17. Sleep Walking
"Gue masuk ke kamar lo pasti secara nggak sadar."
•••
Dengan gerakan mindik-mindik seperti maling yang takut tertangkap dan diamuk massa, Bintang berjalan sambil sesekali kepalanya menengok ke kanan, kiri, depan, belakang di sepanjang koridor menuju belakang sekolah, sampai akhirnya ia berhasil tiba di tempat di mana ia membuat janji dengan Kejora tadi pagi.
Bintang bernapas lega, karena akhirnya ia bisa tiba di tempat ini tanpa ketahuan oleh Oskar yang seperti biasa terus saja membuntutinya ke mana pun di sekolah, terkecuali ke ruang musik. Di saat Bintang hendak ingin bermain piano. Namun seketika Bintang malah berbalik menyesal, ketika ia tersadar bahwa ternyata gadis bawel nan aneh itu saat ini malah belum terlihat batang hidungnya sama sekali.
Sejenak Bintang mengecek arloji hitam yang melingkari pergelangannya. "Bel istirahat udah lewat dari sepuluh menit yang lalu, juga! Masih aja belom dateng. Ke mana, sih, tuh, anak!" racau Bintang dengan kerisauannya. Terlihat dari kaki yang terus bergerak-gerak cepat sampai kalau dipegang pasti terasa seperti getaran, meski saat ini posisinya sedang duduk di salah satu bangku besi panjang yang tersedia di sana.
Drap drap drap!
Kejora berhenti berlari tepat di hadapan Bintang pada posisi membungkuk sempurna dengan kedua tangan yang bertopang di atas lutut, setelah akhirnya ia berhasil kabur diam-diam dari Naomi yang terus saja memaksa mengajaknya ke kantin. Walaupun ia sudah berkali-kali mengatakan tidak mau.
"Lo ke mana aja, sih? Kok, malah jadi gue yang nunggu?!" sewot Bintang, tidak terima diperlakukan seperti itu.
"Maaf-maaf," sahut Kejora di sela-sela napasnya yang memburu bagai angin laut. "tadi temen gue maksa banget soalnya ngajak gue ke kantin. Jadi gue harus pura-pura 'iya' dulu. Pas dia lengah, baru gue kabur." Sejenak Kejora mengatur napas lagi. "Emangnya lo mau bicarain apa, sih? Kenapa juga gue nggak boleh sama temen gue? Udah tau temen gue keponya nggak tertandingi."
"Gue nggak mau ada basa-basi. Sekarang gue cuma minta, lo ngaku sama gue. Mau apa lo semalem ke kamar gue? Pasti ada niatan busuk, kan, lo sama gue?" tuduh Bintang yang pikiran negatifnya tidak pernah habis stok untuk Kejora, dengan menunjuk-nunjuk Kejora seenaknya.
Sungguh kali ini Kejora nampak bingung. Hal itu terlukis jelas di raut wajahnya. "Dari tadi sarapan lo ngomongin semalem-semalem mulu, emang semalem gue ngapain, sih? Kayaknya selesai nonton sama nyokap lo gue langsung tidur, deh."
Melihat Kejora yang belagak bingung dan malah balik bertanya, seketika Bintang berdecak, seraya mengambil posisi berdiri dengan sebelah tangan masuk ke dalam saku celana seragamnya. "Eh, lo nggak denger gue tadi bilang apa? Gue nggak mau ada basa-basi. Lo nggak usah ngelak lagi. Jelas gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri, tengah malem lo ada di kamar gue!"
"Ngapain gue di kamar lo?" tanya Kejora balik sembari menggaruk kepalanya, bingung.
"Mana gue tau! Lo nanya gue?" sarkas Bintang, muak.
Jujur, Kejora bukan belagak bodoh, tapi ia memang sungguh-sungguh tidak tahu apa yang telah dilakukannya semalam, selain menonton televisi bersama Naina, dan...
Memikirkan Bintang sebelum tidur?
Seketika bola mata Kejora terangkat menatap Bintang yang lebih tinggi darinya.
"Kenapa lo liatin gue begitu?" bingung Bintang, tidak kalah dengan kebingungan yang dirasakan Kejora sebelumnya.
"Gue masuk ke kamar lo pasti secara nggak sadar."
"Hah?" Bintang terpelongo.
"Lo tau sleep walking, kan?" tanya Kejora.
"Terus?"
"Ya, gue ke kamar lo semalem bukan karena kemauan gue. Tapi karena gue mengalami sleep walking. Gue emang suka begitu kalau ada sesuatu yang benar-benar gue pikirin sebelum tidur. Kalau nggak ngigau, ya sleep walking," cerita Kejora, ragu-ragu. Bukan ragu, tapi lebih tepatnya malu! Karena ia tahu, sleep walking sebetulnya adalah suatu kebiasaan buruk. "Jadi mulai sekarang, kalau lo ngeliat gue kayak gitu lagi, jalan-jalan atau ngomong nggak jelas tengah malem, jangan heran, ya?"
Tanpa menceritakan hal apa yang ia pikirkan semalam sebelum tertidur, Kejora mau tak mau, suka tak suka, akhirnya menjelaskan pada Bintang, mengenai dirinya yang memang sering mengigau dan berjalan sembari tidur, tiap kali sebelum tidur ia memikirkan sesuatu terlebih dahulu.
