nangka dan kabayan
A/n: mengandung kosa kata bahasa Sunda yang agak pusing karena berbeda arti, tergantung penempatannya dalam kalimat.
Tapi, sudah ditulis summary dalam catatan kaki.
Thanks for reading 💕
🌻🌻🌻
Langit-langit kamar indekos menjadi pemandangan pertama yang kulihat, entahlah bagaimana caranya aku bisa berada disini. Seingatku tadi aku sedang berjalan di depan gerbang komplek.
Aroma minyak kayu putih menyerbak di hidungku, telapak tanganku juga hangat dan bau minyak kayu putih.
Fiks, tadi aku pingsan.
Suara televisi dan orang mengobrol terdengar jelas, saat aku berusaha bangun rupanya ada si Nangka dan si Winda yang tengah menonton sinetron sambil mengobrol.
"Eh, Za, jangan dulu bangun. Lo masih lemes," kata Winda sambil menghampiriku dan duduk di sebelahku.
"Kok bisa ada lo di sini?" tanyaku, kurasa semua yang ada disini paham pertanyaanku ditujukan kepada siapa.
"Jangan gitu, dong. Tadi dia yang gendong lo kesini, dia juga yang beliin makanan terus ngusap-ngusap tangan lo biar cepet sadar," jelas Winda. "Kalo nggak ada dia bingung dah gue gimana ngadepin orang pingsan"
Si Nangka hanya menggaruk tengkuknya, terlihat sekali dirinya canggung berada di kamar cewek dengan dua gadis di dalamnya.
"Hm, makasih," ujarku pelan.
Hening menyelimuti seisi kamar, hanya suara televisi yang meramaikan ruangan ini.
"Umm, gue mau beresin kamar dulu bentaran deh ya," pamit Winda tiba-tiba, cewek itu pasti bohong.
Sedikit tergesa Winda meninggalkan kamarku, membiarkan pintunya terbuka lebar supaya tidak menimbulkan asumsi negatif.
Si Nangka menghampiriku, dia duduk di kursi belajar yang didekatkan pada ranjangku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
"Nggak, biasa lah gue begini."
Hening lagi. Tumben sekali si Nangka tidak banyak bicara.
"Kok lo—"
"Tadi—"
Kami berdua diam, menunggu salah satu melanjutkan pembicaraannya.
"Lo mau ngomong apa tadi?" tanyaku.
"Kamu duluan."
"Ck. Kok lo bisa masuk kosan cewek, sih?"
Si Nangka menghela nafasnya, "Baru juga mau nyeritain. Jadi gini, tadi aku manggil-manggil Zafrina tapi nggak didenger. Pas disamperin eh kamu matanya udah nggak fokus, pasti mau pingsan nih kata aku téh, bener aja kamu langsung ngageletek¹. Untung wéh ada aku, coba kalo nggak mah mereun udah ngajoprak² di aspal."
"Terus?" tanyaku, sumpah mendengar dia bicara seperti itu sangat lucu! Benar-benar mirip Kabayan.
"Terus aku téh ijin ke Uda Faisal. Kan, ini kosan punya si Uda. Langsung wéh aku bawa ke kamar, si Uda panik liat Neng pingsan. Dia manggil-manggil si Uni buat bantuin. Udah gitu téh temen kamu dateng, jadi si kami³ yang jagain Neng."
"Neng tuh gue?"
"Ya iya atuh, Neng téh kamu, Zafrina. Panjang teuing ah aku nyebut namanya, udah wéh Neng." Kemudian si Nangka melanjutkan ceritanya, "Terus abis itu, si Neng-nya bangun marahin aku."
"Siapa yang marahin lo? Geer!"
Si Nangka tertawa, hobinya memang begitu sepertinya.
"Makan dulu, Neng. Yok makan, perlu aku suapin?" ujarnya.
"Dih, ogah! Nggak, gue mau minum obat lambung dulu." Ketika aku bangkit hendak mengambil obat, si Nangka menahanku. Katanya aku masih lemas, biar dia saja yang mengambil obatnya untukku.
Satu jam setelah aku minum obat, aku mulai makan. Selama itu juga tidak ada percakapan antara aku dan si Nangka, dia sibuk menonton televisi, lebih tepatnya menonton sinetron.
Kalau bukan karena ponsel yang mati dan roti sisir, aku pasti tidak akan pingsan.
Astaga! Roti sisir!!
"Nangka, lo udah beli roti sisir belum?" tanyaku, dia langsung menoleh ketika aku selesai bicara dan kembali duduk disamping ranjangku.
"Ih udah dibilang nama aku bukan Nangka!"
"Ck! Sama aja lah, intinya gue manggil lo juga. Lo udah dapet roti sisir buat besok?"
Cowok itu nampak berpikir, kemudian berkata, "Sok, coba kamu tanya nama aku siapa."
"Hah?"
"Ya abis kamu nggak tau nama aku, jadi sekarang sok kamu tanya nama aku biar aku kasih tahu."
Astaga cowok ini!!!!!
"Hm, Nangka, nama lo siapa?" ujarku dengan nada yang dilembut-lembutkan. Supaya cepat kelar urusanku dengannya.
"Gitu dong, panggil aja Bayan," katanya.
"Hah? Bayan? Kabayan?"
Dia terkekeh, "Banyak yang manggil Kabayan."
Astaga, cowok ini betul-betul Kabayan! Sudah namanya mirip, logatnya juga persis, tidak tau deh kelakuannya. Yang jelas dia iseng juga sama seperti Kabayan, dan jangan lupa dia receh juga suka modus.
