7
Kutatap lampu-lampu gemerlap dan mistletoe yang tergantung di pintu setiap rumah. Semua terlihat cantik dan memukau. Sebuah pemandangan biasa di sini. Terbayang di dalam sana ada kehangatan. Terlihat juga beberapa kendaraan terparkir. Mungkin mereka semua sedang merayakan Natal dengan penuh kehangatan. Makan malam bersama keluarga dan sahabat. Berbagi cerita tentang banyak hal sambil mengelilingi meja makan. Mungkin juga mereka sedang tertawa atau menangis saat mengenang seseorang. Ini menjadi saat yang paling kubenci sekarang. Daddy memiliki keluarga untuk menghabiskan waktu. Mommy memiliki teman-teman terbaiknya untuk berlibur bersama. Lalu aku?
Kumatikan ponsel sejak tadi malam ketika banyak teman saling mengirimkan ucapan selamat disertai harapan bahwa setiap orang akan bertabur kebahagiaan serta kegembiraan ditengah keluarga dan teman dekat. Jelas itu tidak berlaku untukku. Tidak punya keduanya membuatku harus bertahan sendirian. Kadang ada rasa putus asa saat malam tiba. Tidak tahu apa tujuan hidup sebenarnya. Beruntung di pagi hari aku merasa siap untuk menjalani. Untuk pertama kali pula aku merasa bahwa hari libur sangat tidak menyenangkan. Lebih baik berkutat dengan tugas-tugas kuliah dari pada menghabiskan waktu tanpa tujuan.
Akhirnya kuputar kembali mobil untuk pulang. Para pelayan sedang libur untuk merayakan Natal bersama keluarga mereka. Kubuka lemari pendingin lalu mengeluarkan sekaleng bir. Tidak ada makanan atau apapun. Delivery juga percuma ditengah cuaca buruk seperti ini. Lagi pula kasihan kurir, mereka mungkin mengharapkan tip tapi bisa-bisa malah dapat penyakit. Kucoba tersenyum menatap angin kencang yang tak lagi terasa dingin di tubuh. Merenungkan apa yang terjadi di sepanjang tahun. Saat pertama bertemu suster dilanjutkan dengan kedekatan dengan Airin. Pergi dari Indonesia tanpa keinginan kuat lebih tepatnya karena terpaksa. Hingga akhirnya benar-benar terdampar di Amerika.
Kuraih kaleng bir kedua, ketiga hingga seterusnya. Tahu begini lebih baik liburan bersama teman-teman. Setidaknya bermain ski jauh lebih menyenangkan. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tahun pertama di mana merasa jauh dari semua orang. Padahal sebelumnya aku begitu rindu untuk bisa sendirian. Tapi ada sesuatu yang membuatku senang. Tidak bertemu siapapun artinya tidak perlu menghabiskan waktu untuk basa basi. Akhirnya kuraih sebotol whiskey dari lemari dan membawanya ke lantai dua. Akan kurayakan malam ini dengan caraku sendiri.
***
"Terima kasih kak kirimannya." ucap Airin begitu aku menghubungi dua hari setelah Natal. Baru berani menghubungi karena beberapa hari tak bisa membuka mata akibat hang over.
"Sorry, gue nggak tahu ukuran lo. Itu juga cuma ngebayangin doang."
"Pas, kok. Aku suka gambarnya. Sepertinya bakal cuma aku yang punya."
"Gue khusus beli buat lo. Lagi ngapain?"
"Baru pulang dari pertemuan keluarga Papa. Kakak lagi ngapain?"
"Masih tiduran. Lo nggak capek?"
"Enggaklah, kan, baru ketemuan sama sepupu. Seru banget karena jarang bisa bareng-bareng."
Cerita bahagianya kemudian mengalir bagai air. Bisa kurasakan arti sebuah perayaan yang sesungguhnya. Ia memiliki semua yang kuinginkan dalam hidup. Keluarga yang sempurna dan penuh kasih sayang.
"Kakak merayakan dengan siapa?"
"Sendiri." jawabku pelan. Sebuah pertanyaan yang menyentakku karena tidak ada yang bisa dilakukan sepanjang hari kemarin. Bukan hal yang patut dibanggakan jika ada seseorang yang hang over sendirian di saat Natal. Kuputuskan bertanya tentang hal lain agar kami berganti topik pembicaraan.
"Rin, jangan lupa kalau sweaternya dipakai fotoin ,ya."
"Iya, kak."
Aku tidak tahu lagi harus bertanya apa.
"Kakak baik-baik saja?"
"Ya, kenapa nanya gitu?"
"Suara kakak seperti sedang tidak sehat dan sedih."
