deep feeling
Bugh! Bugh! Bugh!
Buah palem yang kelewat matang berjatuhan, nyaris menimpa kepalaku. Pohonnya bergoyang dihajar Bayan, aku terkejut hingga tak tahu harus melakukan apa.
"KENAPA GAK SEKALIAN AJA LO HAJAR GUE?!" pekikku sambil menahan tangis, mendadak sekujur tubuhku tremor. Aku pun terduduk diatas rerumputan yang bercampur dengan daun kering.
Napasku memburu. "Harusnya gue yang tanya lo kenapa ...," lirihku.
Sekali lagi Bayan melampiaskan emosinya pada pohon palem yang tinggi dan rindang, beberapa buah palem berjatuhan lagi di sekitarku, beberapa bahkan ada yang menimpaku.
"Aku cuma gak suka liat kamu sama Musa!" katanya penuh penekanan.
Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan rasa tak percaya. Kemana Bayan yang senantiasa bertutur kata lembut?
"Gue gak ngerti sama lo. Musa, dia temen gue. Dia kesusahan. Ya kali gue diem aja liat dia berdarah-darah?!" jawabku tak kalah sengit. "Kalo lo masalahin soal gue minta tolong Musa pas turun dari truk, ya gue kesel sama lo, Bayan! Lo lupa semalem bikin gue nunggu gak jelas, dan taunya lo malah jalan sama Misel? Lo kira gue gak kesel?!"
Mendengar ucapanku Bayan mendadak geming, wajahnya berubah datar, namun tatapannya sangat menusuk. Bagai elang yang tidak ingin melewatkan mangsanya.
Bayan merogoh saku celananya, mengeluarkan pisau lipat. Dibukanya pisau itu, dan diletakkan kembali dalam genggamannya.
"Gue tahu, Yan, hubungan kita udah deket banget. Gue ngerti, wajar lo cemburu. Tapi sumpah, Musa temen gue. Dia cuma temen gue, bahkan sekarang hubungan gue sama dia jauh. Gue lebih deket sama lo, Yan," jelasku parau.
Kurasakan air mataku mulai berkumpul di pelupuk mata, segera aku menengadah ke atas supaya tidak ada air mata yang tumpah. Lemah sekali kalau aku menangis.
Bayan masih geming, kali ini ia mengeraskan rahangnya sampai wajahnya memerah.
"Gini deh, lo kesel kan liat gue sama Musa? Sekarang gue balikin. Lo posisiin aja jadi gue, gimana rasanya nungguin semaleman dan lo malah jalan sama cewek. Wajar gue marah dan ngehindar dari lo buat sebentar, daripada kita deket begini tapi ribut, kan?"
Setelah mengatakan itu, aku kembali mengumpulkan kayu bakar yang tadi kuletakkan di atas tanah. Saat aku mengambil ranting yang berada di samping kaki Bayan, sebuah cairan merah menetes tepat di punggung tanganku. Bahkan ketika aku melihat ranting yang kuambil, cairan merah itu membasahi sebagiannya, juga rumput yang berada disekitarnya terkena bercak merah.
Saat kuangkat kepala, tangan Bayan sudah penuh akan darah. Pisau lipat yang tadi dikeluarkannya bukan untuk disimpan kembali, namun mata pisaunya digenggam erat sampai melukai dirinya sendiri.
Refleks aku memukul tangan kanannya, yang telapak tangannya sudah dipenuhi darah akibat genggamannya pada pisau lipat tersebut. Sesaat setelah aku memukul tangan Bayan, ia melepaskan pisau lipatnya. Diangkatnya telapak tangannya ke udara, jemarinya bergetar ketika Bayan melihat tangannya sendiri.
"DASAR GILA!" teriakku dengan air mata yang tidak tertahankan lagi.
•••
Untungnya tadi Bayan segera mendapatkan perawatan pertama. Ketika aku sadar Bayan melukai dirinya sendiri lagi, aku lantas menyeret cowok itu ke tenda pertolongan pertama. Tangisanku menjadi pengiringnya, kemudian aku segera mencari si Bulet alias Fauzan untuk memberitahu keadaan Bayan. Setelah itu, aku tidak mau menunggunya di tenda pertolongan pertama dan lebih memilih bergabung bersama anggota kelompokku. Jujur saja aku takut dan merasa bersalah.
Bayan melewatkan beberapa kegiatan karena luka yang dialaminya. Aku tahu luka itu parah dan cukup dalam, pasti panitia agak kesulitan menanganinya.
Aku benar-benar kehilangan mood, padahal kegiatan yang dilakukan cukup seru. Para lelaki mendirikan tenda dan yang perempuan memasak, kegiatan tersebut menjadi ajang ketangkasan dan unjuk kemampuan. Bagi tim lelaki yang paling cepat mendirikan tenda, maka akan mendapat reward berupa pelepasan satu pin kesalahan ringan. Juga bagi tim perempuan yang masakannya enak akan mendapatkan reward yang sama.
