Adaptasi
Bismillahirahmanirahim
💔💔💔
Aku paling tidak suka menunggu. Maaf, sifat tidak sabaranku mungkin jelek, tetapi Erlan keterlaluan, sampai jam dua belas malam, ia belum pulang, bahkan tidak ada kabar. Pesan whatsappku masih belum conteng biru alias tidak dibaca.
Awalnya aku sudah ingin pindah ke kamar sebelum kudengar bunyi notifikasi masuk.
My Husband : Sayang, aku masih di tempat orang jual nasi goreng, aku bungkusin kamu juga, nanti kita makan sama-sama ya. Maaf baru ngabarin, tadi aku sibuk banget, sampai lupa buka hp.
Aku tahu, Erlan sangat bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Yang kusayangkan adalah kesibukan bisa mematikan sistem ingatannya. Mungkin dia masih belum terbiasa memiliki seorang istri yang wajib dikabari. Mungkin baginya ini adalah hal biasa, tapi maaf tidak denganku. Aku merasa keberatan ia buat uring-uringan. Sesibuk apapun dia, aku yakin dia masih bisa mengetik beberapa kalimat. Atau curi waktu mengabari, kalau aku ini prioritasnya.
Pesan Erlan tidak kubalas, hanya kubaca. Jujur makan di atas jam dua belas malam bukan jam yang baik. Aku sangat jarang melakukannya kecuali terdesak. Sekarang saja mataku rasanya sudah diayun-ayun oleh rasa kantuk. Jadi untuk menyuap sesendok makanan pun sudah tidak ada nafsu.
"Sayang." Aku tahu, itu suaranya. Mencoba membangunkan aku lewat sentuhan lembut di puncak kepalaku, ia usap berulang-ulang agar aku bangun.
"Ini nasi gorengnya kita makan dulu ya. Ayo bangun, sebentar aja. Aku mau makan sama-sama." Kutabrak aturan harus memenuhi kata suami. Kutahan kuat-kuat rasa ingin buka mata. Aku masih kesal dengan sikapnya.
"Udah ngantuk banget ya? Tidurnya pulas gitu." Jujur, beberapa kali usapan tangannya hampiri keningku membuat nyaman. Aku tidak menampik, hal itu jika terus ia lakukan akan membuat aku luluh.
Sayang, dia mulai bosan. Dan pelan-pelan turunkan tangannya. Dia kecup keningku, setelahnya bilang. "Selamat tidur istriku Sayang. Maaf ya hari ini mungkin sudah buat kamu kesal, tapi serius, aku benar-benar sibuk sampai lupa ngabari kamu." Terakhir ia tarik selimut, tutupi seluruh tubuhku sampai batas dada.
Kudengar langkahnya dekati pintu, ia keluar dari kamar. Kutebak ia makan di dapur, sendirian.
💔💔💔
Paginya, Erlan sapa aku seperti biasa. Masih dalam mode merayu ia cium pipiku sambil bilang. "Udah bangun ya Sayang? Salat subuh jamaah yuk." Astaghfirullah, hati perempuan rata-rata gampang sekali luluh. Cium sedikit, meleleh. Disenyumin semanis perbuatan Erlan pun, aku tertular. Celaka.
"Aku wudhu dulu." Masih menjaga gengsi, aku turun dari kasur.
Padahal, aku tidak ingin lama-lama tatap muka dengannya. Takut, kalau tangan ini tidak tahan menarik bahunya, rebahan, manja-manja di pundaknya. Ah, tidak. Aku tidak mau membuat dia merasa bahwa kabar adalah urutan nomor ke sekian. Aku mau dia tahu, kabar urutan ketiga setelah setia dan jujur.
Selesai salat, aku cium punggung tangannya, dia cium keningku. Setelah lipat mukena dengan tegas aku katakan. "Aku nggak suka Mas sepelekan masalah kabar."
Dia yang masih membuka sarung berbalik ke arahku. "Bukan disepelekan, cuma lupa Sayang saking sibuknya kerja."
"Lupa?" Dia mengangguk kecil.
"Kalau prioritas, Mas nggak akan lupa. Sesibuk apapun Mas pasti bisa curi waktu kabarin aku."
"Hei." Dia dekati aku, ranum kedua pipiku sampai aku benar-benar menatapnya. "Kamu prioritasku sekarang, selain orang tua. Jadi mana mungkin lupa bisa diartikan bukan prioritas. Itu dua hal yang berbeda Sayang."
"Bagi Mas." Aku terus tegaskan suara. Maaf, aku hanya keluarkan pendapatku. "Tapi nggak buat aku."
Kuturunkan tangannya, kuambil mukena yang sudah kulipat lalu kembali aku taro di lemari. Aku tinggalkan dia ke bawah tanpa peduli pandangannya yang menatap kecut.
