ini yang dinamakan dinner?
Pukul tujuh tepat Bayan sudah berada di depan indekos. Dia benar-benar menepati janjinya tanpa terlambat satu menit pun. Sedangkan aku jangan ditanya, ketika Bayan tiba, aku masih mengenakan daster. Belum berganti pakaian yang lebih layak untuk dikenakan saat makan malam diluar. Akhirnya supaya menghemat waktu, aku hanya mengganti bajuku dengan legging hitam panjang dan sweater berwarna biru pastel. Untungnya Bayan juga tidak menggunakan setelan formal, sama denganku dia juga hanya memakai celana training dan hoodie hitam andalannya.
Bayan mengajakku ke sebuah rumah makan sederhana, hanya ada enam meja untuk masing-masing diisi dua hingga empat orang. Tidak ada kursi, para pelanggan duduk lesehan. Rumah makan ini bernuansa kayu, furnitur yang digunakan terbuat dari kayu jati dan dindingnya pun dibalut wallpaper bermotif susunan serat kayu. Tempat ini cukup ramai, wangi gurih dari ikan lele goreng serta daging unggas—ayam dan bebek menyerbak ke seluruh ruangan.
"Sengaja aku téh ajak kamu kesini, bumbu pecelnya enak atuh da. Kamu gak apa-apa, kan, diajak ke tempat lesehan gini?" ujar Bayan ketika kami baru mendapatkan meja. Barusan kami sempat menunggu sekitar sepuluh menit, karena meja disini telah terisi penuh.
"Kalau kenapa-napa, ngapain gue iya-iya aja pas lo ngajak jalan?"
"Iya juga sih, ya. Ya udah sok, kamu mau pesen apa? Pecel lele, pecel ayam, apa pecel bebek?"
"Apa aja dah, ngikut lo."
"Ikut aku ke pelaminan mau?"
Astaga, Bayan apaan sih!
"Ikit iki ki piliminin mii?" ucapku menirukan dirinya, namun mengganti huruf vokalnya dengan huruf "i".
Bayan tertawa, akhirnya dia memesan pecel bebek dan pecel lele masing-masing satu porsi, juga dua gelas es teh manis.
Sembari menunggu pesanan kami dibuatkan, aku dan Bayan seperti tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
"Neng, aku pengen ngobrol," katanya tiba-tiba.
"Ngobrol, lah."
"Tapi bingung mau ngobrolin apa."
Iya juga sih, aku pun merasa begitu. Kami pura-pura sibuk dengan ponsel masing-masing, sesekali saling mencuri pandang. Hingga Bayan mengutarakan keinginannya untuk mengobrol, barulah ada percakapan diantara kami.
Aku menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu pada Bayan. "Umm, gimana kalo cerita soal lo aja, tentang childhood lo misalnya."
Bayan nampak berpikir, rambutnya yang semula gondrong kini sudah dipangkas rapi. Aku baru menyadarinya.
"Eh, Yan, kapan lo dicukur?" tanyaku begitu saja, random sekali.
Bayan menyugar rambutnya. "Oh, kemaren siang dianter si Bulet ke Mamang cukur." Kemudian tangannya berhenti merapikan rambutnya, diletakkannya diatas meja sambil memposisikan tubuhnya condong padaku. "Kenapa gitu? Bagusan gondrong, ya?"
"Nggak kok, bagus gitu, rapi. Gimana aja lah, yang penting rapi."
Kemudian kami saling diam lagi, kembali berpura-pura sibuk di dunia masing-masing.
Bayan tiba-tiba berujar, "Tadi katanya mau dengerin cerita tentang aku, jadi apa nggak?"
Aku sedikit terlonjak, dengan cepat kujawab, "Jadi, jadi!"
Bayan terkekeh melihatku yang sepertinya terlalu bersemangat untuk mendengarkan cerita darinya.
"Gak ada yang seru da masa kecil aku mah, cuma—"
"Bebek sama lele?" ucapan Bayan terpotong oleh seorang lelaki yang datang membawa pesanan kami. Bayan lantas mengiyakan, lalu pesanan kami disajikan.
