6
Kuputuskan menghubungi Suster Bernadeth malam harinya. Dia segera menjawab panggilanku.
"Halo Sam, apa kabar?"
"Aku bingung suster." Segera kuceritakan kembali semua pembicaraan bersama Mommy tanpa basa basi. Tak ada satupun yang tertinggal.
"Sam, keluarga tak selalu salah. Mereka ingin yang terbaik bagi anggotanya terlepas itu demi gengsi atau apapun. Kamu jauh lebih beruntung karena sudah dipersiapan sejak awal. Dan setelah duduk disediakan tempat bekerja yang nyaman. Berbahagialah karena mereka sudah memberikan fasilitas terbaik untuk kamu. Tugasmu hanya belajar dengan tekun."
"Tapi aku tidak ingin sekolah bisnis."
"Apa yang kamu inginkan?"
"Menjadi pelukis."
Suster diam sejenak sebelum melanjutkan. "Sejak kapan suka melukis?"
"Sejak dulu sebenarnya cuma tidak dilanjutkan. Mommy tidak setuju dengan pilihan kali ini."
"Menurut saya kamu bisa saja meneruskan sekolah bisnis, lalu saat waktu senggang ambilah kursus singkat dibidang melukis. Di Amerika cukup banyak liburnya."
"Saya tidak suka bisnis suster."
"Dalam hidup kadang kita harus belajar mencintai yang tidak kita sukai."
Kini aku memilih diam.
"Sam, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai. Saat ini mungkin kamu merasa berat, tapi percayalah, beberapa tahun lagi kamu akan merasakan manfaatnya. Hobby memang bisa menjadi mata pencaharian. Banyak pelukis yang bisa hidup dari lukisan mereka. Tapi kamu adalah orang yang memiliki karunia berbeda. Yakni menjadi salah satu pewaris dari dua buah kerajaan bisnis. Milik ayah dan ibumu. Belajarlah selagi muda dan ambil pengalaman sebanyak mungkin. Itu akan jauh lebih penting daripada kamu hanya diam dan bingung tanpa membuat satu keputusan. Saya yakin kamu mampu asal lebih tekun lagi dan tidak menganggap kecil setiap masalah yang kamu temui."
"Aku tidak tahu harus memulai dari mana suster."
"Kamu anak yang cerdas, saya yakin mampu mempelajari banyak hal di sana. Masih banyak waktu untuk meraih keduanya secara bersamaan. Amerika menjadi mimpi setiap orang. Manfaatkan waktumu sebaik mungkin."
"Kalau gagal?"
"Cukup pikirkan tentang keberhasilan saja. Lalu berusaha untuk meraihnya. Meski tidak mudah yang penting kamu sudah mencoba memberikan yang terbaik untuk hidupmu. Dari pada seperti sekarang? Kadang kesempatan itu datang berbarengan dengan nasib baik."
"Saya coba suster, terima kasih."
"Berdoalah agar kamu lebih tenang. Saya doakan kamu berhasil dalam pendidikan dan pulang ke Indonesia dengan kepala tegak.
***
Akhirnya aku masuk di UC Barkeley Business School. Kuikuti keinginan keluarga besar Mommy dan Daddy. Opa bahkan sengaja terbang kemari untuk mengucapkan selamat. Sementara Daddy, mungkin tidak tahu ke mana harus menghubungi. Kubayangkan saat ini istrinya sedikit jengkel karena ternyata anak suaminya bisa selangkah lebih maju. Tidak apa-apa dia berhasil merebut Daddy, tapi kupastikan mulai sekarang ia tak bisa merebut perhatian keluarga Aldrich, nama belakang keluarga Daddy.
Dendam menjadi satu-satunya alasan untuk memilih Barkeley. Termasuk pada para sepupu yang tak percaya pada kemampuanku. Orang-orang yang selama ini merendahkan ketika aku tak mendapatkan gelar juara sekalipun. Meski tak bertemu langsung, aku yakin mereka tengah membicarakanku dalam setiap pertemuan. Seseorang yang tidak pernah terlihat belajar bisa masuk universitas bergengsi. Ini juga menjadi kemenangan untuk Mommy. Suster Bernadeth memberi selamat pada pilihanku dan mengatakan semoga sukses.
