5


Yang rindu memeluk versi buku.... Yuk sudah Open PO yaaaaa

Silakan hubungi online shop langganan kamu.

@karospublisher 0818-4444-4465

💞 LIST RESELLER 💞

JAWA BARAT

1. Nani ( Bandung dan sekitarnya)
Wa: wa.me/6289531777330
Fb : Mari-ann Mary

JABODETABEK, SUMATERA

1. Nur Bahiyah
Wa: wa.me/6281388703993
Fb: Ubay Bahiyah

2. Firstin
Wa : wa.me/6287785429788
Fb : Firatin Ednalisa

3. Senja Purwaning Tyas
Wa : 081285657904 / 081288002911
IG : Kyoona Gallery
Shopee : Kyoona
Tokopedia : Kyoona Gallery

JAWA TIMUR, NTT, & NTB

1. Deenee
Wa : wa.me/6281909079028
Fb : https://www.facebook.com/dee.setiadi.1

2. Bunga
wa.me/62895335511316
Fb: https://www.facebook.com/bunga.favian

JAWA TENGAH

1. Zulfa eN Haa
wa.me/6283844633723
Fb : https://www.facebook.com/niken.syahida

KALIMANTAN DAN SEKITARNYA

1. Dewi Pitalokasari
Wa : wa.me/6281336028013
Fb : https://www.facebook.com/pitalokasari
Shopee : pitaloka_store

SULAWESI & INDONESIA TIMUR

1. Fato'
Wa : wa.me/6285241234682
Fb : https://www.facebook.com/fato.mustari

***


Kuarahkan mobil memasuki jalan tol ke arah luar kota begitu kami keluar dari resto. Rasanya belum puas menatapnya saat makan siang tadi. Kuputuskan membawanya jalan-jalan sebelum pulang. Sebuah keajaiban setelah sekian tahun akhirnya bisa seperti ini. Kalau tahu dia tidak menolak, kenapa dari dulu tidak mencoba? Baru sadar aku sebodoh itu.

"Kita ke mana kak?"

"Jalan saja, nanti jam empat gue pastiin lo udah sampai di rumah."

Meski menunjukkan wajah cemas, Airin hanya diam.

"Lo takut sama gue?"

Airin menggeleng.

"Kenapa?"

"Kakak sebenarnya baik, sayangnya gampang marah dan suka berkelahi?"

"Orang kadang salah menilai. Gue bukan begitu, cuma nggak suka diganggu."

"Apa kakak akan seperti ini terus?"

"Nggak tahu." jawabku sambil mengangkat bahu.

Kami kembali diam. Airin menatap lurus ke depan. Ini pertama kali kami jalan berdua. Rasanya ingin menurunkan kecepatan, tapi waktu tetap bergerak terus.

"Kalau tamu papa lo yang tadi, kalian kenal baik?"

"Om, Riady dan Tante Angela?"

"Iya."

"Sudah lama kenal. Mereka salah satu donatur untuk anak kurang mampu dan orang jompo yang tidak punya penghasilan. Orangnya baik banget."

Aku kembali mengangguk. Paham kalau Daddy adalah orang yang paling dipuji oleh siapapun. Dia memang harus memasang topeng agar bejatnya tidak ketahuan.

"Kakak lolos di mana?"

"Di dua universitas. Yang satu memang mimpi gue sejak kecil. Satunya mimpi keluarga besar. Belum bisa memilih. Lo nanti mau ambil jurusan apa?"

"Kepinginnya sih ambil desain. Aku suka merancang pakaian gitu."

"Lo bisa jahit juga?"

"Bisa, dong. Sejak kecil aku suka."

"Siapa yang ajarin?"

"Oma dulu penjahit terkenal, dan aku sering dijahitkan baju-baju bagus dari sisa kain pelanggannya."

Aku tertawa kecil. Senang melihat matanya bersinar. Tak terasa jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga sore. Saatnya kembali pulang.

"Lo kenapa mau gue ajak makan siang di luar?" tanyaku saat kami sudah kembali menuju Jakarta.

