Tragedi Resepsi Hana

“Apa, Sayang? Mau minum, iya? Sini minum sama Mama.”

“Uluh, cantiknya anak Mama kalo lagi senyum. Sini Mama cium dulu.”

Nisa tersenyum memperhatikan interaksi Dhila dan Keysha dari kejauhan. Dhila yang tak puas menciumi wajah cantik putrinya, dan Keysha yang sibuk menggeliat geli karena ulah sang mama. Dahulu, siapa yang menyangka jika Dhila akan menjadi sosok seperti yang saat ini ada di depan sana? Dhila si cuek yang tak peduli pada keadaan sekitar, Dhila yang mencintai berbagai hal ekstrim, Dhila yang tak banyak bicara seperti Hana, Niswa, Hilya apalagi dirinya. Namun kini, perempuan yang dulu hampir sampai di fase gadis tomboy itu menjadi perempuan berhati selembut sutra. Ia telah bertransformasi menjadi seorang ibu muda yang keuletannya bahkan mengalahkan Nisa. Bukan lagi Dhila yang serampangan, bukan lagi Dhila yang teledor, bukan lagi Dhila yang merasa bodo amat dengan banyak hal. Dhila menjadi istri yang jika dipamerkan pada dunia, maka seluruh lelaki jelas ingin memilikinya.

Nisa masih tersenyum. Hilya dan Dhila telah membuktikan padanya bahwa menjadi zaujah muthi’ah, istri yang taat itu begitu menyenangkan. Nisa terlalu bangga pada Hilya dan Dhila. Hafid dan Rafa jelas tak salah pilih.

Dan detik ini, contoh istri taat akan Nisa dapatkan lagi dari salah satu sahabatnya. Hana sedang tersenyum bahagia di panggung pengantin, sibuk menyalami beberapa tamu undangan. Iya! Hana Farihanya menikah. Hana menikah dengan lelaki tampan yang memang telah mengisi hati perempuan itu sejak bertahun-tahun yang lalu. Hana dipertemukan kembali dengan cinta pertamanya di masa putih abu-abu. Dan, tak perlu waktu lama untuk memainkan drama romansa bagi mereka berdua. Hana dan Yaqub masih saling cinta, akad nikah pagi tadi buktinya.

Mmah Cha, Mmu ana?” Nisa mengalihkan tatapannya dari Dhila. Ia beralih memandang seorang bocah tampan yang kini sedang berada di pangkuannya.

“Ummu lagi ke toilet sebentar. Haikal sama Ammah dulu ya.” Nisa memasang senyum terbaiknya di hadapan bocah itu.

Bang Ibi, ana?” Lagi-lagi bocah itu bersuara. Nisa tersenyum, Haikal senang sekali berceloteh, menanyakan banyak hal. Sangat Hilya sekali. Berbanding terbalik dengan Habibi yang pendiam seperti dosen favoritnya.

“Bang Ibi kan ikut Abu. Tadi Ikal diajak ikut Abu gak mau kan?”

Pi, cekalang Ikal au itut Abu.” Haikal memasang wajah polos.

“Ammah gak tau Abunya Ikal dimana. Gimana dong?” Nisa menggeleng pelan.

Ikal au itut Abu, Mmah. Cekalang!” Haikal mencebikkan bibirnya.

“Duh, kan Ammah gak tau Abunya Ikal dimana.” Nisa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kenapa bocah-bocah kecil senang sekali merengek?

Ikal au itut Abu.” Dan tangis Haikal pecah, membuat Nisa kelimpungan.

“Duh, cup cup. Jangan nangis, iya kita cari Abu ya, Abu dimana sih?” Nisa sibuk menenangkan Haikal. Beberapa tamu undangan terlihat menatapnya dengan tatapan kasihan.