Menyenangkan sebetulnya, namun aku melakukan kegiatan tersebut dengan semangat yang lembek.
Kelompokku memenangkan adu ketangkasan memasang tenda, dan mereka—para lelaki berhak mendapatkan reward yang telah dijanjikan. Sedangkan masakan terenak diraih oleh kelompok Rahma.
Kami diberi waktu untuk istirahat-salat-makan alias isama, dan kesempatan ini kugunakan untuk menikmati waktu sendiri.
Duduklah aku dibawah pohon kenari, agak jauh dari kerumunan namun tetap mudah ditemukan. Sambil menikmati hasil masakanku dengan anggota kelompok—perempuan yang lain.
Seseorang seperti datang dan duduk di sampingku. Kumohon, jangan Bayan atau Musa.
Saat aku menoleh, rupanya Fauzan—si Bulet. Aku mengembuskan napas lega.
"Bayan udah mendingan. Untungnya ada alumni yang bawa dokter, temen lo juga tadi ditangani dokter," ujarnya.
Aku diam tak menjawabnya.
"Lo jangan sendirian, ini hutan, bahaya," katanya lagi. Kemudian cowok itu berdiri, ia mengulurkan tangannya padaku sambil berkata, "Yok, gabung sama yang lain. Sekalian kenalan juga."
Aku menggeleng. "Sorry, tapi gue butuh waktu sendiri."
"Atau gue suruh temen lo kesini aja? Siapa tuh yang pake jilbab, Rahma, ya?"
"Gue repeat. Gue butuh waktu sendiri. Makasih udah peduli."
Fauzan mendengkus, terlihat sekali dia sedikit kesal atas penolakanku. "Oke. Kalo ada apa-apa jangan sungkan panggil gue," katanya. Setelah itu dia berlalu, kembali bergabung dengan yang lainnya.
Sepeninggal Fauzan air mataku meleleh tanpa izin. Aku lelah, sangat lelah. Aku ingin pulang ke rumah, bertemu dengan orang tuaku, juga adikku meskipun tingkat menyebalkannya sudah diatas rata-rata.
Aku benci situasi saat ini. Merasa sepi di tengah keramaian, juga merasa hilang padahal kasat mata.
Aku ingin pulang ….
"ADA YANG BERNAMA ZAFRINA??"
Mendengar lengkingan suara itu aku menghapus air mataku, sebisa mungkin kuhilangkan jejak habis menangis. Dengan bergegas aku menghampiri sumber suara, rupanya salah seorang tim disiplin memanggilku.
Dengan bergetar takut didamprat, aku bertanya padanya kenapa mencariku.
"Sini ikut saya," katanya sambil berlalu begitu saja. Tentu aku mengekorinya, kini semua pasang mata melihat ke arahku. Mungkin mereka mengira aku membuat kesalahan sampai dipanggil oleh tim disiplin, atau mungkin mereka mengira aku terlibat akan kejadian yang dialami dua orang pasien pertolongan pertama.
Kami berhenti di tenda khusus tim mahkamah, anggota tim ini adalah demisioner hima yang bertugas unruk mengawasi kegiatan kemah.
"Betul kamu Zafrina?" tanya salah seorang demisioner.
Aku hanya mengangguk mengiyakan dengan sopan.
"Ini, tadi orang tuamu nelepon. Sebentar, kita hubungin lagi."
Mendengar ucapan itu, mataku berbinar-binar. Akhirnya! Ada kesempatan untukku berkabar dengan orang rumah.
Aku dipinjami ponsel salah satu senior yang terhubung dengan panggilan bersama Mama. Ya, Mama menelepon tim humas yang tugasnya melaporkan setiap kegiatan para maba kepada orangtuanya.
"Kakak udah makan? Pas denger Kakak gak bawa hape, Mama langsung inget hubungin nomer ini aja. Khawatir Mama," ucap Mama.
"Udah, barusan makan. Mama juga jangan lupa makan."
"Makan mulu Mama ditemenin Zafran, nih dia lagi nguping. Oh ya, gimana Musa? Ntar itu anak suruh telepon Mama, sombong banget gitu."
Aku terkekeh. "Iya ntar aku bilangin."
"Ya udah ya, jaga diri baik-baik."
"Iya, Ma."
Lalu aku mengembalikan ponsel tadi pada seniorku, sungguh, mendengar suara Mama aku malah ingin menangis. Aku makin kangen suasana rumah!
Senior itu menyuruhku kembali bergabung dengan yang lainnya setelah panggilan Mama diambil alih, aku menurut saja daripada kena damprat.
Ketika berjalan, aku menunduk. Mencuri waktu untuk menghapus air mata yang tak henti-hentinya meleleh.
🌻🌻🌻
Maaf gak nge-feel ya:")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top