8
SUDAH READY DI PLAY STORE.... YANG PENASARAN SILAKAN MELUNCUR...
***
"Kamu dekat dengan Airin?" tanya Suster sambil meletakkan tehku.
"Suster tahu dari mana?"
"Airin cerita beberapa kali."
Aku tersenyum, rasanya bahagia sekali mendengar itu. Mungkin Airin bercerita tentang hubungan kami.
"Kalian pacaran?"
"Belum, dia nggak mau pacaran sebelum lulus." jawabku jujur.
"Dia baik, saya percaya Airin bisa membimbing kamu. Pertahankan segala hal baik yang ada dalam hidupmu sekarang, abaikan sisanya. Kalau mau mendapat yang istimewa, maka usahamu pun harus maksimal. Kamu masih sering minum?"
Kali ini aku mengangguk.
"Alkohol memang baik untuk menghangatkan tubuh saat udara dingin. Tapi kalau sampai mabuk berarti fungsinya sudah hilang. Jangan terlalu sering. Kamu harus bisa menata masa depanmu sendiri. Kalau mau mendapatkan Airin, kamu harus mengubah kebiasaan buruk. Ingat siapa papanya. Jangan harap bisa jadi menantu Pak Pendeta kalau kelakuan kamu masih seperti yang dulu."
Kini aku tersenyum sambil mengangguk.
***
Sekembali dari bertemu seorang teman, kumasuki rumah yang terlihat sepi seperti biasa. Namun, kali ini ada yang berbeda. PA Mommy berada di rumah dan duduk mematung di ruang tamu. Semua terlihat bingung.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Ibu sedang di halaman belakang."
"Kenapa?"
"Tadi ribut dengan Bu Angela di sebuah acara."
Segera aku berlari menuju area taman belakang. Penasaran dengan nama yang disebut terakhir. Setahuku mereka tidak pernah berjumpa langsung. Di sana Mommy sedang tertunduk sambil menangis. Ini bukan hal yang biasa. Mommy adalah orang yang paling pandai menyembunyikan perasaan. Sulit untuk mengetahui apakah dia sedang sedih atau bahagia. Saat ini terlihat tak jauh berbeda.
"Hai Mom." Sapaku pelan sambil menyentuh pundaknya.
Ia tak menjawab, juga tak bergerak. Bahunya bergetar hebat. Segera kupeluk erat tubuhnya. Kali ini Mommy menangis keras di dadaku. Aku tidak butuh kata-kata untuk memahami apa yang ia rasakan. Hanya dengan memeluknya kuharap ia bisa merasa memiliki seorang teman. Cukup lama hingga tangisnya mereda. Mommy tak pernah menangis di depan banyak orang. Ia akan menampilkan sosok tegar dan kuat serta tak terkalahkan. Meski sebenarnya ia rapuh.
"Why?" tanyaku akhirnya.
"Kami bertemu setelah sekian lama." Bibirnya bergetar tak sanggup melanjutkan.
Kupeluk kembali sambil mengelus rambutnya. Mommy berubah menjadi seseroang yang membutuhkan sandaran. Mau ke mana lagi? Hanya aku satu-satunya.
"You still love him?" bisikku.
Kurasakan anggukan dilanjutkan dengan gelengan didadaku. Aku penasaran dengan yang terjadi. Tak bisa memiliki orang yang kita cintai adalah hal terburuk dalam hidup. Aku mulai belajar tentang hal tersebut. Menyadari bahwa cinta ibuku bertepuk sebelah tangan. Mommy kemudian melepaskan pelukan dan mulai menghapus air matanya. Kuserahkan sapu tangan yang ada di saku celana.
"Thank you."
"Apa aku boleh tahu apa yang terjadi?"
"Memalukan sebenarnya."
Kini kami sama-sama menatap ke depan. Pada halaman luas yang dipenuhi tanaman. Kubiarkan ia bercerita.
"Kami sedang bersama teman masing-masing. Lalu ada teman yang memprovokasi. Awalnya antar teman, tapi akhirnya membesar. Tentang perempuan yang merebut pasangan orang lain. Dia menghampiri Mommy dan mengatakan bukan dia yang merebut, tapi sebaliknya. Dia hanya mempertahankan apa yang sesungguhnya menjadi miliknya. Kamu tahu itu benar bukan?"
"Yeah,"
"Dia menumpahkan kekesalan yang sudah dipendam terlalu lama sampai akhirnya mommy menamparnya. Saat itu daddy-mu datang, dan membalas menampar mommy."