Nisa berdiri, menggendong Haikal dengan susah payah. Seragam bridesmaid pesanan Hana benar-benar mempersempit ruang geraknya. Nisa ingin sekali mengumpat, dimana ibu bocah ini? Tertidur di kamar mandi kah? Hana benar-benar adil membagi model seragam bridesmaid untuk keempat sahabatnya. Hilya dan Dhila yang sedang repot dengan bayi diberinya model yang membuat ruang gerak para ibu muda itu nyaman. Sementara pada Nisa dan Niswa, pengantin baru itu memberi mereka berdua model pakaian yang untuk sekedar melangkahkan kaki saja Nisa dan Niswa kesulitan. Bagian terburuknya adalah, justru Nisa yang kini tengah sibuk berrepot-repot ria dengan bayi Hilya beserta seragam tak nyamannya.

“Anaknya nangis gara-gara nyari bapaknya ya, Mbak?” Nisa benar-benar ingin berteriak sebal detik ini juga. Ia sedang kerepotan berjalan dengan menggendong seorang bocah yang masih saja menangis, dan ia disangka telah memiliki anak. Demi apapun, ia sedang kesal detik ini.

“Iya, Mbak. Bapaknya hilang, ibuknya juga. Anaknya nangis ini, bingung saya.” Nisa menjawab ketus.

“Eh, bukan anaknya Mbaknya? Maaf ya, Mbak, saya kira anaknya.” Perempuan yang baru saja menyapa Nisa itu terlihat salah tingkah.

“Ya enggak lah, Mbak. Kali aja saya udah punya anak.” Nisa berlalu setelah sejenak mendengkus sebal. Hilya benar-benar menyebalkan. Dan lagi, dimana pula bapak dari bocah yang kini sedang meraung-raung di gendongannya ini? Mengapa kedua orangtua anak ini sekongkol untuk menghilang?

Nisa menghembuskan nafas lega begitu melihat sosok Hafid di kejauhan. Mantan dosennya itu sedang asik mengobrol dengan seseorang, membuat Nisa semakin sebal.

“Ya Allah, Pak. Malah asik-asikan ngobrol disini. Nih Haikal nangis gak diem-diem nyariin dari tadi. Mana dikira dia anak saya.” Nisa langsung mengomel begitu langkahnya sampai di belakang seseorang yang menjadi lawan bicara Hafid.

“Tazkiya Annisa?” Nisa justru terbelalak begitu lawan bicara Hafid menoleh. Ia melupakan tangisan Haikal di gendongannya, juga mengabaikan Hafid yang sedang mengambil alih Haikal.

“Kak Ilham?” Nisa mengernyitkan dahi. Kenapa lelaki itu ada dimana pun?

“Hilya kemana emangnya, Nis?” Pertanyaan Hafid sukses membuat Nisa memutus rasa penasarannya akan kehadiran Ilham. Ia mengalihkan pandangan ke arah Hafid, menatap sebal pada suami Hilya itu.

“Ke toilet, tapi barangkali ketiduran. Dari tadi gak keluar-keluar. Bapak juga, istri sama anaknya gak dicariin. Kan jadi saya yang repot.” Nisa mendengkus sebal, kesekian kalinya.

“Ya udah, maaf ya saya jadi merepotkan kamu.” Hafid menatap Nisa dengan perasaan bersalah.

“Gak gratis, Pak. Walls dung-dung sekotak, habis resepsinya Hana.” Nisa mengultimatum, membuat Hafid tersenyum kecil kemudian mengangguk.

“Awas kalo lupa, Nisa ogah disuruh jagain Habibi atau Haikal lagi.” Nisa kembali mengultimatum. Ia masih kesal.

“Iya, insya Allah. Yaudah, saya nyari Hilya dulu ya.” Hafid berpamitan sembari terkekeh pelan. Ia menggandeng Habibi dan menggendong Haikal, kemudian berlalu dari hadapan Nisa.

“Sudah marah-marahnya?” Nisa menoleh ke arah sumber suara. Sejenak, ia terkesiap. Ia lupa jika baru saja terkejut atas kehadiran seorang lelaki yang entah mengapa ada dimana-mana.

“Ah iya, Kak Ilham kenapa bisa disini?” Nisa kembali mengernyitkan dahi, sisa-sisa kesalnya masih kentara dengan jelas.

“Duduk dulu, mau?” Ilham menunjuk sebuah kursi kosong yang kemudian dijawab anggukan kepala oleh Nisa.