Kali ini aku yang terkekeh, "Beneran nama lo Kabayan?"
"Nggak atuh, aslinya mah aku téh Badrutama Aryan. Cuma disingkat jadi Bayan, eh diplesetin jadi Kabayan."
Ya Tuhan, aku ngakak.
"Kenapa ketawa?" tanyanya.
"Nggak, lucu aja. Lo bener-bener sosok Kabayan, logatnya sama, kelakuannya juga. Mirip." Aku ngakak lagi. "Wajar dipanggil Kabayan."
"Kamu mah jangan manggil Kabayan atuh."
"Iya, iya, Nangka."
"Jangan!"
"Ya udah, Bayan."
"Jangan, panggil sayang aja."
Dia tertawa, dan aku hanya melemparnya dengan boneka kecil milikku.
Dasar Kabayan tukang modus!
Aku menepuk lengannya supaya berhenti tertawa, dengan serius aku berkata "Eh, Bayan, serius gue. Lo udah dapet roti sisir buat besok? Gue belum soalnya"
"Ada aku, si Ibi⁴—ibunya si Bulet, kan punya warung, ya udah aku pisahin semua roti sisirnya, sengaja buat dijual ke yang belum dapet."
"Ah, anjir! Bilang dong kalo lo jual, jauh-jauh gue jalan tadi. Ya udah gue beli satu, ya, buat besok."
"Emang kamu jalan ke mana tadi?"
Dan mengalirlah ceritaku tentang aku yang berjalan kaki untuk sampai ke supermarket Bintang, sampai akhirnya aku lemas dan pingsan.
Diluar dugaan si Bayan tertawa, dia ngakak sampai terpingkal-pingkal. Ya Tuhan aku menyerah akan kerecehan humornya.
"Maap, maap, aku sebenernya kasian tapi ngakak pisan!" Kemudian dia melanjutkan tawanya, wajahnya sampai memerah. Sialan.
"Nggak usah tawa lo, sampis!"
"Atuh kamu ih, cileupeung!"
"Hah? Cileupeung apaan?"
"Dungu."
"Kurang ajar lo ya ngatain gue dongo!" Akhirnya aku memukulinya dengan bantal, dia masih terpingkal-pingkal.
"Kemaren, kan, kita ngelewatin, harusnya kamu tau itu téh jauh. Ngapain nurut sama temen buat jalan kaki? Aduh, Neng, Neng!" Dia ngakak lagi setelah berhasil merebut bantal yang aku gunakan untuk memukulinya.
"Serah lu dah! Pokoknya besok bawain gue roti sisirnya, jangan lupa!"
"Iya, iya."
"Gue mau ke kamar mandi dulu," ujarku.
Pelan-pelan aku bangun dari tempat tidur dengan dibantu Bayan. Kalau dipikir-pikir lebih manusiawi aku memanggilnya Bayan, tidak lagi memanggilnya Nangka. Lagi pula mirip betul dia dengan si Kabayan, cocok lah dengan nama Bayan.
Rupanya kaus kakiku sudah dilepaskan, entah oleh siapa. Aku tidak menyadari karena tadi tertutup selimut. Aku berjalan ke kamar mandi yang letaknya di luar kamarku, sembari membawa baju ganti untuk tidur. Sebelumnya sudah kubilang pada si Bayan, kalau dia mau pulang silakan saja asal tutup lagi pintu kamarku. Tapi aku tak tahu apa dia masih di sana atau tidak.
Dua puluh menit aku di kamar mandi, kemudian keluar dengan baju tidur. Aku berjalan pelan untuk sampai ke kamar. Tadi sih, ketika mau masuk kamar mandi, si Bayan masih menuntunku. Sekarang tidak, dan tubuhku masih lemas.
Ketika aku masuk kamar rupanya si Bayan masih ada, ia tengah menonton televisi.
"Kirain gue lo udah balik," ujarku setelah memasukkan baju ke keranjang laundry.
"Oh, itu nungguin kamu."
Aku hanya memutar bola mata jengah, dia terlalu banyak modusnya.
Aku duduk di ujung kasur, dekat dengannya yang menonton televisi.
"Aku lupa naro hape, bisa kamu teleponin? Terakhir pas kamu masih pingsan aku mainin soalnya."
Tanpa menjawab perkataannya aku lantas meraih ponselku yang tengah di-charge, masih tersambung dengan kabelnya aku nyalakan ponsel yang tadinya mati.
"Nomor lo?"
Bayan menyebutkan nomor ponselnya, setelah kusimpan ke WhatsApp langsung aku meneleponnya.
Dering ponsel berbunyi, rupanya ada di kantong celana si Bayan. Dasar pelupa!
"Tuh ada, pikun dasar," ketusku, kemudian aku matikan sambungan teleponnya.
"Nah, makasih ya. Kan, aku jadi punya nomor kamu. Aku pulang dulu, ya, jangan cileupeung lagi. Assalamu'alaikum." Bayan melambaikan tangannya, lalu melangkah keluar kamarku dan menutup pintu kamar. Kurang ajar!
Aku hanya melongo tak percaya, sudah berapa kali dia modus dan aku termakan omongannya?!
Bayan sialan!!
🌵🌵🌵
¹Ngageletek = jatuh tergeletak
²Ngajoprak = telungkup tidak berdaya
³Si Kami = aku
⁴Ibi = Bibi. Bukan ibu yg typo/diplesetkan.
Adapun: pisan = banget, sedangkan teuing = terlalu; banget.
Cmiiw'-' boleh drop disini ya😉
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top