Cinta atau obsesi?
Hanum duduk setelah meletakkan secangkir kopi untuk suaminya. Semalam Bima datang hampir tengah malam.
"Kopinya, Mas," tawarnya dengan wajah semringah.
"Thank you," ucap pria yang masih mengenakan piyama itu. "Selama aku tinggal, apa kamu ketemuan sama Angga?" tanyanya melirik ke sang istri.
Hanum memiringkan kepalanya menatap Bima. Pria itu mulai lagi menginterogasinya setelah semalam bertanya hal yang sama.
"Mas, aku, kan sudah bilang aku nggak ketemu sama Angga. Bukannya semalam kita sudah bicarakan soal ini?" jawabnya resah.
Hanum berbohong, atau lebih tepatnya terpaksa berbohong karena Bima terlihat sangat marah. Dia khawatir pria itu akan berbuat yang tidak baik kepada Angga. Jika jujur pun dia tahu Bima akan tetap marah atau bahkan makin marah meski dia hanya sekadar bertanya kabar dengan Angga.
"Kamu bohong!" ujarnya tegas tanpa menoleh.
Hanum terkesiap mendengar ucapan suaminya. Pria di sebelahnya itu berkata seolah dia tahu apa yang terjadi kemarin.
"Kenapa diam? Kamu bohong, kan?" tanyanya lagi.
Hanum menarik napas dalam-dalam. Dia berada di persimpangan yang rumit. Berbohong dan jujur pun tetap saja dia salah.
Bima menggebrak meja membuat Hanum tersentak. "Kamu sudah bohong ke aku, kan, Hanum?" bentaknya.
"Kemarin kamu Angga menemuimu, kan? Kalian janjian di toko bungamu, kan!"
Tenggorokan Hanum mengering seketika. Wajahnya menjadi seputih kapas. Air matanya perlahan mengalir. Dia menunduk, jemarinya saling bertaut.
"Jawab, Hanum! Jawab aku!" Kembali pria itu membentak.
"Kenapa diam? Kamu takut ketahuan berbohong, kan? Apa yang kamu pikirkan, Hanum? Apa! Di mana rasa hormatmu padaku suamimu! Di mana!"
Perempuan berbaju panjang berwarna krem itu semakin menunduk. Mengapa sulit dirinya untuk meyakinkan Bima jika dia tidak seperti yang dipikirkan? Mengapa suaminya itu selalu mencurigai dirinya sedemikian rupa?
Hanum terkejut saat tangan Bima menarik kuat dagunya hingga mata mereka saling beradu. Ada kilat amarah jelas di mata pria itu. Tak ada wajah teduh seperti biasa.
"Kenapa kamu bohong, Hanum? Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu membuat aku merasa tidak dihargai?" ujarnya dengan rahang mengeras.
Hanum meringis kesakitan karena dagunya terlalu keras di tekan oleh Bima.
"Lepasin aku, Mas. Sakit," mohonnya dengan air mata berlinang.
"Sakit? Iya! Aku tahu, tapi tidak sebanding dengan rasa sakitku, Hanum! Hatiku sakit! Saat aku bekerja untukmu, kamu malah ketemu sama mantanmu itu!"
Hanum menggeleng cepat.
"Mas, dengarkan aku, aku nggak janjian, Mas. Aku sama dia nggak sengaja ketemu di sana, aku ...."
Perempuan berkulit kuning langsat itu kembali meringis saat tangan besar Bima mendarat keras di pipi hingga bibirnya berdarah.
Menahan sakit, Hanum mengusap pelan bekas tamparan Bima. Perih yang terasa di pipi dan bibir, tidak sebanding sakit yang dia rasakan di hati. Untuk pertama kalinya dia merasakan ditampar oleh pria dan tragisnya pria itu adalah suaminya.
Sementara Bima mundur membuat jarak seraya memijit pelipisnya. Pria itu terlihat sangat menyesal.
"Oke, Mas. Tampar saja aku jika itu bisa membuat Mas lega. Sakiti aku jika memang itu cara Mas untuk bisa melenyapkan rasa sakit hati yang Mas rasakan!" Hanum mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. "Aku mau Mas dengarkan aku."
Hanum lalu menceritakan tentang kedatangan Angga dan kenapa dia berbohong.
"Aku tahu aku salah, Mas. Hukum aku. Aku siap. Tapi aku berani sumpah kalau apa yamg kuceritakan itu memang seperti itu yang terjadi. Aku tidak pernah janjian sama Angga, dan Mas Bima juga tahu, kan? Aku sudah tidak punya nomor teleponnya lagi sejak kita menikah?"
Bima mengepalkan tangannya. Amarahnya kini kembali muncul, tetapi dengan Angga. Sahabat istrinya itu sudah berani melanggar peringati darinya.
"Aku akan buat perhitungan dengan dia!" ujarnya seraya bangkit dari duduk.
"Perhitungan apa, Mas?" tanya Hanum memberanikan diri. Dia ikut bangkit dan mendekat.
"Pria beristri itu sudah aku peringatkan agar tidak lagi mendatangimu karena sudah jadi milikku! Tetapi apa yang dia lakukan? Apa! Dia justru diam-diam melanggar aturanku!"
