Bertemu


Angga mendengkus seraya mengangguk.

"Iya, aku tahu!" balasnya dengan mata memindai keduanya dari tempatnya duduk.

"Angga!" panggil Marisa.

"Ya?"

"Emang selama kamu dekat dan bersahabat dengan Hanum ... apa kamu nggak merasakan sesuatu gitu?" tanyanya.

"Merasakan apa?" tanya Angga pongah.

Dito menyeringai meninju bahu pria di sampingnya.

"Kupikir cuma aku laki-laki nggak peka waktu itu, tetapi ternyata ada yang lebih parah dariku!" sindirnya.

"Ck! Maksudnya apa ini?"

"Dengar aku, Ngga! Kamu tahu, aku dan Hanum gimana saat kuliah dulu, kan? Aku adalah teman perempuan yang sangat dekat dengan dia, iya, kan?"

Angga mengangguk.

"Dan pasti kamu nggak akan bisa mengelak jika hanya Hanum yang tahu seperti apa kamu dan segala hal tentangmu. Betul?"

Kembali dia mengangguk.

"Dan sampai di titik itu kamu tidak menyadari kalau sebenarnya selama itu dia jatuh cinta padamu, Ngga! Itu menurutku bodoh! Kamu bodoh!" Marisa terlihat mulai gusar.

Seperti baru saja keluar dari kedalaman laut, Angga terperanjat mendengar penuturan Marisa. Hanum mencintainya?

"Apa dia bicara begitu ke kamu, Marisa?"

"Emang kamu pikir aku netizen gitu? Yang suka menghalu dan memaksa kalian jadian?"

Angga mengusap wajah dengan kasar.

"Aku tahu soal kesepakatan soal rasa di antara kalian, tapi itu hanya kesepakatan bullshit yang seharusnya bisa diabaikan, Ngga? Kamu itu laki-laki! Bisa, kan bertindak tegas?"

"Hanum mencintaimu, Ngga! Sangat mencintaimu, bahkan aku berani bertaruh jika cintanya padamu lebih dalam dari cinta istrimu!" imbuh Marisa semakin emosional.

Dito mengusap punggung sang istri untuk menenangkan. "Cukup, Marisa, semua sudah terjadi dan nggak ada gunanya lagi kamu membahas soal itu. Realitanya sekarang mereka sudah memilih pasangan hidup masing-masing, kan?" tuturnya lembut.

Angga mengepalkan tangannya. Kali ini dia seperti mendapat ribuan anak panah yang langsung menancap tepat di jantungnya. Sakit! Tetapi tak berdarah! Sesal tetapi sia-sia. Memejamkan mata sejenak kemudian menarik napas dalam-dalam.

Ada rasa berbeda saat melihat tangan Hanum digenggam erat oleh Bima. Rasa yang mungkin selama ini tidak pernah hadir. Ingin rasanya mendekat dan membawa Hanum pergi jauh dari Bima hingga pria itu tak lagi bisa memperlakukan Hanum seenaknya.

Entah, meski dirinya belum tahu apa yang tengah terjadi pada perempuan itu, tetapi dia yakin dengan apa yang diperkirakan Marisa. Apakah Hanum tengah mengalami kekerasan dalam rumah tangganya atau ada hal lain?

Kembali teringat ucapan Bima tempo hari, pria yang kini menjadi suami Hanum itu mengatakan jika Hanum sudah lama dia kecewakan.

Apakah itu artinya Hanum memiliki perasaan khusus padanya? Bukankah dulu awal mereka dekat, dia dan Hanum sepakat untuk tidak melibatkan perasaan dalam persahabatan mereka? Jika boleh jujur, jauh di sudut hati, Angga sudah lama memiliki perasaan yang indah dengan perempuan semampai itu.

Namum, tak ingin membuat hubungan mereka menjadi kaku, maka Angga membiarkan rasa itu mengendap di palung hati. Jika benar apa yang dia simpulkan dari ucapan Bima, tentu saja itu menjadi penyesalan yang tak akan pernah berujung.

Angga membuang napas dari mulutnya. Mendadak suasana pesta tak lagi menyenangkan baginya. Dia mengedarkan pandangan ke setiap orang yang hadir di ruangan itu. Tak dia dapati Hanum. Sementara Dito dan Marisa tengah asyik ngobrol dengan rekan mereka yang lain.

Bosan dengan situasi yang ada, Angga bangkit setelah meneguk minumannya.

"Mau ke mana, Ngga?" tanya Marisa.

"Toilet!"

Sepi, jauh dari keriuhan, dan tentu saja suara apa pun akan jelas terdengar di tempat ini. Lamat telinganya mendengar isakan seorang perempuan. Angga menoleh memastikan tidak ada orang lain di sana setelah itu mencari asal suara. Toilet perempuan, tentu saja! Suara tangis itu berasal dari sana.