Dia hanya tertunduk malu. Pipinya bersemu merah. Aku suka melihatnya.

"Gue bakal berangkat dan nggak tahu kapan balik ke sini."

"Kenapa?" ia terlihat terkejut.

"Kalau lo suruh gue pulang, gue akan pulang."

"Orang tua kakak di sini, kan? Jangan karena aku."

"Gue udah bilang kalau suka sama lo. Dan mungkin lo adalah satu-satunya alasan buat gue pulang nanti."

Bahunya menegang. Mungkin dia terkejut mendengar kalimat-kalimatku. Tapi mau kapan lagi menyampaikan perasaanku? Nunggu setelah sampai di sana? Bisa jadi saat itu dia sudah terlalu sibuk dan tidak bersedia mengangkat panggilanku.

"Kenapa begitu?"

"Mommy akan bolak-balik ke sana. Kalau alasannya dia, ngapain pulang?"

"Papa kakak?"

"Gue nggak suka membicarakan dia."

Ia mengangguk tanda mengerti. Sisa perjalanan hanya ada keheningan. Aku juga tidak tahu harus bertanya tentang apa lagi.

"Gue boleh telepon lo lagi?" tanyaku sebelum ia turun.

"Boleh, kakak nggak turun? Pamit sama papa?"

Aku mengangguk. Kulihat jam di dash board menunjukkan pukul 3.55. Aku tak terlambat memulangkan anak gadis orang. Setelah pamit pada orang tuanya, aku pulang. Tidak tahu mau ke mana lagi.

***

Kutatap kanvas kosong yang ada di sudut kamar. Benda yang sudah lama tak kusentuh. Selain tak sempat, juga tak punya ide mau melukis apa. Namun, malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuatku resah, tapi entah apa. Kuambil cat dan kuas dari dalam lemari. Rasanya ingin melukis wajah Airin, tapi bukan itu yang kuinginkan sebenarnya. Dulu, aku sering menghabiskan waktu di depan kanvas untuk melampiaskan resah dan marah. Duduk berjam-jam melukis sesuatu seolah membuatku lupa akan kesedihan. Namun, kini semua kebiasaan itu perlahan hilang seiring memasuki usia remaja. Tak pernah lagi ikut kursus atau lomba melukis.

Akhirnya tanganku menari di atas kanvas. Mawar adalah sesuatu yang ada di dalam benakku sekarang. Kutatap dan teliti sekali lagi imajinasi yang sudah tertuang. Begitu banyak duri yang menghias tangkainya. Goresan itu membuatku sadar, bahwa ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Bunga itu melambangkan Airin. Dan duri itu bercerita tentang tajamnya rintangan jika aku tetap menginginkannya. Mungkin akan banyak darah dan luka. Kutundukkan kepala. Dengan malas meletakkan kembali kuas dan palet. Tiba-tiba semua kembali terhenti. Mood melukis hilang sudah. Entah kapan bisa kulanjutkan lagi.

***

Aku masih berada di ruang tunggu bandara. Sementara Mommy terlihat sibuk menelepon. Beberapa orang PA-nya berada disekeliling seperti biasa. Kutatap tubuhnya yang sempurna. Untuk ukuran perempuan Mommy memang terlihat luar biasa. Entah kenapa Daddy tetap memilih kekasih lamanya yang terkesan biasa saja. Meski kuakui memang sama-sama cantik. Terdengar sekilas Mommy sedang memarahi seseorang. Aku memilih menatap ponsel sendiri. Nomor Airin belum aktif, terakhir dilihat pukul 06.45 pagi. Bisa jadi dia masih di sekolah.

Penerbangan memakan waktu cukup lama. Pesawat kami akan mampir di Singapura dan Jepang. Mommy juga harus bertemu seseorang terlebih dahulu di Changi. Aku merasa sedikit gelisah, bukan karena perjalanan yang akan kulalui. Tapi tentang ketidakinginan belajar bisnis. Untuk pertama kali merasa bahwa ternyata menjadi orang menjelang dewasa itu tidak enak. Lingkungan menuntut untuk bisa seperti mereka. Sementara aku memiliki pilihan lain.

