9

Kutatap wajah polos Airin yang masih mengenakan seragam sekolah sambil menenteng biola. Ada sesuatu yang baru menghias wajahnya.

"Lo pakai kacamata sekarang?"

"Iya, minus ada silindernya juga. Kakak kemarin ketemu suster?"

"Iya, tapi langsung pulang. Sempat lihat lo, sih, waktu istirahat kedua. Tapi nggak enak sama yang lain. Sudah selesai latihan?"

"Sudah, hari ini kebetulan dimajukan jamnya."

"Kita punya waktu berapa lama?"

"Empat puluh lima menit. Nanti Papa yang jemput. Kakak dari mana? Rapi banget."

"Rumah Opa, langsung ke sini. Kepingin ketemu lo."

Wajah Airin memerah. Aku suka pada raut itu. Terlihat cantik dan menggemaskan. Bertemu dengannya benar-benar membuat suasana hatiku membaik.

"Kakak apa kabar?"

"Baik, ada tempat yang enak nggak dekat sini untuk duduk?"

"Ada di belakang ruko. Kakak nggak apa-apa kuajak ke sana?"

Wajahnya terlihat khawatir. Aku menggeleng meski jujur tidak pernah mengunjungi tempat seperti itu. Kami berjalan kaki bersisian, kuraih biolanya, ia kembali tersenyum. Kalau bukan seorang Airin sudah kugenggam jemarinya.

"Sorry tempatnya biasa banget." ucapnya saat kami tiba. Wajahnya segera merasa bersalah melihat wajahku yang mungkin berubah.

"Nggak apa-apa." jawabku, meski sebenarnya kurang nyaman. Tempat ini terlalu penuh dengan mahasiswa sepertinya. Tidak ada jarak dan sedikit kotor.

"Kamu sering kemari?"

"Enggak pernah, baru kali ini. Kalau pulang selalu lewat sini, jalur masuk dan keluar ruko, kan, berbeda."

Aku suka kejujurannya. Memang lebih baik dia tidak usah kemari. Apalagi ada beberapa mata yang langsung menatap tanpa kedip. Kubalas tatapan pemuda itu dengan tajam hingga akhirnya mereka berhenti. Bingung dengan menunya membuatku tak kunjung memilih. Tidak yakin juga kalau ada makanan semurah ini. Apa mereka tidak salah menentukan harga? Semua pertanyaan itu terpaksa kusimpan demi Airin. Akhirnya pilihannya jatuh pada Indomie rebus dan teh botol. Kusamakan saja meski yakin kurang suka. Saat makanan datang Airin langsung melahapnya.

"Lo kelaparan?"

"Iya kak, Tadi nggak bawa bekal makan siang."

Kutatap wajahnya, sesuatu yang begitu kurindukan setahun ini. Tidak ada yang bisa menggeser posisinya dari hatiku.

"Kakak kenapa? Kok, nggak makan?"

Aku mengangguk. Rasanya tidak ingin menyentuh, apalagi garpunya tidak sejajar. Tidak yakin mereka mencuci dengan bersih. Kucoba sesuap untuk menghormati. Not bad, meski pada suapan ke-lima akhirnya menyerah. Sementara Airin sudah menghabiskan isi mangkoknya. Dia keringatan, segera kuserahkan sapu tangan.

"Terima kasih kak."

"Kapan lo punya waktu keluar lagi?"

"Kalau keluar cuma hari Minggu selesai acara gereja, sekitar jam sebelas." Wajahnya terlihat sedih.

"Apa kita bisa keluar?"

"Harus pamit sama Papa dulu. Kalau diijinkan baru bisa."

"Jam berapa Papa lo selesai?"

"Sebelas juga, kalau tidak ada kunjungan ke jemaat."

"Gue akan datang jam sebelas, jam perginya bebas."

"Kenapa nggak sekalian ikut ibadah?"

Aku terkejut mendengar kalimat itu, apakah ini permintaan? Aku hanya menggeleng. Wajah Airin terlihat kecewa.

"Gue belum bisa kasih alasan yang tepat selain karena gue nggak mau munafik. Pura-pura religius cuma karena mau mendekati lo. Tapi nggak masalah kalau tentang pamit tadi. Gue cukup punya sopan santun untuk nggak membawa anak gadis orang tanpa ijin orang tuanya."

Akhirnya Airin mengangguk. Selesai makan, kami kembali berjalan kaki ke tempatnya tadi. Kenapa jarak terasa terlalu dekat?

"Sebentar lagi Papa datang, Kakak masuk ke mobil saja."

"Apa lo harus menyembunyikan kedatangan gue?"

"Papa belum tahu. Aku latihan lebih cepat juga Papa nggak tahu."

"Gue akan datang hari Minggu. Jangan kemana-mana."

