perempuan berkulit kuning langsat itu.
"Kenapa kamu di, Marisa?" Angga kembali bertanya.
Bergeming sejenak, dia lalu memejamkan mata seolah mencoba mengingat wajah Hanum sore kemarin. Ada memar di bahu dan sekitar punggung sekilas dia juga melihat biru. Sedangkan di sudut bibirnya terdapat luka yang tidak baru tetapi jelas masih terlihat bekasnya.
Marisa menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca kemudian berkata, "Nggak apa-apa. Dia baik-baik saja. Percayalah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top