Tentang Rasa

Seorang lelaki terlihat menatap layar ponsel sembari mengeraskan rahang. Di ponselnya, seseorang baru saja mengirimkan sebuah gambar. Potret seorang gadis dengan lelaki muda yang tengah berjalan bersisian dengan senyum lebar. Ia mengenali wajah gadis yang kini tengah ada di layar ponselnya, setengah mati mengenali. Gadis itu, gadis yang namanya telah menetap dihatinya setahun ini. Ia tak peduli dengan lelaki yang tengah tersenyum di samping gadis itu. Siapa pun lelaki itu, ia telah berhasil membuat dadanya bergemuruh hebat oleh sebuah perasaan cemburu.

Ia mengenali gadisnya. Terlalu mengenali. Gadisnya tak pernah terlihat se-sumringah itu. Sesering apapun mereka berdua tertawa bersama, gadisnya tak pernah menampilkan raut se-bahagia itu. Ia lantas menyadari sebuah kenyataan, ikatan pertemanan antara dirinya dengan gadis itu hanya sebuah kedok. Ia hanya terlalu takut mengungkapkan rasa, takut jika hubungannya dengan gadis itu justru merenggang. Ia tak pernah sanggup jika harus berjauhan dengan gadis itu, meski hanya untuk membayangkannya. Maka setahun ini, ia telah cukup puas dengan hubungan pertemanan saja.

Namun, detik ini mendadak ia menyesali keterlambatannya mengungkapkan rasa. Ah, ia teringat sesuatu. Iya! Dia belum terlambat. Gadisnya hanya tengah berjalan berdua dengan senyum sumringah bersama seorang lelaki yang entah siapa. Gadisnya belum memiliki ikatan apapun dengan lelaki itu. Iya! Ia tau ia belum terlambat. Gadisnya harus tau perihal perasaannya. Pertemanan pura-pura mereka perlu segera diakhiri.

*****

Nisa mengedarkan pandangan, meneliti suasana restoran yang terlihat ramai. Ia merasa maklum, ini malam ahad. Banyak sekali pasangan -yang entah itu telah halal atau belum- memenuhi restoran ini.

“Dengan Nona Tazkiya Annisa?” Nisa tersenyum dan mengangguk kepada seorang pelayan wanita yang baru saja menyapanya.

“Tuan Fatih Hamdani memesan meja D15 untuk anda. Mari saya antarkan.” Nisa kembali mengangguk sembari mengikuti langkah pelayan wanita tersebut.

Mereka berdua sampai di sebuah meja bagian ujung restoran, dekat dengan jendela. Sang pelayan wanita segera meninggalkan Nisa usai menyampaikan pesan bahwa pemesan atas nama Fatih Hamdani akan sedikit terlambat datang. Nisa lagi-lagi hanya mengangguk dan tersenyum untuk menjawab kabar dari pelayan restoran itu.

Nisa kembali mengedarkan pandangan. Sebenarnya, ia masih tak benar-benar paham akan ajakan Fatih. Mengapa harus restoran? Bukankah biasanya, mereka telah cukup puas dengan makan bersama di warung ayam geprak dekat madrasah? Dan lagi, kenapa pula Fatih harus menyuruhnya datang terlebih dahulu? Mengapa tak sekalian berangkat bersama saja? Ada apa ini sebenarnya? Mendadak, Nisa merasa aneh dengan semua ini.

“Assalamualaikum, Nisa. Maaf sedikit terlambat. Ada sedikit insiden kecil tadi.” Nisa mendongak, tersenyum sumringah menatap Fatih yang baru saja datang.

“Waalaikumsalam, Mas. Gakpapa, Nisa juga baru dateng kok, belum lama.” Fatih mengangguk, kemudian mengambil posisi di kursi depan Nisa.

“Mas Fatih lagi dapet order lukisan banyak ya? Tumben banget ngajakin Nisa makan di tempat ginian. Biasanya juga ayam geprak level lima.” Nisa terkekeh mencairkan suasana. Entah mengapa, ia merasa Fatih tak seperti biasanya. Lelaki itu terlihat gugup. Ah, kali ini Nisa menggelengkan kepalanya perlahan, mungkin itu hanya perasaannya saja.

“Alhamdulillah.” Fatih menjawab singkat. Ia menangkupkan kedua tangannya di bawah meja, jauh dari jangkauan pandangan Nisa.

Fatih adalah seorang guru yang merangkap sebagai pelukis. Jiwa seni telah mengalir dalam darah lelaki itu. Dahulu, salah satu penyebab dekatnya Nisa dan Fatih adalah karena lelaki itu pelukis. Nisa senang sekali dengan seseorang yang pandai meliuk-liukkan tangan di atas kanvas, macam suami Hilya yang juga dosen favoritnya.

“Permisi, Tuan Fatih. Kami mengantar pesanan anda.” Seorang pelayan restoran muncul sembari membawa beberapa menu yang telah Fatih pesan.

“Iya, silahkan.” Fatih menjawab singkat sembari mengamati sang pelayan yang tengah sibuk memindah beberapa menu dari troley yang ia bawa menuju mejanya.

“Silahkan dinikmati, Tuan, Nona.” Sang pelayan menganggukkan kepala sejenak, kemudian tersenyum.

“Iya, terimakasih.” Fatih menganggukkan kepala sebagai jawaban.

“Mari makan, Nisa. Suka menunya, kan?” Fatih mempersilahkan Nisa. Gadis itu terlihat mengedarkan pandangan di meja, memindai berbagai menu yang tersaji.