Ketika lelaki tadi selesai mengantar pesanan, Bayan melanjutkan ceritanya. "Tadi sampe mana téh?"
"Bebek sama lele."
"Bukan itu ai kamu, ih, aku jadi pengen ketawa."
"Ketawa aja, gak ada yang larang. Btw, ini gue makan yang mana?"
Seketika pandangan Bayan jelalatan pada hidangan yang tersedia, "Gini Neng, maksud aku kita saling tukeran lauknya. Sok kamu mau comot daging lele mah, mangga. Mau comot daging bebek juga sok aja. Aku nggak pesen daging ayam, gak suka aku mah soalnya."
Aku paham maksudnya. Akhirnya kami berdua mulai makan, untungnya seporsi pecel dipisah nasinya, jadi mempermudah kami "mencomot" lauk satu sama lain.
Betul kata Bayan, pecel di tempat ini enak sekali. Aku sampai terlalu fokus makan, sambalnya pedas dan menyegarkan hingga keringat bercucuran di dahiku. Dan tangan kiri Bayan lah yang berinisiatif menyeka keringatku.
Daging bebeknya sangat juicy, namun kulitnya garing dan renyah. Bumbunya meresap sampai kedalam tulang. Pun daging lelenya, bahkan tulang-tulang ikan lele sampai ikut juicy. Pantas saja tempat ini ramai, sudah harganya terjangkau, rasanya luar biasa pula.
"Yan, asli dah, enak banget ini," ujarku setelah menghabiskan porsi makanan milikku, bahkan aku sampai menjilati jari-jari tangan kanan yang tadi kugunakan untuk makan.
"Kan, enak kata aku géh¹. Moal² gagal rekomendasi dari Bayan mah." Bayan tertawa, sebetulnya aku sangat ingin menjitak kepalanya. Namun sungguh, aku terbuai akan kenikmatan pecel yang tersaji di hadapanku ini. "Kamu mau nambah?"
Aku sedikit terlonjak, tentu jawabannya sangat mau. Tetapi melihat antrian meja makan, aku jadi tidak tega pada pelanggan lain untuk lebih lama berada di tempat ini. "Kagak deh, Yan. Kapan-kapan aja kesini lagi," jawabku.
"Atuh bungkus wéh, bisi³ kamu malem-malem laper pingin makan."
Aku menuruti saran Bayan, seporsi pecel ayam kubungkus untuk dimakan di indekos. Kalau malam ini tidak sempat aku makan, bisa esok hari kujadikan menu sarapan. Tinggal dipanaskan saja di microwave.
Kami berdua akhirnya meninggalkan rumah makan tadi, rencananya sih Bayan akan langsung mengantarkanku pulang. Namun, lagi-lagi kami singgah di suatu tempat.
Taman kota.
Malam ini taman kota cukup sepi, mungkin karena bukan akhir pekan. Aku dan Bayan memilih untuk duduk di salah satu bangku, dekat pohon kenari sambil menikmati jajanan jagung-susu-keju.
Awalnya kami pura-pura sibuk, hingga aku memberanikan diri untuk menagih cerita Bayan.
"Apa atuh masa kecil aku mah, gak ada yang istimewa," katanya.
"Eh, momen pertama kali lo bisa gowes sepeda tuh istimewa tau! Hal istimewa gak perlu yang meriah, atau bernilai kemewahan. Hal yang bikin lo bahagia, itu baru hal yang istimewa."
Bayan menganggukkan kepalanya, tangan kirinya menggerayangi dagunya yang bersih tanpa bulu jenggot. Sedang tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku.
"Kalau menurut kamu istimewa téh kayak gitu, berarti hal istimewa di hidup aku mah pas aku ulang tahun yang kelima."
"Wuih, kenapa tuh? Lo jadi badut di ulang tahun lo?"