Bahkan seorang Airin tahu bagaimana perasaanku meski jarak kami membentang jauh.
"Enggaklah, gue baik. Jangan lupa fotonya."
"Iya. Aku istirahat dulu, ya, kak."
"Oke."
Kuputuskan panggilan. Kutatap seisi rumah yang terkesan dingin. Hanya ada aku dan beberapa pelayan rumah tangga yang sudah mulai bekerja. Tidak tahu harus menghabiskan waktu ke mana. Beberapa teman mengajak ke Dubai sampai pergantian tahun. Tapi kali ini rasanya enggan ke mana-mana. Kutolak semua undangan. Bahkan dari teman-teman asal Indonesia yang tidak pulang. Sebuah panggilan masuk. Dari Grace, salah satu perempuan yang mulai mengejarku. Kuabaikan, karena memang tidak tertarik.
Kutinggalkan ponsel di kamar menuju ruang sebelah. Baru teringat beberapa hari lalu membeli peralatan melukis. Kusiapkan kanvas dan perlengkapan lain. Kubayangkan sebuah keluarga lengkap tengah makan malam bersama. Namun, belum sempat memulai tanganku sudah enggan bergerak. Tak sanggup menggoreskan apapun. Akhirnya kutinggalkan tempat itu dan meraih kunci mobil. Lebih baik menghabiskan malam di bar. Mungkin akan bertemu seseorang di sana.
***
Sabtu, kembali bangun kesiangan. Tadi malam kuhabiskan minum sampai menjelang pagi bersama teman-teman sesama mahasiswa perantau yang tidak pulang. Aku mabuk hingga tidur di hotel karena tak sanggup menyetir. Cuaca di luar sangat tidak bersahabat. Membuat banyak orang menghabiskan waktu di rumah.
Kuraih ponsel yang ada di samping bantal. Memeriksa status Airin yang sudah berganti. Ia terlihat cantik dengan gaun berwarna merah. Ada beberapa foto lain yang menunjukkan ia sedang bermain piano. Juga foto bersama kedua orang tuanya. Kuletakkan ponsel, malas membuka pesan yang sudah masuk. Foto-foto itu seolah mengejek. Kuraih kunci mobil dan kembali pulang. Meski tahu tidak ada siapa-siapa yang menunggu di sana.
Sampai di rumah ternyata Mommy sedang duduk di ruang tengah sambil merokok. Kehadirannya membuatku terkejut karena tidak pernah memberi kabar tentang kedatangannya.
"Hai, Mom, Merry Christmas." Sapaku sambil mencium pipinya.
"Merry Christmas too. Dari mana?" tanyanya penuh selidik.
"Menginap di hotel tadi malam."
"Hang over again?"
Aku hanya mengangguk. Pasti Mommy sudah mendapat berita tentangku melalui para pekerja di rumah. Tak ada yang perlu disembunyikan.
"Daddy-mu sedang di New York. Dia menghubungi?"
"Tidak, dia tidak punya nomorku."
"Mommy sudah memberikan. Kenapa ponselmu sering tidak aktif?"
"Sedang ingin sendiri. Untuk apa Mommy memberikan? Sudah tahu aku tidak suka padanya. Lagi pula dia tidak akan menghubungi kalau sedang liburan bersama keluarga bahagianya."
"Kamu tetap anaknya."
"Kalian ketemu?"
Mommy menggeleng cepat.
"Kalian saja tidak bisa akur kenapa mengharapkan aku bisa dekat dengan dia? Hampir seumur hidup kami tidak pernah bicara. Lalu untuk apa menghabiskan waktu mengucapkan selamat?" Sengaja tak kusinggung pertemuan kami di kediaman orang tua Airin.
"Dia tetap Daddy-mu."
"Dia tidak pernah mencoba mendekati. Tidak pernah juga hadir dalam kejadian penting hidupku.Dan yang terakhir tidak pernah bersikap sebagai ayah yang sesungguhnya. Bagiku jelas dia tidak layak dipanggil dengan sebutan itu." Sengaja aku tidak menyebutkan kejadian di rumah Airin. Bisa ngamuk Mommy nanti.
"Kamu bisa bicara seperti itu karena tidak memahami apapun."
"Mommy masih membela dia?"
"Bagaimana kalau kamu berada pada posisinya?"
"Kami bukan orang yang sama. Jadi tolong jangan pernah menyamakan. Mommy sendiri ngapain ke sini?" Sengaja aku tidak memperpanjang percakapan tentang Daddy.
"Melihat keadaan kamu, akhir-akhir ini kamu terlalu banyak minum."