*****

Dunia begitu sempit. Itulah yang sedang Nisa rasakan saat ini. Bagaimana bisa jika Yaqub –suami Hana- masih memiliki hubungan kerabat dengan Ilham? Ilham orang Yogyakarta dan Yaqub asli Jepara. Mengapa ada saja alasan yang membuat Nisa kembali dipertemukan dengan Ilham?

“Bukan kerabat dekat sih, ibunya Yaqub itu adik beda eyang dari Abah. Aku aja gak sebegitu deket ama dia. Aslinya Abah yang diundang, tapi beliau lagi ada acara lain, jadi aku yang disuruh ngewakilin.” Ilham masih menjelaskan ikatan kekerabatannya dengan Yaqub. Nisa hanya mengangguk-angguk sok paham, tak peduli dengan alur kekeluargaan Ilham. Untuk apa pula ia harus peduli, bukan?

“Oh ya, ngomong-ngomong. Kamu udah keliatan pantes pas gendong anaknya Hilya tadi.” Ilham terkekeh.

“Kak Ilham gak usah ikut-ikutan mbak-mbak yang tadi nyapa Nisa deh. Bikin sebel bawaannya. Enak aja Nisa masih jomblo gini dibilang udah punya anak. Gak sopan banget.” Nisa memajukan bibirnya, sebalnya belum berkurang.

“Kamu kalo lagi kesel nakutin juga ya?” Ilham kembali terkekeh.

“Iya, makanya jangan deket-deket Nisa deh kalo Nisa lagi kesel.” Nisa menyahut ketus. Ilham bukannya takut justru tertawa.

“Terus? Aku harus menjauh gitu kalo kamu pas marah-marah? Ketemu udah jarang, sekali ketemu diketusin lagi. Aku lebih milih balikin mood bagus kamu aja daripada harus menjauh.” Ilham tertawa kecil.

“Emang tau caranya?” Nisa melirik sejenak ke arah Ilham, kemudian kembali memfokuskan pandangan pada meja makanan di resepsi Hana.

“Sekotak walls dung-dung barangkali?” Ilham tersenyum lebar. Nisa seketika membelalakkan mata, ia lupa jika Ilham mendengar permintaannya pada Hafid tadi.

“Jadi, mau mood bagus kamu kembali? Kita cari sekotak walls sekarang?” Ilham kembali bersuara.

“Resepsinya Hana belum selesai, ntar Nisa banyak yang nyariin.” Nisa mengedarkan pandangan, menatap sekelilingnya.

“Balik kumpul ama teman-teman kamu dengan mood buruk? Itu bukan sesuatu yang bagus untuk acara sebahagia sekarang, Nisa.” Ilham memberikan usulan.

“Lagipula, sekotak walls gak bakal bikin kamu meninggalkan resepsinya Hana lebih dari satu jam.” Ilham menambahi.

“Oke, Nisa mau sekotak walls.” Nisa menganggukkan kepala dan berdiri dari duduknya. Ia melangkah mendahului Ilham yang sedang menggeleng gemas dengan tingkahnya.

Ilham mengekori langkah Nisa dengan senyum sumringah. Mereka berdua keluar dari gedung resepsi dengan langkah tergesa, takut tertangkap basah oleh kawan-kawan Nisa jika ia keluar gedung sebelum acara berakhir. Mereka hanya tak tau, sebenarnya yang perlu ditakutkan saat ini bukan kawan-kawan Nisa. Yang perlu mereka takutkan saat ini adalah seseorang yang tengah tersenyum licik sembari memandang puas pada potret di sebuah ponsel. Potret mereka berdua yang tengah berjalan bersama dengan langkah tergesa. Potret mereka berdua yang di kemudian hari menjadi sebab munculnya beberapa takdir baru bagi kehidupan keduanya.

*****
Ada yang rindu Nisa? Rindu Naya aja napaaa.😂😂
Naya sibuk banget, sok sibuk sih. Hehe.
Kuliah udah masuk, wajar buka dunia oren kalo udah bener-bener sempat. Maafkeun.🙏🙏
.
.
Ah ya, udah mau ke konflik ya. Bosen manis-manisan mulu.😂
Jangan lupa, komentar dan bintang.
Jangan lupa juga!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar.😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top