Airin mengangguk sambil tersenyum. Kumasuki mobil dan menunggunya dari jauh. Saat papanya datang menjemput terlihat sekilas ia menatap ke arahku.

***

Hari selanjutnya kuhabiskan dengan meneruskan lukisan. Kebetulan mood melukis datang. Sudah hampir jadi sekarang. Rencana akan kuberikan sebagai hadiah, meski ulang tahun Airin sudah lewat beberapa bulan. Mommy sedang ke Bali ada temannya yang berulang tahun, otomatis aku di rumah sendirian. Kembali tidak ada yang bisa kulakukan di sini. Bosan dengan lukisan, kuhubungi beberapa teman, akhirnya kami keluar bersama.

Kembali menikmati jalanan Jakarta. Ronny yang menyetir kali ini. Aku masih malas menyetir.

"Gimana LA?"

"Baik, kenapa?"

"Betah lo di sana?"

"Nggak juga. Tapi mau gimana lagi?"

"Masih suka sama Airin?" selidiknya.

"Masih, komunikasi juga bagus."

"David juga pulang. Dia dekat dengan Airin?"

Aku terkejut mendengar informasinya. "Nggak tahu, kenapa?"

"Kemarin gue lihat mereka bareng di acara sepupu. Keluarga mereka seperti kenal baik, siapa tahu dijodohin. Lo tahu sendiri, David juga ngejar dari dulu."

Aku hanya mengangkat bahu. Airin tidak pernah memberitahu.

"Dia nggak bilang apa-apa selama ini."

"Gue, sih, yakin sama Airin, tapi nggak yakin sama keluarganya." lanjut Ronny.

Aku hanya mengangkat bahu.

"Tapi nggak apa-apa bro, undangan udah kesebar aja masih bisa pisah. Apalagi cuma pacaran?" lanjutnya sambil tertawa.

"Lo bisa ngomong yang lain, nggak?" tegurku.

"Gue cuma mau ngingetin elo buat cari yang lain. Jangan cuma terpaku sama satu Airin. Patah hati, kelar hidup lo."

"Gue suka sama dia, dan nggak niat cari yang lain."

"Kalau begitu cepat minta kepastian, supaya lo nggak perlu ngejagain jodoh orang."

"Hati-hati kalau ngomong." Ancamku akhirnya.

***

Kuhentikan kendaraan di depan pagar kediaman Airin. Rumahnya masih terlihat ramai. Mungkin karena hari Minggu. Dia sudah bilang akan banyak orang berkumpul. Perlahan kumasuki halaman dan menyapa seorang ibu yang kebetulan tengah berdiri.

"Selamat siang tante, Airin ada?"

Ia segera berteriak memanggil. "Airin, ini ada teman kamu yang cari."

Gadis pujaanku itu keluar sambil tersenyum lebar. Kali ini ia terlihat cantik saat mengenakan rok berwarna putih dan sweater pemberianku. Tak lama papanya menyusul dari belakang.

"Selamat siang, Om."

"Siang, mau pergi sama Airin?"

"Iya,"

"Sekarang?"

"Kalau boleh,"

Dia hanya tersenyum sambil mengangguk. "Pulangnya jangan terlalu sore, ya. Kami masih ada acara."

"Baik Om terima kasih."

"Satu lagi, besok kamu ada waktu pagi hari?"

"Untuk apa?"

"Saya mau bicara dengan kamu, kita ketemu jam sepuluh, ya. saya tunggu."

Aku mengangguk meski hati cemas. Suaranya terkesan biasa, tapi siapa yang tahu apa yang ada dalam pikirannya? Pembicaraan dengan Ronny kemarin menyisakan rasa khawatir yang besar. Airin kembali keluar lalu pamit pada para tamu.

"Kita ke mana Kak?" tanyanya ketika kami sudah jalan.

"Ke rumah gue, mau?"

"Nggak ada tempat lain?" tolaknya

"Gue nggak terlalu suka keramaian. Lo takut?"

"Enggak, sih, tapi jangan ke rumah juga. Nggak enak sama yang lain."

"Nggak ada orang kecuali yang kerja."

"Hanya berjaga-jaga kak."

Aku mencoba memahaminya. Pergaulan kami memang jauh berbeda. Kuarahkan mobil ke tepi pantai menuju sebuah restoran seafood favoritku. Meski dengan resiko kalau pengunjung sangat ramai. Kuhubungi pihak resto untuk reservasi, beruntung masih bisa meski waktu sudah sangat terbatas. Untuk pertama kali kugenggam jemari Airin memasuki resto. Suasana terlihat ramai, hampir seluruh meja dipenuhi oleh keluarga. Hanya ada beberapa pasangan seperti kami. Selesai memesan, kutatap wajahnya.

"Papa lo mau bicara besok katanya."

"Datang saja."

"Apa ada hubungannya dengan kedatangan David?"

"Nggak tahu, Papa nggak cerita apa-apa." jawabnya sambil menggeleng.