Tiba-tiba kulihat Airin online. Segera kuketik sesuatu.

Sudah pulang sekolah?

Sudah kak. Kak Sam sudah berangkat?

Masih menunggu di bandara.

Safe flight.

Terima kasih. Lo sama siapa?"

Lagi bareng teman-teman jalan ke luar, nunggu jemputan.

Nanti kalau sampai rumah gue hubungi boleh?

Ada yang penting kak? Sekarang saja. Setelah ini aku mau les piano.

Kucoba menimbang apakah ini adalah waktu yang terbaik. Dorongan dari dalam diriku memaksa agar aku bertanya. Mumpung dia sudah memintaku melakukan itu.

Lo mau nggak jadi pacar gue?

Kalimat itu segera kuketik. Sudah terkirim dan dibaca, tapi tak langsung dijawab. Kutunggu hingga beberapa menit sampai kulihat ia mulai mengetik.

Maaf kak, Papa belum mengijinkan aku pacaran.

Seketika tubuhku terasa lemas. Harapan yang telah kubangun beberapa hari terakhir hilang begitu saja.

Apa ini juga jawaban lo ke David?

Iya, kak.

Apa gue masih punya kesempatan?

Kakak belajar yang baik dulu. Supaya bisa lulus dengan nilai bagus.

Kalau gue lulus dengan nilai bagus, apa lo mau menerima gue?

Siapa tahu saat itu malah kakak yang sudah punya pacar yang lain?

Gue serius, Rin. Apa boleh gue nunggu jawaban lo?

Kembali tidak ada jawaban. Kutungu dengan hati berdebar. Suasana seperti ini benar-benar tidak menyenangkan. Pertama kali nembak cewek, tapi digantung. Sakit banget. Kutunggu tapi tetap tidak ada jawaban. Bahkan hingga naik ke pesawat dan ponselku harus dimatikan.

***

Saat transit di Changi kubuka ponsel. Ada pesan dari Airin yang masuk.

Aku belum diijinkan Papa untuk pacaran. Tapi aku juga nggak tahu bagaimana perasaanku nanti. Papa menetapkan standar yang ketat untuk laki-laki yang akan menjadi pasanganku. Nggak salah juga karena aku anak satu-satunya.

Aku nggak bisa berjanji untuk menunggu dan menerima. Tapi semoga kelak saat kita bertemu lagi, Kak Sam sudah berubah menjadi sosok yang lebih baik. Karena untuk sikap kakak yang sekarang Papa pasti tidak akan mengijinkan.

Aku terhempas! Mungkin ini adalah penolakan dengan cara paling halus. Dia mengatakan kalau dengan sikapku selama ini, papanya tidak akan merestui. Sangat terbalik ketika kami diijinkan makan siang bersama. Apakah setelah itu seseorang membisikkan pada papanya siapa aku sebenarnya? Apakah Daddy yang melakukan itu? Aku memang bukan orang baik. Tapi tidak bisakah aku mendapatkan kesempatan untuk meraih yang kuinginkan? Kututup ponsel tanpa menulis apapun lagi.

***

"Ada apa dengan pilihan yang kemarin? Kamu mau menolak Barkeley lalu ingin meneruskan ke California College of the Arts. Kamu tahu bagaimana sulitnya masuk ke sana!? " teriak Mommy ketika aku mengatakan memilih masuk jurusan seni.

Aku menolak keinginan Mommy setelah berpikir cukup lama. Kebetulan aku lulus di CCA. Tempat itu juga sulit ditembus sebenarnya, tapi ternyata aku lolos. Selama ini tidak memberitahukan karena yakin tidak diijinkan. Mungkin aku akan menjadi satu-satunya yang masuk ke sana dari garis keturunan kedua orang tuaku.

"Kamu sama sekali tidak menghargai kemampuanmu. Kemungkinan masuk ke Barkeley sangat kecil Sam. Sainganmu berasal dari seluruh dunia!" Lanjutnya.

