bukan bayan biasa
A/n: litterally aku terharu bgt! Baru kali ini ada yg mengapresiasi karyaku sampai sebegininya. Terimakasih banyak, ya! Emang aku lebay anaknya, but i just thanks a lot for reading and gimme much support 💕
Sehat selalu, yaa❤️
🌻🌻🌻
"HUWAAA GELIII! WIN, GUE GELIIIII!!!"
"Ih Zafi! Lo bikin gue parno tau gak! Perlu gue panggilin ustadz Somad nih buat ruqyah lo?!"
Winda menatapku ngeri, wajar saja sih. Aku juga merasa layak dianggap mengerikan. Entah sudah berapa kali aku bergidik, berteriak seperti itu pada Winda. Aku tidak berani sendirian di kamar indekosku, sekarang saja aku berada di kamarnya Winda.
"Lo kenapa, sih? Cerita gak mau tapi tereak mulu geli lah, jijik lah, pengen mati, pengen amnesia, gak sekalian aja lo pengen menyatukan semua planet jadi satu? Biar bingung tuh manusia sama alien nyariin planetnya."
Aku merengek, "Ih Windaaaaaa! Lo jangan bikin gue nambah gila, deh! Gue lagi puyeng banget niih!"
"Ya, lo kenapa, Japi?! Coba jelasin gue harus gimana biar lu ngerasa better?" ucap Winda sambil berdiri, padahal posisi semulanya rebahan disampingku sambil menghadap laptop. Tangannya disilangkan di dadanya, matanya mencoba melotot supaya terlihat seram. Padahal dimataku dia tetaplah Winda yang penakut.
Aku ikut bangkit dari posisiku, namun hanya duduk bersila diatas kasurnya Winda. "Gak tau gue juga, Win. Pikiran gue lagi nggak sinkron sama apa yang gue rasa, gue juga mikirin apa tapi yang dilakuin apa. Ah gak jelas semuanya! Lo tau gak ini gara-gara siapa?! Gara-gara si Nangka, tuh! Sebel gue!"
Wanda menyipitkan matanya, kemudian dengan gerakan sekilat ia duduk disampingku dan menodongku dengan pertanyaan, "Hayo! Lo ada apa sama si Bayan?"
"Gue juga gak tau, Win. Kalo gue tau, ya ... gak akan lah gue stress begini!"
"Kalo lo aja gak tau, kenapa lo ribetin gue, Japiiiiiii?!" Winda mengembuskan nafasnya. "Dosa apa, sih, gue ngadepin lo yang kesurupan si Bayan gini? Bikin puyeng! Gue telepon aja kali ya orangnya biar kesini, terus selesain urusan lo berdua biar lo kembali waras."
"JANGAN LAH, GILA!" pekikku tak tertahankan.
"YA, TERUS GUE HARUS GIMANA??!! KELAKUAN LO UDAH KAYAK AMOEBA, GAK ADA TENANG TENANGNYA!!"
Sialan si Winda, aku disamakan dengan makhluk macem lendir.
Pintu kamar Winda diketuk, bergegaslah sang empunya kamar membukakan pintu.
Terdengar olehku suara Uni Siti, istri Uda Faisal sang pemilik indekos. Kami ditegur karena terlalu berisik, tadi kami sempat adu teriak sih. Hihihi.
"Iya, Uni, Maaf, ya. Sampaikan juga pada yang lain, maaf sudah mengganggu." Suara Winda yang sangat sopan terdengar olehku, aku sedikit terkikik dibuatnya.
Wajar saja, kami belum terbiasa tinggal di indekos, belum biasa bertetangga hanya terhalang dinding bata.
Sambil menghentakkan kakinya Winda menghampiriku, "Lo sih tereak mulu, gue jadi kepancing, kan. Orang-orang pada protes, noh!"
Aku menyeringai sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah bersamaan mengisyaratkan peace. Winda cuma manyun dan mendaratkan bokongnya diatas ranjang. "Ada masalah apa lagi lo sama si Bayan? Perasaan itu cowok lucu, deh. Kenapa lo benci banget sih kayaknya?"
"Gak anjir, gue nggak benci juga."
"Ya, terus? Lo sayang sama dia?"
"Lama-lama gue tabok, ya, lo, Win!"