💔💔💔
Hari yang buruk. Aku pikir awal pernikahan adalah masa-masa bahagia. Ternyata ketidakcocokan cara berpikir pun bisa jadi masalah. Aku tahu wanita gunakan perasaannya, sementara laki-laki dengan akalnya. Begitu cara kami berpikir. Entah aku yang terlalu bawa perasaan atau Erlan yang memang kurang peduli. Ah, sudahlah. Aku coba tenangkan hati dengan memasak sarapan untuknya.
"Sayang." Tiba-tiba Erlan datang, memeluk dari belakang.
"Katanya kalau aku pulang pakai lingerie merah, mana kok baju tidur biasa?"
"Apa masih pantas pakai lingerie merah di atas jam dua belas malam, tanpa ada Mas di kamar?" Kusindir dia terang-terangan. Dia langsung diam.
"Maaf. Maafin aku yaa." Dia ambil punggung tanganku, ia kecup dua kali, mungkin sebagai permintaan maaf.
"Aku masak dulu. Mas mandi aja."
"Jangan gini. Suami nggak akan semangat kerja kalau istrinya marah. Sekali lagi maafin aku ya." Aku pura-pura asik mengupas bawang.
"Ghaitsa, ayolah."
"Iya, iyaaa. Aku maafin. Ya udah Mas mandi sana. Aku siapin makannya dulu."
"Iya sayang."
Untung saja kedua orang tuaku sudah berangkat kerja duluan. Tidak ada yang bisa merekam aktivitas kami tadi. Kalau saja ada mereka aku harus bilang apa. Ada keributan di awal-awal menikah, sangat buruk.
💔💔💔
Aku diam beberapa saat. Erlan datang dengan setelan kaus berwarna putih, rambutnya masih sedikit basah. Ia tarik kursi lalu duduk, perhatikan masakan yang aku buat. Jujur, aku telan saliva, setelahnya bilang Ma Syaa Allah dalam hati, sebab suamiku begitu tampan. Hidungnya mancung, kulitnya lumanyan putih, tingginya pas, bulu matanya lentik, nyaris sempurna kalau kunilai ia dari segi fisik.
Bahkan dilempar kepada kaum jomblowati pun suamiku pasti laris manis. Lamunanku terpotong saat Erlan berdehem, lalu bilang. "Ini apa Sayang?"
"Itu, ayam saus tiram sama oseng pakis." Aku rasa dia tahu, hanya saja ingin memastikan.
"Kok kamu tahu aku suka pakis?"
Dahiku berkerut. "Aku nggak tahu. Cuma di kulkas ada sayur itu jadi aku masak."
"Sekarang udah tahu kan," katanya sambil senyum kecil.
"Oh... jadi Mas suka oseng pakis?" Erlan mengangguk.
"Kalau gitu." Tanganku sambil memasukan nasi ke piring, ambil satu iris ayam lalu oseng pakis agak banyak. "Besok-besok aku belikan pakis lagi ya."
"Iya Sayang. Makasih ya istriku." Ya Allah, aku ingin menjerit. Kenapa dia bisa romantis dan menyebalkan dalam waktu yang sama.
"Sama-sama suamiku." Dengar balasanku, dia malah menyengir.
"Alhamdulillah, udah nggak marah, berarti bisa dong sebelum ker---"
"Mas ih, makan dulu." Ia langsung terbahak dengar jawabanku.
Aku juga mengulum senyum. Kodenya sangat transparan terbaca. Aku paham maksudnya.
💔💔💔
Masih ada dua hari waktu cutiku. Saat Erlan pamit kerja, aku antar dia sampai depan rumah. Erlan cium keningku sebelum naik ke motornya.
"Di rumah jangan lupa salat sama ngaji ya, Sayang."
"Iya, Mas juga jangan lupa."
"Iya. Aku berangkat dulu."
Sebelum Erlan pergi, aku masih mengajaknya ngobrol, sekadar mengingatkan. "Hati-hati Mas di jalan, jangan ngebut-ngebut."
Erlan hanya membalas dengan senyum, yang aku artikan pengingatku ditanggapi setengah hati. Sebab, aku tahu benar, Erlan kalau sudah terlambat pasti sifat buru-burunya bergejolak, hasilnya ngebut-ngebutan di jalanan pun jadi sasaran. Kalau dulu aku tidak masalah. Karena sekarang dia suamiku, aku harus peduli soal keselamatannya.
"Jangan lupa kabarin aku ya Mas kalau sudah sampai kantor." Aku dekati motornya agar Erlan dengar aku baik-baik.
"Iya bawel." Dia mengacak jilbabku sambil senyum jail ciri khasnya.
Aku masuk ke rumah dengan jalan pelan setelah memastikan Erlan sudah benar-benar pergi. Pagi yang membuat jantungku berdegup tidak keruan. Sebab rambutku basah dibuatnya. Mengingat itu aku geleng-geleng kepala sambil mengulum senyum.
💔💔💔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top