"Tapi tugas kuliahku selesai semua. Di Jakarta juga dulu seperti itu."
"Kamu harus memiliki batasan. Alkohol bisa mengubah hidupmu."
"Aku minum hanya saat weekend. Percayalah aku bisa menjaga diri sendiri."
"Mommy dengar Grace mengejarmu."
"Tahu dari mana?"
"Ayahnya seorang petinggi di Manado. Ada beberapa teman yang menyampaikan. Sebaiknya selesaikan dulu kuliahmu."
"Aku juga tidak suka dia. Dan tolong jangan campuri urusan pribadiku. Tugasku hanyalah bisa selesai kuliah dengan nilai baik agar tidak mempermalukan Mommy di depan Daddy. Selebihnya biar menjadi urusanku!"
Selesai mengucapkan itu aku naik ke lantai dua. Pembicaraan kami akan tetap berujung pada perdebatan yang tak ada habisnya.
***
Kutatap foto Airin tengah mengenakan sweater pink yang kukirim. Sepertinya ia sedang jalan-jalan. Terlihat cantik apalagi dengan celana jeans. Meski hubungan kami belum jelas ujungnya, tapi aku mulai merasa kalau dia juga menyukaiku. Terlihat dari seringnya bertanya tentang keadaanku jika tak sempat menghubunginya. Termasuk sikap khawatirnya ketika ponselku tidak aktif. Aku suka dengan perubahan ini.
Akhirnya kuliah sudah dimulai kembali dan aku semakin sibuk. Tidak mudah untuk menekuni bidang yang tidak kita sukai. Aku hampir saja patah semangat di semester ini. Beruntung bertemu dengan seorang teman yang pintar berdarah India, namanya Rajiv. Sebagai sesama orang Asia kami lumayan dekat. Ia bukan murni berasal dari sana, tapi diadopsi oleh sebuah keluarga Amerika sejak kecil. Tapi orangnya asyik diajak ngobrol. Kadang ia menjadi mentorku. Pertemuan kami tidak sengaja, yakni di perpustakaan. Perlahan kedekatan dengan Rajiv membuat kesukaanku terhadap minuman sedikit bekurang.
Setiap kali merasa bosan, aku teringat kalimat Airin. Bahwa ayahnya ingin mendapatkan laki-laki yang baik sebagai pendampingnya. Sepertinya cuma ini yang menjadi tujuanku kuliah. Aneh? Sangat! Aku saja tidak percaya kalau bisa menjalani semua. Hingga tak terasa liburan musim panas datang. Seperti rencana semula aku pulang ke Indonesia. Airin sudah tahu dan sepertinya dia senang. Meski aku belum memberitahukan waktunya. Semoga kepulanganku bisa lebih mendekatkan kami.
***
Kuhentikan mobil di area parkir St. James. Pak Kartono yang melihatku segera mendatangi sambil tergopoh-gopoh.
"Samuel?"
"Iya, Pak. Saya baru datang."
"Katanya di Amerika?"
"Iya, kuliah di sana. Suster ada?"
"Ada di ruangannya."
Aku segera beranjak ke dalam kemudian meminta ijin pada guru piket. Kumasuki ruangannya yang masih sama seperti dulu. Ia terlihat sedang menulis di mejanya. Kuketuk pintu, saat menengadah, terlihat mata terkejut. Namun, senyum lebar segera tersungging di bibirnya.
"Sam!?" suaranya seperti tak percaya.
"Suster!" teriakku sambil memeluknya. Kurasakan tepukan serta elusan di bahu dan punggung. Seketika hatiku menghangat.
"Suster punya sarapan untukku?"
"Hush, kamu sudah lulus. Sarapan di luar saja."
"Aku kangen teh dan roti suster."
"Tidak ada anak seperti kamu lagi sekarang jadi saya tidak perlu menyediakan sarapan."
"Memangnya dulu khusus untukku?"
"Iya, supaya saya bisa menasehati kamu setiap pagi."
Aku baru menyadari, bahwa itulah cara suster untuk mendekati. "Kalau begitu aku akan beli roti di kantin, tapi suster yang buat teh, ya."
Suster Bernadeth tersenyum kemudian menganguk. Kulangkahkan kaki menuju kantin untuk membeli beberapa roti. Suster adalah orang pertama yang kutemui setelah pulang. Meski sebenarnya sekalian ingin melihat Airin dari dekat. Tidak peduli pada jetlag yang membuat kepalaku masih pusing. Setidaknya kini punya tujuan untuk pulang. Mommy sendiri sedang tidak berada di Indonesia. Dia sedang mengunjungi sebuah resort milik keluarga di Vietnam.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
251022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top