"YA, TERUS KENAPAAA?!" Winda nyolot, nyaris berteriak. Bahunya naik turun, nafasnya tersengal seperti orang menahan amarah.
Aku tertawa.
"Jadi gini, Win. Lo belom gue ceritain, kan, gimana ceritanya gue sama si Bayan itu bisa sedeket sekarang? Nih dengerin ya."
Dan mengalirlah dari lisanku tentang bagaimana pertemuan aku dan Bayan, dari mulai bertemu di auditorium fakultas saat pertama kali sebagai momen silaturahmi, sampai kejadian dimana Bayan memelukku ketika ospek tadi siang.
"Gue murahan gak sih kalau baper sama dia? Maksudnya, ya dia baru kenal maen peluk aja gitu gak ada adab banget, gue juga gak nolak sama sekali," keluhku pada Winda yang senantiasa mendengarkan ceritaku tanpa menyela.
"Fiks, sih, dia naksir lo," vonis Winda cepat. "Wajar aja lo kayak gitu, Za, siapapun bakal baper kalo diperhatiin sampe segitunya. Terus, ya, menurut gue, si Bayan meluk lo tuh bukan karena genit, tapi kayak ada sesuatu yang pingin dia sampein."
"Maksud lo?"
"Dari cerita lo, Bayan ngos-ngosan gitu kan pas meluk lo? Dia juga minta izin sebentar aja buat meluk lo. Bisa jadi dia ngerasain sesuatu yang gak bisa dia utarakan."
Aku tercengang, namun sebisa mungkin hanya menunjukkan raut tenang. Aku masih belum bisa menerima kenyataan kalau aku baper pada cowok yang mirip Kabayan.
"Gila, Win. Harusnya lo ambil jurusan psikologi, bukan tata busana." Aku bertepuk tangan pelan.
"Nyebelin lo!"
Dengan cepat Winda meraih guling dan memukulku bertubi, pukulannya tak berarti, namun terlihat jelas dia menyalurkan kekesalannya pada setiap pukulan. Aku hanya tertawa-tawa.
Dalam hati aku berpikir, apa maksud Bayan melakukan ini semua kepadaku? Dan apa yang sebetulnya Bayan rasakan sampai-sampai nekat memelukku yang baru dikenalnya?
Ponselku berdering, nada panggilan masuk berbunyi nyaring. Winda melempar pelan ponselku dengan ekspresi meledek tentunya. "Baru tadi diomongin, udah nelepon aja. Angkat gih, siapa tau mau ngajak nge-date."
Segera aku meraih ponselku, lalu bangkit dari posisi duduk. "Berisik lo, pasangan LDR!" ujarku pada Winda, kemudian segera aku melesat masuk ke kamar untuk mengangkat panggilan dari Bayan.
"Napa lo?" ujarku tanpa basa-basi.
"Hng ... aku ada di depan, kamu bisa keluar dulu? Sebentar kok sebentar."
"Hm. Tunggu."
•••
Indekos tempatku tinggal mempunyai teras dengan dua buah kursi serta satu meja kopi. Dan di sinilah kami berada, aku duduk di kursi sebelah kanan sedangkan Bayan duduk di sebelah kiri, kami dipisahkan oleh meja kopi. Di samping Bayan ada si Bulet—temannya tengah berdiri sambil menyilang tangannya.
"Hng ... aku ...," ucap Bayan tersendat.
"Udah tiga kali lo ngomong kayak gitu, napa sih? Macet amat omongannya?"
"Cepetan, bege!" si Bulet menepuk pundak Bayan, wajahnya menahan tawa.
Bayan berdecak, "Manéh¹ kesana dulu, cik²! Di sini juga cuma jadi nyamuk."
"Lo yang minta ditemenin, lo yang ngusir!" Si Bulet berlalu setelah menoyor kepala Bayan. Aku jadi penasaran, sebetulnya kedatangan mereka ini berarti apa?
Beberapa detik sepeninggal si Bulet, Bayan masih belum bicara, pupil matanya bergerak kesana kemari seperti orang kebingungan, kaki kanannya memijak-mijak lantai. Jelas sekali dirinya sedang gugup sekarang.
"Bayan," panggilku. Yang dipanggil lantas menoleh tanpa suara. "Ada apa?"
