Cincin

Terkejut akan kehadiran seseorang di sampingnya, Hanum membeliak. Dengan dahi berkerut dia menoleh ke sekeliling kemudian kembali menatap Angga.

"Kamu ngapain di sini? Kenapa bisa masuk?" tanyanya cemas.

Angga yang sejak tadi menatap parasnya tersenyum tipis. Pria itu kemudian duduk di sampingnya.

"Angga kamu ngapain ke sini? Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Sstt! tanyanya satu-satu." Angga menempelkan telunjuknya ke bibir Hanum. Lagi-lagi perlakuan itu membuat matanya membulat. Melihat ekspresi Hanum, Angga memamerkan deret giginya yang rapi.

"Aku ke sini karena ingin bertemu kamu. Sudah beberapa hari aku nggak lihat kamu di toko. Sella bilang kamu dalam masa pingitan!" jelasnya sembari menurunkan jarinya.

"Kamu apa kabar?" tanyanya menatap hangat.

Hanum menarik napas dalam-dalam. Dia enggan menjawab.

"Kamu cantik! Eum ... jangan ge-er! Kamu memang terlihat beda dari hari terakhir kita ketemu tempo hari!"

Hanum tak menoleh dia hanya tersenyum samar.

"Kamu sudah ketemu aku, kan? Sekarang kamu pergi! Aku nggak mau ada fitnah nanti kalau orang-orang yang ada di rumah ini tahu."

"Hei! Semua orang juga tahu kalau tidak akan terjadi apa-apa antara aku dan kamu di tempat ini!" dalih Angga.

"Itu, kan menurutmu! Kamu tega kalau sampai pernikahan aku dan Bima batal karena mereka memergoki aku dan kamu berdua saja di sini?"

Angga membuang napas perlahan. Hanum benar. Tindakannya memang bukan hal yang baik baginya juga bagi perempuan yang besok akan melangsungkan pernikahan itu. Namun, dia benar-benar tidak bisa menahan keinginan untuk bertemu Hanum.

"Hanum, aku akan pergi, tapi kamu harus menjawab pertanyaanku."

"Apa?"

"Apa kamu yakin dengan Bima?"

Sejenak Hanum membisu, lalu cepat dia mengangguk.

"Tentu saja! Kalau aku nggak yakin semua yang kamu lihat di luar tadi nggak akan ada," jawabnya menoleh sejenak kemudian kembali menatap kolam ikan.

Angga menghela napasnya kemudian mengangguk.

"Aku lega karena mendengar sendiri dari kamu. Oke, jaga diri baik-baik ya. Selamat, Hanum. Aku ikut bahagia," ujarnya seraya mengulurkan tangan ke Hanum.

"Thank you, Angga."

Mengangguk keduanya saling melepas jabatan tangannya.

"Eum ... dasi kamu sama kemejanya norak!" tutur Hanum tertawa kecil mengomentari pakaian Angga.

Tertawa kecil, Angga mengusap puncak kepala Hanum.

"Ini yang aku rindukan dirimu, Hanum!" ungkapnya kemudian mencubit pipi perempuan itu.

"Pulang sana! Ajeng pasti bingung kalau tahu kamu nggak di kantor!"

Serasa ada sembilu mengoyak hatinya saat mengatakan itu. Setelah hari ini tentu semua akan semakin berubah. Dia tak lagi bebas bergerak seperti sebelumnya, karena ada Bima yang harus dia hormati. Tentu saja dia juga tidak mungkin menerima Angga untuk datang ke toko sesukanya karena ada hati baru yang harus dia jaga.

Siulan Angga menyadarkan lamunannya. Pria berhidung mancung itu mengerling dengan senyum manis ke arahnya.

"Calon pengantin nggak boleh melamun! Pamali! candanya.

Hanum tersenyum getir.

"Sudah, Angga! Pulang sana!"

"Sebentar! Aku punya sesuatu buat kamu. Ini spesial!" tuturnya merogoh saku celana.

Pria itu mengeluarkan kotak kecil beludru berwarna marun.

"Untukmu! Ini kado dariku untuk perempuan yang paling punya arti di hidupku!" ujar membuka kotak itu. "Kamu pakai ya," pintanya.

Hanum tercenung melihat cincin indah bermata berlian di dalamnya. Cincin itu bahkan lebih indah dari cincin pernikahan yang Angga berikan ke Ajeng.

"Kamu nggak salah?" tanyanya heran.

Angga menggeleng.

"Apanya yang salah? Apa memberi sesuatu kepada seseorang yang spesial itu salah?" Dia balik bertanya.

Spesial? Angga menganggap dirinya spesial? Lalu bagaimana dengan Ajeng? Kenapa Angga dengan mudahnya mengatakan jika dia spesial tanpa bisa merasakan apa yang Hanum rasakan?

