getting closer
"Kak Bayan?"
Suara seorang gadis memanggil Bayan terdengar olehku, untungnya diri ini masih berada di teras, jadi kusempatkan menoleh untuk mengetahui siapa sang empunya suara.
Kalau tidak salah, cewek berbaju tidur warna merah marun itu juga penghuni indekos.
"Eh, Misel. Dari mana mau ke mana?" jawab Bayan. Dia tidak menyadari kalau aku sedang memerhatikan keduanya.
"Abis jajan." Cewek itu mengacungkan plastik hitam kecil pada Bayan. "Kakak ngapain? Kok ada di kosan aku?"
"Abiis ...," Bayan menoleh kepadaku yang berdiri bersandar di pagar yang belum kugeser ke kiri supaya tertutup. "Biasa, maen, hehe," sambungnya.
"Ini Miselia, adik kelas aku di SMA," kata Bayan padaku seraya menunjuk gadis itu dengan dagunya.
Janggal.
"Adik kelas? Bukannya kamu maba juga, ya?" tanyaku pada gadis itu. Meskipun aku tidak kenal dia, tapi aku ingat wajahnya. Toh namanya juga tinggal di tempat yang sama, pasti kami sering bertemu lah.
"Aku belum bilang, ya? Aku, kan, gapyear. Jadi beda setahun diatas kamu," jelas Bayan.
"Masa?"
"Bener, Neng. Tanya aja si Bulet."
Cewek itu hanya memerhatikan aku kemudian Bayan, begitu terus. Setiap salah satu diantara kami bersuara, dia memerhatikan.
"Oh. Ya udah," ujarku pada keduanya. Kemudian melesat masuk ke kamarku, setibanya disana aku lantas membaringkan diri.
Winda sedang video call dengan pacarnya di kamarku sambil menyalakan televisi, maklum saja dia hobi menonton TV tapi di kamarnya tidak ada TV. Saking khusyuknya dia video call, sampai-sampai dia tidak menyadari kehadiranku yang sudah membangkai diatas ranjang.
Aku jadi terpikirkan cewek tadi, kenapa dia bisa kenal Bayan, sih? Kan jadi awkward kalau Bayan datang ke indekos.
"ARGH!"
"Bangsat! Lo kalo dateng samlekum napa! Ngapain, sih, lo misuh-misuh di kasur?!" Winda mengomel. Padahal barusan aku tidak berteriak kencang, hanya sambil memukul-mukul kasur saja, sih.
"Lo aja budek, asik vidcall sama si Budi! Gue udah dateng sepuluh menit lalu, kampret!"
Budi yang panggilannya masih terhubung dengan Winda memanggil-manggil pacarnya bertanya ada apa, sedangkan Winda hanya manyun menatapku seperti aku ini hama yang telah memakan tanamannya.
"Huh! Udah, ah,gue balik ke kamar." Sambil menghentakkan kakinya, dia keluar dari kamarku.
"WINDAAA! SAMPAH LO BAWAAA!"
Temanku itu kembali masuk, bibirnya masih manyun. Dengan malas diambilnya sampah-sampah bekas makanan ringan miliknya, dia menatapku kesal, kubalas saja dia dengan memamerkan gigiku, dan berpose seperti cat women.
(Comic art by: Logan Miller|http://loganmillerart.blogspot.com)
Setelah Winda keluar, aku mengganti bajuku kembali dengan daster. Lalu bersiap untuk tidur.
Sebuah notifikasi dari WhatsApp terpampang di layar ponselku, Bayan mengirimkan pesan rupanya. Aku hanya membacanya melalui pop-up, tidak membukanya karena tidak berniat untuk membalasnya.
Neng, besok aku jemput jam 7. Kita sarapan bubur di belakang perpustakaan.
•••
Pukul 6.45 aku menunggu Bayan di teras, Winda sudah pergi lima belas menit lalu. Sebelum pergi dia misuh-misuh, katanya enak banget aku bisa sarapan bareng Bayan. Dasar pasangan LDR, bisanya ngiri sama orang, padahal Winda sendiri lebih bucin.