Seminggu sekali aku masih menghubungi Airin. Sengaja tidak tiap hari karena takut dia bosan. Untuk yang satu ini aku tak pernah lupa. Entahlah sepertinya keberuntungan berpihak pada hidupku sekarang. Dia selalu menjawab panggilanku. Meski begitu saat kukatakan kembali ingin menjadi kekasihnya, dengan tegas Airin menolak. Aku tak lagi pusing dengan itu, karena kupikir berusaha jauh lebih baik dari pada diam dan tak melakukan apa-apa.
***
Kuliah di Barkeley ternyata membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, aku suka di sini. Ketika nilaiku benar-benar diukur sesuai dengan kemampuanku. Bukan karena mengenal siapa orang tuaku. Senang bisa berada dibawah bimbingan para dosen ternama dibidang ekonomi. Kelas selalu penuh dengan orang-orang serius. Kompetisi mampu mengubah pandanganku tak lagi seperti dulu. Mungkin karena sekarang sudah menjadi bagian dari mereka. Belajar itu menyenangkan ternyata. Apalagi jika bersaing dengan teman-teman yang berasal dari berbagai negara.
Hanya saja tetap ada yang tak kusuka di sini. Banyak teman-teman yang rasis, terutama terhadap mahasiswa yang berasal dari Asia, Amerika latin, dan keturunan Afrika. Untuk yang satu ini aku tak pernah bisa mentoleransi. Menurutku hanya orang bodoh yang melakukan itu. Bukan hal mudah menjadi minoritas. Termasuk aku pada awalnya, hanya saja karena memang memiliki dukungan finansial dari Mommy, maka semua terasa lebih mudah.
Sepulang dari kampus biasanya aku mengerjakan tugas yang menumpuk. Awalnya benar-benar merasa frustasi karena tidak terbiasa. Tapi perlahan semua bisa diatasi. Pada akhir pekan kuhabiskan waktu bersama teman-teman baru. Pernah juga minum sampai mabuk. Tapi setelah itu tidak lagi, karena SIM-ku bisa saja dicabut kalau tertangkap. Teringat kalimat seorang teman, 'Jangan main-main di negara orang. Di sini bukan Jakarta di mana nama keluarga kita bisa menyelesaikan masalah apapun.'
Saat ini liburan Natal telah dimulai. Aku tidak kemana-mana karena kemarin sudah merayakan Thanks Giving bersama teman-teman. Lagi pula kalender akademik lebih banyak memberikan liburan pada musim panas. Sebenarnya ingin pulang ke Indonesia. Tapi masih malas karena seluruh keluarga Mommy sedang berlibur. Siapa yang harus kutemui di sana? Lebih baik sendirian di sini. Sudah terbiasa sehingga tidak akan membuatku kecewa.
Angin bertiup kencang saat aku baru keluar dari sebuah bar. Kurapatkan coat agar bisa menghangatkan tubuh. Sepanjang jalan toko-toko terlihat terang benderang. Orang-orang memenuhi pertokoan untuk membeli hadiah. Aku hanya melintas saja, tidak tahu harus membeli apa dan diberikan pada siapa. Tidak ada satu orang keluarga pun yang datang kemari. Mommy tak mungkin kubelikan hadiah, karena dia terbiasa membeli apapun untuk dirinya sendiri. Bergegas aku pulang. Sesampai di rumah kuraih ponsel. Membuka status teman-teman dan akhirnya melihat sosok Airin yang mengunggah foto bersama teman-temannya. Sepertinya baru selesai latihan. Kutelepon langsung.
"Hai kak."
"Hai Rin, lagi ngapain?"
"Baru selesai latihan, aku terpilih untuk menjadi pemain piano di acara malam Natal nanti. Bagaimana suasana Natal di sana?"
"Meriah, toko-toko sudah mulai banyak yang sale. Lampu-lampu juga mulai dipasang."
"Aku kepingin suatu saat nanti bisa melihat suasana Natal di sana. Sekalian bisa lihat salju."