"Licik!" umpatnya lalu mengayun langkah ke kamar meninggalkan Hanum yang masih menahan perih karena bibirnya berdarah.
**
"Maaf, Mbak Hanum ... sini saya bantu kompres bibirnya buat nggak bengkak," ujar Surti asisten rumah tangganya saat Hanum berada di dapur.
Hanum menggeleng sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa, Mbok. Buat saya aja. Mbok Surti lanjutkan kerjaan Mbak aja," tuturnya seraya mengambil air hangat dari dispenser.
Perempuan yang sebagian rambutnya kelabu itu menatap sedih ke Hanum. Dia tak sengaja melihat apa yang dilakukan majikan prianya ke sang istri.
"Mbak Hanum yang sabar ya," bisiknya seolah khawatir Bima mendengar.
Hati Hanum seperti disayat mendengar ucapan Surti. Mendadak dia sangat ingin bertemu ibunya, tapi tentu hal itu tidak bisa dilakukan saat ini, karena pasti akan ada banyak pertanyaan jika sang ibu melihat kondisinya.
"Kalau begitu, saya mau ke belakang dulu ya, Mbak. Mau nerusin jemur pakaian," pamitnya sopan.
Hanum mengangguk sambil tersenyum. Perlahan dia menempelkan waslap basah ke sudut bibirnya. Sejenak dia memejam merasakan perih.
Suara pintu kamar dibuka, Bima tampak segar dan siap pergi. Mengerutkan kening, Hanum beranjak dari duduk menghampiri sang suami.
"Mas mau ke mana?"
Bima menoleh sejenak, tanpa menjawab, dia melangkah menuju pintu.
"Mas Bima, Mas mau ke mana?"
Pria itu membalikkan badan menatap Hanum. Wajah perempuan di depannya itu begitu pilu. Bima membasahi kerongkongannya kemudian menyentuh bahu Hanum.
"Ada urusan penting. Kamu di rumah aja."
"Tapi Mas baru aja datang."
Bima menggeleng cepat, lalu merengkuh tubuh Hanum ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku, Hanum. Maafkan aku," bisiknya mengecup puncak kepala istrinya. "Aku hanya takut kehilanganmu, itu saja."
"Aku mohon, jangan lagi berbuat seperti itu. Jangan kecewakan aku, Hanum. Kamu nggak tahu sedalam apa aku mencintaimu," imbuhnya seraya menyematkan kecupan lembut di kening sang istri.
Hanum memejamkan mata mencoba memahami apa yang dirasakan suaminya. Kembali air matanya menetes, kali ini bukan karena perihnya bibir, tetapi karena bisa merasakan apa yang dirasakan sang suami.
Jika sudah begini, mungkin memang benar jika dia harus kembali membenahi diri salah satunya adalah dengan menjauh dari semua teman dan siapa pun yang nantinya bisa terhubung dengan Angga.
**
Suara gemeretak gigi Bima terdengar. Paras pria itu benar-benar menunjukkan sedang meradang menahan amarah. Sementara Angga duduk di depannya. Berkali-kali dia mengusap wajahnya. Dari matanya, dia juga tampak menekan luapan kemarahan.
Siang itu Bima sengaja datang ke kantor Angga untuk kembali memberi peringatan kepada pria itu.
"Kamu lupa aku pernah bicara apa tempo hari? Apa kamu tuli sehingga ucapanku tak bisa masuk ke dalam otakmu?" tanya Bima dengan tatapan menusuk.
Angga menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.
"Kamu tahu aku siapa, kan, Bima? Kita berteman sudah lama, dan kamu juga tahu aku punya istri, kan?"
"Dan aku juga tahu perasaan Hanum ke kamu! Paham kamu, Angga!" sentaknya dengan tangan mengepal. "Aku nggak mau siapa pun mengecewakan dia lagi. Karena Hanum sudah cukup lama kamu kecewakan!"
Angga menyipitkan matanya menatap Bima.
"Apa maksudmu, Bima? Ada apa dengan perasaan Hanum?"
Bima tertawa sumbang.
"Ck! Ayolah jangan pura-pura bodoh! Atau memang kamu benar-benar bodoh!" ejeknya.
"Aku nggak ngerti maksudmu!"
Pria berkemeja lengan pendek berwarna hitam itu bangkit lalu memajukan badannya ke Angga yang duduk di belakang meja.
"Kamu nggak ngerti? Itu artinya kamu benar-benar bodoh!" ejeknya lagi. "Kamu itu buta, Angga! Dan aku berterima kasih atas kebutaanmu, dan aku janji untuk membuat dia bahagia!"
Bima lalu berbalik badan, sebelum melangkah pergi dia menoleh.
"Selamat siang! Aku minta sekali lagi padamu! Jangan pernah kami menemui istriku dengan alasan apa pun! Paham? Selamat siang!"
Angga tak menanggapi, dia hanya bergeming menatap punggung Bima hingga menghilang dari balik pintu.
'Dan aku juga tahu perasaan Hanum ke kamu!'
Kalimat Bima kembali terngiang di telinganya.
"Perasaan Hanum?" Angga menggumam. Ada sesal yang tiba-tiba menyeruak. "Apa yang dia rasakan?" Kembali dia bermonolog.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top