"Hanum? Kamu mau menerima ini, kan?"

Hanum tampak ragu.

"Please! Terima, Hanum. Ini untukmu, dari aku," mohonnya.

Hanum mendorong pelan tangan kotak beludru yang masih di tangan Angga. Dia menggeleng pelan.

"Apa itu nggak berlebihan, Angga? Aku ...."

"Nggak ada yang berlebihan untukmu, Hanum. Please, terima ya. Kalau kamu nggak mau memakainya sekarang, kamu bisa simpan dan kapan pun kamu bisa memakainya."

Hanum menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Oke, aku akan simpan, demi persahabatan kita."

Angga tersenyum lega.

"Tapi aku tetap berharap, kamu akan memakainya suatu saat nanti, tuturnya seraya meletakkan kotak kecil itu di tangan Hanum.

Perempuan itu tersenyum tipis lalu mengucapkan terima kasih.

"Sekarang kamu pulang ya. Kamu udah terlalu lama di sini. Aku khawatir nanti mereka semua tahu."

"Oke. Aku pulang. Selamat sekali lagi, Hanum."

Bibir Hanum tertarik singkat kemudian mengangguk membiarkan pria itu menjauh dan kembali melewati pintu di mana dia muncul tadi.

**

Ajeng merapikan kerah kemeja batik yang dipakai suaminya. Setelah tadi pagi pria itu terlihat emosional di acara akad nikah Hanum. Malam ini dia tampak lebih lega.

Tentu saja pagi tadi  Ajeng berusaha menahan perasaan cemburu yang muncul saat Angga berkali-kali mengusap wajah ketika sesi foto yang dilakukan kedua mempelai. Meski tak ingin terlihat terlalu larut dengan keadaan, tetap saja Angga gak bisa menyembunyikan perasaannya.

"Semoga setelah ini aku tidak lagi selalu cemburu dengan Hanum, Mas!" ujar Ajeng seraya meraih tas tangannya.

Angga menarik napas panjang. Istrinya itu seolah tak bosan mengungkap rasa cemburunya kepada Hanum meskipun dia sudah selalu menyampaikan jika tidak akan ada rasa kepada Hanum seperti yang dia rasakan kepada sang istri.

"Mas! Aku serius ini. Kenapa kamu diam aja?" cetusnya.

"Iya, aku tahu. Kamu udah siap?" Angga seolah tak menanggapi.

Ajeng mengangguk kemudian mengikuti langkah Angga. Tangannya terulur meraih lengan sang suami. Keduanya menuju mobil yang sudah disiapkan sopir pribadi mereka.

"Besok kita ke dokter kandungan yuk, Mas!" pinta Ajeng saat sudah berada di mobil.

Dia menghela napas panjang. Permintaan Ajeng itu sudah kesekian kalinya sejak dua bulan pernikahan mereka. Entah apa yang ada di kepala perempuan berwajah manis itu. Namun, Ajeng begitu ingin untuk segera hamil.

"Ngapain sih harus ke dokter? Kita ini baru saja menikah dan wajar kalau belum ada tanda-tanda kehamilanmu. Ck! Please, jangan terlalu parno ah!" ujar Angga sedikit kesal.

Mendengar jawaban suaminya, Ajeng berdecak. Seraya mencebik dia berkata, "Aku mau cepat hamil, Mas. Supaya kamu berhenti memikirkan Hanum!"

Pria itu menoleh menatap lekat sang istri.

"Apa? Aku memikirkan Hanum?"

Ajeng mengangguk kesal. Dia selama ini memang selalu mati-matian menahan perasaan cemburu yang kerapkali muncul. Dia tahu Angga memang sudah jarang menemui Hanum dan Hanum juga sudah menjaga jarak dengan suaminya itu, tetapi tetap saja Ajeng tidak bisa menahan prasangka yang terkadang menyiksanya.

"Please! Berhenti bicara soal kecemburuan kamu kenapa Hanum! Padahal kamu tahu siapa yang aku pilih, kan? Aku memilihmu dan cukup! Hentikan prasangka yang tidak berdasar itu!" tegasnya.

Ajeng bergeming. Dia tahu dan paham dengan penjelasan suaminya. Namun, dia hanya ingin melindungi hatinya. Menurut Ajeng, hanya ada satu hal yang bisa mengalihkan semuanya yaitu, anak.

"Aku paham. Maafkan aku, Mas, tapi aku hanya ingin menenangkan hatiku. Aku hanya takut kehilangan kamu," ungkapnya lirih.

Angga menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum.

"Kamu jangan khawatir. Buang jauh-jauh pikiran seperti itu. Kamu tahu siapa aku, dan Hanum bukan perempuan yang mudah mengingkari janji. Jika dia bilang akan menjauh, dia tidak akan melanggar janjinya," ujarnya meraih jemari istrinya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top