"Aku tidak akan nyaman kuliah di sana. Tidak yakin bisa mengikuti kuliah dengan baik. Kemarin ikut mendaftar dan tes karena ingin membuktikan saja. Mommy tahu bagaimana semua aunty dan uncle membanggakan anak-anak mereka yang masuk MIT, Oxford dan Harvard. Cuma mau memberitahukan mereka bahwa aku juga mampu."

"Kenapa tidak yakin? Mommy percaya kamu bisa. Dan semua sudah dibayar Sam."

"Aku juga sudah membayar di CCA."

"Pakai uang siapa kamu?"

"Uang yang diberikan Opa selama ini." Aku memang mendapat jatah bulanan dari kakek, orang tua Daddy. Ia begitu bangga padaku sebagai cucu pertama laki-laki dalam keluarganya. Dilahirkan oleh mantan menantu kesayangan pula. Selama ini uang itu memang tidak pernah kusentuh. Seluruh pengeluaran termasuk tagihan kartu kredit dibayar Mommy. Dan yakin dia juga akan sama marahnya dengan Mommy kalau tahu aku menggunakan uangnya untuk masuk sekolah seni. Karena itu tidak pernah berkabar tentang kelulusan pada siapapun sebelumnya.

"Kamu sudah melakukan banyak hal yang kamu sukai selama ini. Mau berapa lama lagi diberi kesempatan? Sudah waktunya untuk fokus pada satu bidang. Pikirkan masa depanmu. Kamu anak mommy satu-satunya."

"Kita sama-sama bukan anak yang penurut setahuku."

"Mommy tidak penurut, tapi satu yang harus kamu tahu mommy tetap mempersembahkan sebuah gelar untuk orang tua. Setidaknya mereka tahu bahwa anak yang sangat tidak dibanggakan ini bisa berhasil dalam pendidikan. Kamu tidak boleh lupa kalau mommy juga memegang gelar master dibidang bisnis?"

Aku tahu Mommy juga lulusan Barkeley. "Mommy mau aku seperti itu juga?"

"Kamu seharusnya mengambil kesempatan ini. Tunjukkan kalau jalanmu sudah benar. Dengan begitu orang lain akan mempercayai pilihanmu."

"Aku ingin menjadi pelukis."

"Boleh, tapi ambil dulu gelarmu dibidang bisnis. Keluarga Robinson juga butuh pelukis yang ahli berbisnis."

"Aku akan memilih jalan sendiri tanpa peduli pada orang lain."

"Anak-anak Daddy-mu akan melampaui prestasimu kalau begitu." Selesai mengatakan itu Mommy meninggalkanku.

Seumur hidup, aku harus mendengar kata itu. Bahwa tidak boleh kalah dari anak-anak Daddy. Meski berasal dari benih yang sama jelas kami berbeda. Mereka tumbuh dalam sebuah keluarga utuh, di mana orang tua tahu siapa, di mana dan bagaimana anak-anaknya. Lalu aku? Sebagai orang yang selalu tersisih kini harus mengikuti sebuah kompetisi agar bisa menjadi pemenang. Benar-benar menjengkelkan!

Sebenarnya memang sejak berangkat dari Jakarta aku ingin mengembangkan bakat sebagai seorang pelukis di sini. Tapi kalimat Mommy membawaku ke arah yang berbeda. Gengsi keluarga Robinson harus dipertahankan. Ibuku telah kalah dengan Angela! Sebuah hukum tak tertulis, aku harus menebus kekalahan itu dengan kuliah di tempat terbaik. Demi gengsi sebuah keluarga.

Ini adalah sisi yang paling tidak menyenangkan dalam hidupku. Menjadi anak tunggal membuat seluruh harapan ada dipundakku. Padahal sama sekali tidak menginginkannya. Kenapa harus seperti ini? Sulit sekali untuk menggapai keinginan sendiri. Lelah dengan semua kupejamkan mata. Biarlah masalah hari ini cukup untuk hari ini saja.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

161022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top