Miselia keluar dari pintu, cewek itu menyapaku. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Dia sudah menggenggam ujung pagar, namun tak kunjung dibukanya. Malahan cewek itu berbalik, kembali menghampiriku.
"Kamu sekelas sama Kak Bayan?" Dia bertanya to the point, hingga aku sedikit terperangah. Tidak menduga pertanyaan itu akan terlontar darinya.
"He-em, iya."
"Hng … di kelas, Kak Bayan gimana? Maksud aku, dia pinter gak?"
"Gak tau lah, baru juga kuliah sehari. Kamu, kan, adik kelasnya, harusnya lebih tau, dong?" Entah kenapa, pertanyaan cewek ini mengundang emosiku.
"Iya juga, ya." Dia terkekeh-kekeh. "Kamu … lagi deket sama Kak Bayan?"
"Kok lo kepo, sih?" ucapku sinis.
"Eh, maaf," jawabnya menahan malu. "Ya udah, umm … salamin, ya, ke Kak Bayan. Aku pergi dulu, daaah!"
Setelah aku mengiyakan, Miselia berlalu untuk berangkat, sepertinya hendak ke kampus. Jangan harap salamnya sampai kepada Bayan!
Pukul tujuh tepat Bayan datang, tanpa ba-bi-bu aku lantas menghampirinya. Motor yang dikendarainya langsung melesat ketika aku sudah nyaman di boncengan, Bayan membawaku ke sebuah warung bubur dekat gelanggang olahraga—fasilitas kampus. Kami berdua sarapan bersama, masing-masing dengan satu porsi bubur paket komplit.
Lagi-lagi, Bayan membawaku ke tempat makan yang lebih dari sekadar lezat. Sial. Harusnya aku mengambil jurusan jasa boga, supaya bisa sekalian meneliti apa saja yang terkandung dalam makanan-makanan enak ini.
"Minggu depan ikut camping kan, kamu?" tanya Bayan setelah menghabiskan semangkuk bubur, kini cowok itu sedang menyantap sate telur puyuh.
"Camping apa dah? HMK, ya?"
"He-em, HMK. Kamu bakal ikut HMK, kan?"
"Ogah. Males!"
"Gak boleh gitu ai kamu."
Sejak kapan seorang Zafrina mau aktif di organisasi seperti itu? Dari zaman SMP sampai SMA, bahkan aku alergi dengan kegiatan ekstrakurikuler atau organisasi lainnya. Lah si Bayan malah mengajakku ikut organisasi—HMK (Himpunan Mahasiswa Komunikasi).
"Kamu udah aku daftarin bakal ikut camping, berarti fiks kamu téh calon anggota HMK."
BANGSAAATT!
Umpatan itu nyaris kuucapkan, namun sialnya aku tersedak. Bubur dengan sambal pedas masuk ke tenggorokanku tanpa izin, membuat hidungku perih panas.
Melihatku kesulitan bernafas, Bayan menepuk-nepuk punggungku dan menyodorkan segelas teh tawar hangat. Beberapa detik setelah aku rasa membaik, kontan kutatap Bayan dengan nyalang.
"SURUH SIAPA LO DAFTARIN GUE, NANGKAAAA!!"
Bayan tertawa-tawa. "Si kamu mah ih, jangan teriak atuh malu."
"Ya lo abisnya sembarangan banget jadi makhluk! Lo, kan, punya mulut, bisa nanya dulu ke gue. Lo juga punya jari buat ngetik di hape, gak ada alesan lo asal daftarin gue ikut kegiatan gituan, ih! Sebel!"
Sambil berusaha meredakan tawanya, Bayan menjelaskan, "Gini, Neng. Itu téh kan acaranya seru, makanya aku daftarin kamu sekalian. Lagian, kalo kamu gak ikut organisasi, kamu mau jadi kupu-kupu aja gitu?"