"Aduh, Neng, naha sih ngacapruk kieu," Bayan terkekeh-kekeh seraya menyubit pipiku.
"Ih! Gak usah nyubit! Mana gue gak ngerti lo ngomong apaan!"
Dia terkekeh lagi. "Kamu ngawur ngomongnya."
Cowok itu meraih tangan kiriku yang ada dalam genggamannya, kini kedua tangannya menangkup tangan kiriku. Sesekali Bayan mengusapnya perlahan, pandangan matanya tertuju pada tangannya yang menjaga tanganku.
"Ulang tahun kelima, buat aku istimewa, Neng." Bayan diam sejenak. "Padahal gak ada perayaan, aku mah belum pernah ngerasain asaan⁴ téh ulang tahun dirayain sama temen-temen kecil, tiup lilin di depan temen-temen, dapet kado ...."
Aku hanya diam mendengarkan, menunggu bagian cerita yang mempunyai makna istimewa yang dirasakannya.
"Tapi téh istimewa pisan, da masih bareng Mama, Papa, Emak, Abah …."
Sepertinya aku bisa menerka apa yang menjadi persoalannya kini.
"Eh, kamu ulang tahun kapan?" tanyanya tiba-tiba.
Aku melenguh, sadar tak sadar ketika Bayan bercerita singkat tentang hal istimewa menurutnya, nadanya berubah sendu.
"Umm … bulan ini," ucapku menjawab pertanyaannya.
Bayan sedikit terlonjak, posisinya yang semulu menatap lurus ke depan kini menoleh kesamping, tepat ke hadapanku. "Wah, yang bener?"
"Iya, bener."
"Tanggal berapa?"
"Kepo."
"Ai kamu ...."
Wajahnya berubah datar, lucu sekali! Aku bahkan nyaris terpingkal.
"Hayu pulang ah," ajaknya tiba-tiba.
"Ih, ngambek?"
"Bukan ngambek, liat jam geura."
Segera aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, angka digital menampilkan sekarang ini sudah pukul 8.45 malam. Tidak terasa.
Akhirnya aku mengiyakan ajakannya, kemudian kami berboncengan lagi di atas motor matiknya.
Bayan mengantarku sampai ke depan pagar indekos, seperti biasanya. Dia juga melepaskan helm yang kugunakan, kayaknya hal tersebut akan menjadi kebiasaannya lagi. Bukan apa-apa, helm yang Bayan pinjamkan padaku pengaitnya sudah berkarat, jadi agak susah dilepaskan.
Saat kami sudah mengucapkan basa-basi perpisahan, dia memanggilku lagi. Tubuhku yang sudah berjalan masuk ke dalam lantas berbalik, kembali menghadap padanya.
"Selamat ulang tahun ya, Neng," katanya.
"Dih, ultah gue bukan sekarang."
"Atuh, kan, aku cuma tahu bulan ini kamu ulang tahun, gak tahu tanggal berapa. Bisa jadi udah kelewat, bisa hari ini, atau bisa juga besok. Mending aku ucapin aja tiap hari, selama bulan ini, cari aman biar nggak kelewat."
"WTF! Pengen bilang so sweet tapi kok rasanya cringey banget," aku tertawa, dan menularkannya pada Bayan.
"Udah, udah, sok geura istirahat, biar besok bisa bangun pagi."
Aku mengangguk mengiyakan, kemudian Bayan kembali berpamitan, kali ini aku menunggunya sampai menghilang dari depan pagar indekos.
Baru saja Bayan menyalakan mesin motornya, seseorang memanggil.
"Kak Bayan?"
🌵🌵🌵
¹géh = juga
²moal = tidak akan
³bisi = takut (khawatir terjadi sesuatu)
⁴asaan = perasaan (batin)
Mangga = silakan
Geura = cepat (bisa juga bermakna "deh")
Kalau ada yg tidak ter-translate, komen aja ya. Ada hambatan buat ngasih tanda pada diksi bahasa Sunda soalnya:")
Terimakasih!❤️
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top