Cowok dihadapanku ini membuang nafasnya, "Sebenernya téh aku bingung harus mulai dari mana."
"Ck! Dimana-mana mulai tuh dari awal, gak ada mulai dari akhir atau dari tengah. Gitu doang bingung."
"Iya juga, sih." Bayan bergumam. "Eh, tapi, bukan mulai gitu maksud aku. Maksudnya téh bingung, aku mau mulai pembicaraan dari mana"
Gantian, kini aku yang membuang nafas karena malas menanggapi. "Mulai aja dari latar belakang, terus ke rumusan masalah, abis itu tujuan dan manfaat. Baru ke pembahasan."
"Pake kata pengantar gak? Terus kalau begitu, pake daftar isi?"
Tatapan sinis aku hujamkan pada sosok dihadapanku yang kini memasang tampang polos. "Serah lo dah. Kalo gak penting penting amat mending gue balik lagi ke kamar."
Seperti yang kuduga, Bayan menahan tanganku ketika aku beranjak pergi. Tentunya adegan ini sengaja aku lakukan karena terinspirasi dari drama yang sering kutonton.
"Sebentar ih, Neng," katanya. Aku pun kembali duduk, dan memutar bola mata jengah.
"Sebenernya aku téh kesini mau ... hmm ... mau ...."
"Mau apa? Mau minta makan? Minta sumbangan?"
"Tuh ih kamu mah mancing aku buat hereuy waé³, ntar aku bercandain ngambek lagi."
"Ya, terus lo mau apa, bambank?!" Akhirnya aku menaikkan nada bicaraku, salahkan Bayan yang bertele-tele!
Bayan menarik napasnya. "Aku minta maaf tadi siang sembarangan peluk kamu," katanya dengan cepat.
Waw.
Hanya satu kata itu yang terlintas di benakku.
"Aku ngaku salah, harusnya téh aku nggak gitu. Aku gak ada maksud melecehkan. Tapi téh da gimana, ya, aduh," tuturnya sambil sedikit menunduk.
"Aduh kenapa?"
"Hng ... itu, Neng. Ah, nanti aja aku ceritain."
Aku hanya memutar bola mataku, jengah. Sebetulnya aku ingin tahu apa yang Bayan sembunyikan, hanya saja aku tidak pandai membujuk orang untuk bercerita. "Udah? Lo cuma ngomong gitu doang?"
Tampak Bayan berpikir sejenak. "He-em kayaknya. Segitu aja."
Selama beberapa detik hening menyelimuti kami, karena aku merasa cringey untuk berkata telah memaafkan Bayan, jadi ya aku hanya diam saja.
"Ya udah atuh, ya. Kan, tadi aku janjinya sebentar. Sekarang mau pulang aja." Bayan berdiri sambil mengatakannya. Aku sendiri masih diam di tempat.
"Ya udah balik."
Ketika Bayan melangkah, aku bangkit dari dudukku. Niat hati untuk mengantarnya sampai pagar, dan ketika Bayan sudah berada di luar pagar aku masih mematung menatapnya yang juga terdiam di hadapanku.
"Aku pulang dulu, kamu geura istirahat," ujarnya.
"Iya."
"Besok gak harus ke kampus."
"Iya."
"Iya doang?"
Aku berdecak, "Lain kali gue bilang iya sambil nampol lo, mau?"
Bayan justru terkekeh, sepertinya dia hobi membuatku emosi. "Dadah, Neng, mimpiin aku ya."
"Najis!"
Dia tertawa, kemudian berbalik hendak kembali pulang.
Entah kenapa hatiku tergerak untuk memanggilnya. "Bayan."
Dia menoleh sambil tersenyum.
"Kalo ada sesuatu yang pengen diceritain, gak usah sungkan. Gue emang belum tentu bisa ngasih solusi, tapi katanya, didengarkan bisa bikin lo lebih baik," ucapku.
Bayan tersenyum lebar, dan menjawab, "Oke siap, Neng!" sambil mengacungkan jempolnya.
Lagi-lagi reaksiku hanya memutar bola mata, jengah. Lalu segera aku menutup pagar dan kembali ke kamarku.
🌵🌵🌵
¹manéh = kamu (kasar)
²cik = gih
³hereuy waé = bercanda mulu
Cmiiw'-'
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top