Bintang berpikir sesaat. "Kalau gitu berarti semalem itu lo mikirin gue dong sebelum tidur?"
Dalam sedetik Kejora melotot. "Nggaklah!" elaknya, mantap.
"Terus?"
"Gue..." Sembari menggantung kalimat, Kejora memutar otaknya. "Gue mikirin surat perjanjian kita yang sama sekali nggak adil buat gue, tau nggak! Pake segala ditanya lagi!" sentak Kejora, berpura-pura kesal.
"Tapi gimana pun juga, perjanjian tetaplah perjanjian. Hal yang harus ditepati. Karena lo udah melanggar aturan yang udah kita sepakati bersama, jadi gue berhak untuk memberi lo hukuman!" tandas Bintang, sangar. Jauh berbanding terbalik dibanding perlakuannya terhadap Rasi. Yang kontan saja membuat Kejora ternganga; tidak percaya akan apa yang terdengar ditelinganya dari mulut Bintang.
⛈
Sepulang kerja tepatnya setelah tiba di rumah, Maya duduk sejenak di sofa cuma untuk sekedar merehatkan diri. Hari ini Maya merasa tidak hanya tubuhnya saja yang kelelahan. Tetapi otak dan pikirannya juga. Rutinitasnya yang harus bekerja tiap pagi sampai malam menjelang, ditambah kelakuan suaminya yang tidak pernah mau mengerti dirinya, ditambah lagi putri bungsunya yang tiba-tiba tidak ingin berbicara padanya tanpa sebab yang ia tahu, semuanya benar-benar membuat kepala Maya terasa sakit.
Bahkan seharian ini otak Maya terasa seolah-olah tidak bisa berhenti berputar untuk tidak memikirkan itu semua, demi mendapatkan jalan keluarnya.
"Rasi, ada apa sama kamu, Nak?" gumam Maya, cemas.
Kalau bertengkar dengan suaminya mungkin Maya sudah terbiasa. Tetapi tidak untuk bertengkar dengan anak perempuan satu-satunya itu.
Dengan mata tertutup, Maya memijat keningnya yang berdenyut hebat. Sampai ketika tiba-tiba terdengar suara pintu masuk rumahnya terbuka, secara otomatis mata Maya terbuka. Bola matanya berputar ke arah sumber suara.
"Rasi, anak Mama, kamu pasti baru pulang les, ya?" tegur Maya seraya mengurai senyum. "Pasti lelah kan? Sini duduk dulu sama Mama." Maya menepuk celah kosong di sebelahnya.
Rasi berhenti sebentar, melirik sekilas, lalu kembali melanjutkan langkahnya, tanpa minat untuk menggubris ataupun membalas senyuman tulus di wajah lelah mamanya saat itu.
"Rasi, tunggu, Rasi." Maya segera mengejar. Namun Rasi malah semakin mempercepat langkahnya menuju kamar.
Brak!
Rasi menutup pintu kamarnya dengan sekali gebrak, yang tak lama disusul dengan suara kunci berputar.
Maya mencoba untuk mengetuk. "Rasi, buka pintunya, sayang. Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini ke Mama dan Papa, Nak? Ada apa sama kamu, sayang?" Dengan kesabaran yang melimpah ruah, Maya berupaya keras mengatur emosinya dalam menghadapi Rasi.
"Rasi," panggil Maya lagi, sambil terus mengetuk. "Kalau memang ada sesuatu, kita bisa bicarakan baik-baik, sayang. Jangan diamkan Mama seperti ini, Nak."
"Nggak ada yang perlu dibicarain. Pokoknya Rasi benci Mama sama Papa!" jerit Rasi, penuh amarahnya.
Bukan, Rasi bukan marah pada kenyataan. Tetapi Rasi marah pada dirinya yang selalu gagal meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Rasi sudah tidak bahagia ketika tiba-tiba Biru menghilang tanpa kabar untuk yang ke sekian kalinya. Namun ternyata ia lebih tidak bahagia lagi ketika kedua orangtuanya hanya terus memikirkan perasaan mereka masing-masing, memikirkan ego masing-masing, tanpa pernah memedulikan perasaannya.
Di balik pintu, Rasi berdiri menempelkan punggungnya. Dadanya yang terasa sesak dan semakin sesak membuatnya sungguh tidak bisa lagi untuk menahan tangis lama-lama. Sehingga tak lama kemudian tetes demi tetes air matanya lolos berjatuhan menapaki jejak di kedua sisi pipinya. Ada satu pertanyaan dalam benak Rasi yang tidak pernah ia tahu jawabannya.
Kapan semua ini berakhir?
===
Tbc...
HIDUP GAK MELULU SOAL CINTA. RASI BINTANG KEJORA DAN BIRU PUN PUNYA MASALAH MASING2 YG LEBIH RUMIT DARI SEKEDAR JATUH CINTA. LEBIH SAKIT DARI SEKEDAR MENCINTAI TANPA DICINTAI.
AYO KITA KASIH GAS BUAT ORANG2 GALAU, BIAR MAKIN GALAWWW:V
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top