"Biarin sih! Kuliah-pulang, kuliah-pulang, gak bakal dosa, kok!"
"Sekali aja, kamu ikut. Sok, kamu bebas hukum aku kalo acaranya gak seru."
"Nyi nyi nyi!" Aku mengejek dirinya, lalu kembali menghabiskan bubur yang tersisa sekitar tiga sendok lagi. Sedangkan Bayan, dia malah tertawa pelan.
Receh banget makhluk Tuhan yang satu ini.
Sehabis sarapan bubur, aku dan Bayan berjalan kaki dari perpustakaan menuju Fakultas. Selama berjalan, cowok itu melontarkan jokes garing nan receh. Aku tertawa sampai lupa akan rasa malu.
Salah satu jokes-nya begini, "Apa yang lebih lucu dari dua puluh empat?" Aku diam berpikir mencari letak kelucuan dari dua puluh empat, kemudian Bayan kembali berkata, "Dua puluh lima." Dia tertawa, aku juga jadi tertawa. Semakin aku mencari titik lucu dari dua puluh empat dan dua puluh lima, aku semakin terpingkal.
Setelah itu dia mengaku kalau mengutip jokes tersebut dari Patrick dalam tayangan Spongebob, aku tak tahu episode yang mana yang melontarkan jokes tersebut. Sudah lama juga tidak menonton kartun Spongebob.
Karena asyik mengobrol, kami tak sadar kalau kami sudah tiba di lantai lima. Lantai dimana letak kelas kami berada. Akhirnya, kami berdua fokus menyusuri koridor karena belum terlalu hapal dimana letak kelas kami. Kebijakan fakultasku ini adalah, beda mata kuliah beda ruang kelas juga. Jadi kami bingung mencari ruang kelas yang diberi kode tertentu, sesuai mata kuliahnya.
Akhirnya tibalah kami di depan ruang kelas yang berkode 550, sesuai dengan tiga digit pertama kode mata kuliah. Baru aku hendak masuk kelas, suara bass milik lelaki memanggil namaku.
"JAPI!"
Hanya orang yang sudah mengenalku lama yang memanggilku Japi. Pasti Musa.
Benar saja, cowok itu berlari ke arahku sambil menenteng jas almamater.
"Japi," sapanya lagi setelah posisi kami terhalang jarang setengah meter.
"Napa?"
"Lo baru dateng? Gue … pengen ngomong, boleh?"
"Lo manggil gue aja udah ngomong, Mus."
Musa menggaruk tengkuknya, aku melirik Bayan yang memasang tampang tak suka. Haduh, jangan sampai dia self harm lagi.
"Umm … berdua maksudnya, gak apa-apa kan?" kata Musa. Aku tak menjawab, hanya melirik Bayan. Cowok itu menghela nafas lalu berlalu, masuk ke dalam kelas meninggalkanku tanpa sepatah kata pun.
"Jap," panggil Musa lagi, aku yang tengah memerhatikan Bayan lantas menoleh. Bayan memandang tajam ke arahku dan Musa, dan aku merasa seperti sedang berdiri di ujung ngarai sambil ditodong pedang dari belakang.
"Lo kenapa, sih? Mau nyamperin pacar lo lagi?" Musa mengguncang pundakku, mungkin karena aku masih mencuri pandang ke arah Bayan sehingga tidak jelas memerhatikannya yang mulai berbicara.
"Pacar? Siapa? Bayan?"
"Iyalah, gak mungkin gue yang jadi pacar lo, kan?"
"Nggak. Gue gak jadian sama Bayan."
"Hoax banget. Keliatan lo lengket banget sama itu cowok, lo kalo mau boong pinter dikit, dong. Eh, atau jangan-jangan lo kejebak friendzone?"
Sialan si Musa, segala membahas status lagi. Aku saja baru mengenal Bayan sekitar seminggu, masa iya kami sudah pacaran. Gila.
"Ngaco lo, Mus. Udah deh, lo mau ngomong apa, sih?"
"Gue suka sama—"
BUGH!
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top