"Kenapa tidak memberitahu aku kalau dia sudah datang?"

"Kakak mau ketemu dia?"

"Gue nanya lo."

"Memangnya kenapa? Orang tuanya kenal dekat dengan Papa."

"Gue takut mereka punya rencana buat jodohin kalian?"

"Kakak kenapa, sih?"

"Gue cuma nanya. Perasaan lo ke dia gimana?"

"Nggak ada apa-apa."

"Lo yakin, kan, Rin?"

Airin mengangguk. Akhirnya aku bisa mengembuskan nafas lega. Sesuatu yang kutakutkan ternyata tidak terjadi.

"Aku boleh bicara sesuatu?"

"Ngomong aja."

"Boleh nggak aku minta supaya kakak berubah. Apalagi di depan Papa. Tunjukkan kalau Kak Sam adalah orang yang tepat untukku."

"Apa yang harus gue ubah?"

"Cara berbicara, bersikap di depan orang tua. Jangan menganggap mereka sebagai teman, tapi sebagai orang yang harus lebih dihormati. dan..."

"Apa?"

"Jangan sering minum." Suaranya hampir seperti berbisik.

"Tahu dari mana kamu?"

"Suster."

Shit! "Kalian sering ngomongin gue?"

"Jangan pakai gue, kak. Bisa diganti aku, kan?"

"Oke, tapi janji jangan naksir sama David."

Dia tersenyum sambil mengangguk. Dengan wajah seperti itu laki-laki mana yang tidak akan mengabulkan permintaannya.

"Lo cantik Rin."

"Tuh, kan?"

"Iya...iya.., kamu cantik Airin."

Dia tertawa, dan aku suka. Menatap wajahnya membuatku segera bisa melupakan semua keresahan. Seperti inikah orang yang jatuh cinta? Semoga besok papanya tidak menentang hubungan kami. Aku takut kehilangan Airin. Apakah mungkin karena dia cinta pertama? Bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi setiap kali menatap atau mendengar suaranya aku merasa tenang. Hidupku sudah terlalu hancur sebelumnya.

***

Sepulang mengantar Airin, Mommy ternyata sudah berada di rumah. Tumben! Dia mengenakan bikini bermotif flora, bagian bawahnya ditutupi oleh selembar kain tipis. Sebenarnya bukan pemandangan aneh dia mengenakan bikini di rumah. Tapi melihat tampilannya jelas kali ini berbeda tujuan.

"Mommy mau berenang?"

"Ada wawancara dengan seorang youtuber ternama, Andy Own."

"Laki-laki? Masih muda?" selidikku.

"Tiga puluhan, ada masalah?"

"Harus banget pakai begitu? Nggak bisa yang sopan dikit?" Suaraku lebih terdengar seperti sebuah protes.

"Kamu nggak suka?"

"Dia bukan anak Mommy, kecuali kalian mau kencan setelahnya." Kucoba mengingatkan meski mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa.

"Ada apa dengan kamu sebenarnya?"

Aku hanya menggeleng kemudian naik ke lantai dua melalui tangga.

"Sam, Mommy belum selesai bicara!"

"Kita sudah sama-sama dewasa untuk tahu apa yang akan terjadi. Daddy dan Mommy tidak ada bedanya!" teriakku sambil membanting pintu.

Kubaringkan tubuh ke atas tempat tidur. Ini adalah kenyataan hidup yang tidak bisa dihindari. Aku resah memikirkan hidup yang tidak

"Lagi ngapain?"

"Baru selesai belajar kak. Kakak kenapa sedih begitu suaranya?"

"Nggak, lagi merasa nggak enak aja. Kamu nggak jadi keluar?"

"Enggak, Mobilnya sudah penuh. Tadinya mau membesuk teman sakit. Besok saja sekalian bareng remaja."

"Kenapa nggak bilang, bisa kuantar."

"Jangan kak, mobil kakak mewah semua."

"Pasti bukan karena itu. Ada, kok, mobil biasa di sini."

"Tidak usah, terima kasih."

"Seandainya nanti keluarga kamu tidak menyetujui hubungan kita, apa kamu masih mau menunggu?"

"Kok, ngomongnya begitu?"

"David jauh lebih baik daripada aku."

"Perjalanan kita belum dimulai kak. Kenapa kakak sudah memutuskan akhirnya?"

"Aku takut kehilangan kamu. Tapi tidak ingin mengikat kalau kamu tidak menginginkan aku. Kamu sayang sama aku?"

"Tapi kita belum boleh pacaran."

"Aku cuma tanya perasaan kamu. Supaya aku lebih tenang."

"Aku sayang kakak."

Akhirnya aku bisa kembali tersenyum lebar. Kalimat singkat itu sudah cukup untuk mengakhiri hari.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

Pengujung Oktober 2022

Salam untuk kalian semua

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top