"Tapi di sini tidak ada salju."
"Oh ya? Jadi harus ke mana supaya ada salju?" terdengar nada kecewa pada suaranya.
"New York ada. Nanti gue akan bawa lo kemari kalau udah resmi jadi pacar."
"Apaan, sih, Kak Sam."
"Lo udah punya pacar belum?"
"Kan, belum selesai SMU. Belum dapat ijin dari Papa."
"Sorry lupa. Suster Bernadeth masih ada Rin?" Aku pura-pura bertanya karena kehabisan bahan pembicaraan.
"Masih Kak, tapi kami sudah libur."
Aku kembali diam tidak tahu mau bertanya apa.
"Apa Kak Sam baik-baik saja?"
"Baik, lo?"
"Baik juga, kuliahnya bagaimana?"
"Biasa aja, lo nanti rencana ke mana kuliahnya?"
"Di Jakarta saja."
"ESMOD?"
"Sepertinya enggak Kak, kemarin ada jemaat yang kuliah di sana. Biayanya terlalu mahal. Papa nggak sanggup. Mungkin nanti cari yang lebih murah."
Aku tahu dia sedih saat mengatakan ini. Suster benar, tidak banyak yang beruntung seperti aku. Memiliki priveledge untuk bisa kuliah di mana saja tanpa harus memikirkan biaya. Yang penting mau belajar.
"Kakak masih sering minum?"
"Tiap hari minum, air putih, kan, maksudnya?" candaku.
"Bukaaan,"
"Tahu dari mana gue suka minum? Ayo, lo cari tahu, ya, selama ini?"
"Enggaklah, semua orang dulu sering cerita tentang kakak di sekolah."
"Apa nama gue seburuk itu?"
"Ya, termasuk terkenal karena sering berkelahi."
"Itu dulu."
"Papa nggak suka, Kak."
Kini giliran aku yang terdiam. Apakah ini sinyal bahwa aku ditolak?
"Kenapa lo tetap baik ke gue?"
"Karena aku percaya kakak orang yang baik."
"Apa gue masih punya kesempatan jadi pacar lo?"
Dia diam, sampai aku tak sabar menanti jawabannya.
"Apa karena itu lo lebih dekat dengan David?"
"Bukan." Jawabnya cepat.
"Lalu?"
"Aku sudah janji sama papa tidak akan pacaran sebelum lulus SMU. Aku akan tetap memegang janjiku."
"Apa gue masih punya kesempatan?"
"Kakak perbaiki diri dulu karena aku tidak akan pacaran dengan orang yang tidak disetujui papa."
"Gue arti'in masih ada harapan."
Airin tertawa kecil. Rasanya dunia terlalu indah hari ini. Tidak terpengaruh oleh pohon palm yang meliuk diterjang angin kencang.
***
Selesai pembicaraan semalam aku kembali bersemangat. Siang hari berkeliling pertokoan. Berencana membeli sebuah hadiah untuk Airin. Kebetulan ada teman yang pulang ke Jakarta. Kupastikan hadiah itu akan sampai ke tangannya sebelum Natal. Kucoba mencari, akhirnya pilihan jatuh pada sebuah sweater cantik berwarna pink. Bergambar Desi yang tengah dipeluk Donald. Mungkin bukan hadiah romantis, tapi aku suka karena menggambarkan perasaanku padanya.
Kubeli juga sebuah syal berwarna coklat muda bermotif kotak untuk Suster Bernadeth. Beliau adalah salah seorang yang berjasa dalam hidupku. Seorang pendengar setia yang akan selalu ada. Kubayar keduanya setelah itu langsung menuju kediaman Reynold. Kutitipkan sekaligus memberi alamat. Temanku itu akan pulang ke Jakarta besok.
"Buat siapa Bro?"
"Temen."
Ia hanya tersenyum kemudian membawa masuk kantong tersebut. Kami masih lanjut dengan acara minum bersama. Ditambah lagi dengan kedatangan beberapa teman yang lain. Selesai semua aku kembali ke rumah.
***
Happy reading
Maaf untuk typo 201022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top