Aku bisa merasakan bagaimana perasaannya sekarang. sakit tentu saja! Tapi mau dibilang apa? Yang kusesalkan adalah sikap Daddy. Menjadikan diri sebagai pahlawan bagi istri mudanya di depan Mommy.
"Apa perlu aku bicara dengannya?"
"Tidak usah, itu hanya akan memperpanjang masalah. Berjanjilah berikan nilai terbaik pada kuliahmu. Itu sudah cukup bagi mommy. Keberhasilanmu adalah piala kemenangan yang sesungguhnya."
"Apa yang dia lakukan setelah menampar?" tanyaku tanpa peduli akan kalimatnya.
"Pergi membawa istrinya. Tolong jangan lakukan apapun, kejadian tadi saja sudah sangat memalukan. Jangan ditambah lagi."
Entah kenapa aku marah mendengar itu. Ada apa dengan Mommy sebenarnya? Apakah terlalu takut nama baik keluaganya rusak? Kuraih tangan Mommy masuk ke dalam rumah. Kuajak berdansa, sebuah kegiatan favoritnya. Ia kembali tenggelam dalam pelukanku. Seingatku ini ke-tiga kali kami berdansa dalam keadaan Mommy menangis.
"Kamu tahu apa kata orang tentang memiliki anak laki-laki pada seorang perempuan?"
"Apa?"
"Dia akan menjadi kekasih abadi setelah ayahmu."
"Ya, aku akan selalu menjadi kekasih Mommy."
"Jangan tinggalkan mommy sendirian. Meski kelak kamu memiliki seorang kekasih."
"Tidak akan pernah."
Untuk pertama kali kami terasa begitu dekat. Kalau aku tidak ada, pasti mommy akan menangis sendirian. Selesai berdansa kuantar Mommy ke kamarnya. Ia terlihat sudah jauh lebih baik. Kutinggalkan lalu kembali ke kamarku. Kutatap lukisan bunga mawar yang belum selesai. Kuputuskan melanjutkannya kembali. Sebelum berangkat nanti akan kuberikan pada Airin.
***
Kumasuki kediaman Opa. Tadi pagi kakekku mengundang untuk makan siang bersama. Ada banyak mobil di depan, yang berarti seluruh keluarga Aldrich tengah berkumpul. Kedatanganku segera disambut oleh Oma yang memeluk dengan erat.
"Apa kabar? Sudah pulang ke Indonesia tapi tidak pernah kemari?"
"Baru lima hari Oma. Kemarin Opa sudah bilang akan ada pertemuan. Jadi kupikir sekalian saja."
"Oma masak sup kepiting kesukaan kamu."
"Pasti enak."
"Kamu harus makan banyak kalau begitu."
Opa menyongsong sambil berjalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya.
"Samuel, apa kabar anak muda?"
"Baik Opa." Aku pindah ke dalam pelukannya. Kini aku sudah jauh lebih tinggi darinya. Kepalanya yang tetap botak memberikan kesan berbeda.
Di dalam, seluruh keluarga sudah datang, kecuali Daddy. Aku sengaja tidak bertanya. Kusapa om dan tante satu persatu demikian juga adik sepupu perempuan. Aku adalah cucu laki-laki pertama dan tertua dalam keluarga Aldrich. Mereka membalas seperlunya. Mungkin merasa iri pada perlakuan Opa padaku. Kami mengelilingi meja makan. Hingga akhirnya orang yang tak ingin kutemui datang. Selera makanku hilang sudah. Kali ini Daddy ditemani istri dan anak-anaknya. Mereka terkejut melihat kehadiranku. Hanya kami yang tidak saling menyapa. Suasana ruangan seketika hening. Hingga kemudian seorang pelayan membawa semangkuk besar sop kepiting.
"Sam, ayo dimakan. Kamu pasti tidak pernah makan ini di Amerika."
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ukuran kepiting sangat besar. Kuambil alat penghancur cangkang kemudian mulai menikmati. Mencoba tidak peduli dengan kehadiran keluarga ayahku. Selesai makan kami berkumpul di ruang tengah. Aku sengaja menjauh dari Daddy. Sepertinya dia melakukan hal yang sama. Mungkin masih terpengaruh pertengkaran dengan Mommy kemarin.
"Bagaimana kabar Mommy-mu?" tanya Oma.
"Baik, aku mengantarnya ke kantor tadi."
"Hubungan kalian baik?"
"Ya, Mommy adalah pacar pertamaku." jawabku tegas sambil melirik Daddy yang segera membuang pandangannya.
"Bagaimana kuliahmu?"
"Baik, Oma. Baru dua semester."
"Kamu tinggal sendirian?"