Matanya membeliak melihat sosok perempuan yang sangat dia kenal tengah berdiri mematung menatap dirinya di pantulan cermin dengan air mata berlinang. Perempuan itu terlihat rapuh, mata yang biasanya mengerjap indah itu seperti diselimuti kabut gelap. Meskipun kesedihan yang terlihat tidak memudarkan kecantikannya.

"Hanum?"

Sadar ada orang lain yang mengenalnya, Hanum cepat mengusap pipinya yang basah.

"Hanum kamu kenapa?" Angga cepat mendekat.

"Kamu ... kamu kenapa ke sini?" Suaranya terdengar bergetar dan segera membuat jarak.

"Maaf, aku tadi mau ke sebelah, tapi aku dengar ada suara tangis jadi aku ...."

Hanum mengangkat tangan memberi isyarat agar Angga tidak melanjutkan ucapannya.

"Pergi, Ngga! Cepat pergi dari sini!" pintanya sambil menggeleng.

Angga menggeleng, dia semakin mendekat

"Nggak, Num! Aku nggak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku! Kamu kenapa?" tanya Angga kemudian memegang lengannya.

"Aww! Jangan pegang! Sakit!" Spontan perempuan itu memekik.

"Sakit? Maaf, aku nggak tahu." Angga sontak melepas pegangannya.

Pria itu memiringkan kepalanya menatap Hanum yang menunduk. Perempuan itu tampak menggigit bibirnya seolah menahan sakit.

"Hanum, katakan kamu kenapa? Apa Bima menyakitimu, Num? Jawab aku, Num!" Suaranya terdengar meninggi.

Hanum tetaplah Hanum, dia memilih menyimpannya sendiri meski hatinya telah hancur berantakan. Dia merasa harus menjaga semuanya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Bisa saja dia menceritakan apa yang terjadi pada Angga atau Marisa atau bahkan ibunya, tetapi itu akan melukai Bima suaminya. Bima bukan orang jahat, pria itu hanya sakit. Dia terobsesi melindungi dan mengidap sadomasokis seperti yang dia ketahui dari internat.

Namun, sisi lain di dirinya ingin berontak dan bertanya, sampai kapan dia bisa kuat menyembunyikan semuanya sendiri? Dia juga punya batas sabar dan tentu saja tubuhnya akan selalu seperti ini. Penuh luka lebam karena pukulan dan luka gigitan.

"Hanum?" Perlahan tangan Angga mencoba menyentuh pipinya. Dingin! Sangat dingin itu yang dia rasakan.

"Kenapa kamu sembunyikan semuanya sendiri, Num? Kenapa kamu nggak bilang kalau ...."

"Kalau apa?" tanya Hanum memberanikan diri menatap Angga.

Ada kerinduan menyeruak tatkala mata mereka saling tatap. Kerinduan yang gak bisa diterjemahkan dengan kalimat apa pun. Ada sesal menggantung di jantung Angga sehingga pria itu merasa ingin protes pada Tuhan.

Mengapa Tuhan membiarkan dirinya mengikuti kesepakatan yang kini dia rasa bodoh itu. Andai Tuhan mau, tentu Tuhan membisikkan bahwa Hanumlah jodohnya. Andai saja Tuhan mau, tetapi rupanya Tuhan ingin dia menemukan sendiri keberanian untuk menyadari hal yang seharusnya dia sadari sejak lama. Beragam pertanyaan dan alasan muncul di kepalanya.

"Hanum, maafkan aku. Mungkin ini terlambat kusadari, dan aku menyesal untuk itu, Num. Maafkan aku."

"Pergi, Ngga! Aku mohon tinggalkan aku sendiri! Pergi!" mohonnya sembari kembali membuat jarak.

Angga bergeming. Dia tak lagi bisa mengatakan apa-apa selain menatap sendu.

"Aku janji, Hanum. Aku janji akan membuatmu bahagia bagaimana pun caranya! Aku janji!"

"Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Aku ... aku mencintaimu, Hanum! Sungguh! Kamu bisa mengejekku sebagai pengecut atau pecundang sekali pun aku tak akan peduli!" sambungnya lagi. "Aku tahu, Bima yang membuat kamu seperti ini. Iya, kan?"

Hanum menggeleng cepat.

"Stop! Jangan bicara apa pun lagi! Kamu sadar apa yang kamu ucapkan, Erlangga? Aku istri orang yang kamu tuduh itu. Kamu suami orang jadi jangan bermimpi apa pun untuk itu!"

Angga tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Kamu lupa, Hanum? Aku tahu siapa kamu. Meskipun sepintar apa pun kamu mengelak dan bersikap baik-baik saja, itu tidak akan membuatku percaya!"

"Kamu tahu, Hanum ... kamu memang pintar berbohong, tapi tidak untuk kali ini. Sekali lagi, jaga dirimu baik-baik. Aku tahu, kamu tidak sedang baik-baik saja."

Hanum! Angga! Kalian ngapain berdua di sini?" Suara seseorang tiba-tiba muncul dari pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top