"Ya, di rumah Mommy. Tidak terlalu jauh dari kampus."
Oma memeluk bahuku. "Cepat sekali kamu besar. Rasanya baru kemarin menggendong kamu keluar dari rumah sakit."
"Setiap orang pasti akan membesar, entah itu ke atas atau ke samping." Candaku.
"Kenapa kamu dan Daddy-mu tidak saling menyapa?" tanya Opa dengan wajah serius.
"Tidak ada yang perlu kami bicarakan."
"Dia memblokir semua nomor saya. Untuk bertanya tentang kabarnya pun saya tidak bisa" sambung Daddy cepat.
Kutatap wajahnya tak suka.
"Dulu waktu kecil, Sandra memutuskan akses saya. Setelah besar dia yang melakukannya. Saya tahu hubungan kami tidak baik, tapi saya tetap ayahnya." lanjutnya.
Aku hanya diam berusaha menahan diri untuk menjawab. Takut kalau nanti malah emosi. Apakah ini akan menjadi rapat keluarga membahas tentang hubungan kami?
"Jawablah daddy-mu." Oma menegurku pelan.
"Aku tidak tahu apa yang harus kami bicarakan."
"Saya ayahmu, sampai kapanpun akan tetap seperti itu."
"Ayah yang seperti apa? Kita pernah bertemu di rumah Pendeta Gabriel. Apa Daddy memperkenalkan saya sebagai anak padanya?" tantangku.
"Saya melakukan itu karena selama ini kamu memutuskan komunikasi."
"Oh ya? Kalau mau, Daddy bisa datang ke sekolahku atau datang ke rumah. Menemuiku lalu mengajak jalan-jalan. Tidak perlu lewat pesan. Jangan menjadi laki-laki sok baik di depan orang. Daddy malu dengan masa lalu, kan? Takut orang lain tahu pernah menikah dan gagal? Pernah terpaksa menikah karena memperkosa anak gadis orang di pesta sampai hamil."
Daddy menatapku murka. Wajahnya merah. Aku hanya diam sambil membalas tatapan matanya. Ia mendekat lalu memukulku dengan keras.
"Riady!" semua meneriaki namanya.
Aku bangkit, pukulan itu memang menyakitkan. Rasanya ingin membalas, tapi ini rumah keluarganya. Oma segera memelukku, sementara Opa terduduk di kursi. Tapi ada hal yang jauh lebih membuatku merasa sakit.
"Terserah Daddy mau marah seperti apa. Cuma satu yang kuminta, jangan sampai menampar Mommy, apalagi di depan umum. Kalau sampai itu terjadi, bisa saja nyawa salah satu dari kita yang akan melayang." Aku kemudian berdiri.
"Satu lagi, aku tidak akan pernah peduli pada posisi perempuan itu di hati Daddy. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing, jangan saling mengganggu. Bayangkan kalau anak perempuan kesayangan Daddy yang mengalami seperti Mommy."
"Teman-teman mommy-mu yang memulai." Tante Angela akhirnya berdiri.
Kuabaikan perempuan itu. Siapapun berhak membela diri di sini. Sayang, dia tidak akan mampu 'menyentuhku'
"Lalu Daddy ikut menampar, kan? Di mana letak harga diri sebagai seorang laki-laki kalau bisanya ribut dengan perempuan?"
"Jaga mulut kamu!" Daddy mengepalkan tangannya.
"Kita hanyalah orang yang kebetulan memiliki turunan DNA yang sama, selebihnya tidak ada yang bisa menyatukan sebagai sebuah keluarga."
Aku bangkit berdiri kemudian mencium pipi Oma dan Opa untuk pamit. Tidak peduli pada yang lainnya. Lebih baik pergi secepatnya dari rumah ini. Semua sudah terlanjur rusak termasuk hubungan kami. Aku bukan pengemis yang meminta untuk diakui di hadapan banyak orang. Namun, setidaknya jika ia bisa menghargai sedikit saja kehadiranku, maka masalah kami akan selesai. Aku tidak pernah berharap tiba-tiba dia datang menjadi ayah yang sempurna.
Kujalankan mobil dengan kecepatan sedang. Ini bukan LA, di mana kendaraanku bisa ngebut di jalan luar kota. Tidak tahu harus ke mana, kuhubungi Airin. Mungkin bertemu dengannya bisa memperbaiki sedikit mood-ku.
"Ada apa kak?"
"Apa kita bisa bertemu sekarang?"
"Aku sedang les biola, kakak bisa kemari? Aku akan dijemput jam empat."
Segera kuiyakan. Aku tidak butuh hal lain lagi.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
271022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top