“Iya, Nisa suka semuanya.” Nisa tersenyum sumringah. Senyum yang kemudian menular di wajah Fatih.
Fatih tak perlu bertanya apa pun mengenai Nisa. Ia telah hafal seluruh kebiasaan gadis itu. Apa yang Nisa sukai dan benci, apa yang tengah Nisa inginkan, apa yang tengah Nisa butuhkan, dan segala sesuatu tentang Nisa. Setahun berkawan membuat ia paham banyak hal. Hanya satu yang tak ia pahami tentang Nisa, perasaaan gadis itu.

Beberapa menit, mereka berdua terlihat khusyu’ dengan menunya masing-masing. Usai menuntaskan berbagai menu, Fatih menatap Nisa dalam. Nisa yang tengah sibuk membersihkan tangan dengan tisu mendongakkan kepala, ia merasa jika Fatih sedang memperhatikannya.

“Mas? Kenapa?” Nisa membalas tatapan Fatih sejenak, sebelum kemudian kembali menunduk.

“Nis, kita nikah yuk.” Fatih berucap singkat. Kalimat yang terdengar santai, namun mampu membuat seorang Nisa terpaku.

“Mas Fatih masih aja suka bercanda masalah beginian.” Nisa terkekeh sumbang, berusaha memecah ketegangan.

“Nis, aku serius.” Fatih belum mengalihkan pandangannya dari Nisa. Gadis yang tengah ditatap justru semakin menundukkan kepalanya, menautkan jemari, berusaha mencari kegiatan untuk mengalihkan kekakuannya.

“Nis,”

“Kenapa harus Nisa, Mas?” Nisa menjawab cepat sebelum Fatih sempat melanjutkan ucapannya.

“Karena cuma kamu, Nisa. Seseorang yang seribu kali pun aku usir nama kamu dari hati aku, tetep aja bandel buat tinggal. Gak mau pergi.” Kali ini Fatih menundukkan kepalanya. Ia hanya terlihat tenang di luar, sungguh di dalam hatinya, lelaki itu tengah gentar luar biasa.

“Sejak kapan?” Nisa masih menunduk, menatap jemarinya yang saling tertaut.

“Sejak pertama kali kamu menginjakkan kaki di Mts Irsyadul ‘Ibad.” Fatih menjawab lirih.

“Nisa kira, pertemanan yang selama ini kita rajut murni sebuah hubungan pertemanan.” Nisa menggelengkan kepalanya.

“Aku juga berharap seperti itu, Nisa. Sayangnya, kita tak pernah bisa mengatur kepada siapa hati kita akan terjatuh.” Fatih kembali mengangkat kepalanya, memandang Nisa.

“Mas Fatih baik, terlampau baik. Nisa gak mungkin berbohong soal itu. Tapi menikah masalah hati, Mas. Dan seperti yang Mas Fatih katakan, kita tak pernah bisa mengatur kepada siapa hati kita akan terjatuh. Masalahnya, hati Nisa tak sedang jatuh pada Mas Fatih, maaf sekali.” Nisa masih enggan mengangkat kepalanya.

Witing tresno jalaran soko kulino, Nisa. Cinta bisa datang seiring perjalanan waktu.” Fatih menjawab ungkapan Nisa dengan nada yang sarat akan pengharapan.

“Sekali lagi, Mas. Nisa minta maaf sekali. Sayangnya, dalam kamus Nisa tak ada yang seperti itu. Nisa harus berakhir dengan seseorang yang Nisa cintai dan juga mencintai Nisa.” Nisa menggumam lirih.

“Apa tak pernah ada sedikit pun perasaan lain di hati kamu tentang kita selain hubungan pertemanan?” Fatih masih menatap Nisa penuh harap.

“Nisa memang menganggap Mas Fatih lebih dari sekedar teman, tapi ini bukan tentang cinta. Nisa menganggap Mas Fatih kakak Nisa, itu saja.” Nisa masih tak bergerak, ia khusyu’ menunduk.

“Apa karena lelaki itu, Nisa?” Fatih mengacak rambutnya frustasi.

“Lelaki? Lelaki mana yang Mas Fatih maksud?” Nisa seketika mengangkat kepalanya, menatap Fatih penuh selidik.

“Lelaki yang mampu membuat kamu tersenyum sumringah hanya dengan berjalan bersama.” Kali ini Fatih yang menunduk.

“Nisa benar-benar tak paham dengan lelaki yang Mas Fatih maksud.” Nisa mengernyitkan dahinya.

“Lelaki ini.” Fatih menyodorkan ponselnya di hadapan Nisa.

“Astaghfirullah, ini Kak Ilham, Mas. Mas Fatih dapet foto ini dari siapa?” Nisa menatap Fatih penuh selidik. Ia tak habis fikir, bagaimana bisa Fatih memiliki foto itu? Padahal ia saja tak memilikinya.

“Tidak penting dari siapa, Nisa. Kalo kamu memang bahagia dengan lelaki itu, aku mundur. Selamat berbahagia, Nisa. Kita tetap teman, bukan? Terimakasih sudah pernah membiarkan aku menjadi bagian dari hidup kamu.” Fatih mengangkat kepala, menatap Nisa. Ia tersenyum tipis, mencoba terlihat baik-baik saja.

“Sebentar, Mas. Ada yang perlu diluruskan disini. Nisa,”

“Aku pulang dulu, Nisa. Maaf gak bisa nganter kamu. Assalamualaikum.” Fatih memotong ucapan Nisa dan segera beranjak dari kursi setelah mengambil ponselnya di depan Nisa. Ia telah melangkah meninggalkan Nisa bahkan sebelum Nisa sempat menjawab salamnya. Hatinya sungguh sedang tak baik-baik saja.

Nisa masih diam mematung mengamati kepergian Fatih. Ia tak paham perasaan apa yang kini tengah menghinggapi hatinya. Nisa hanya paham jika semenjak menatap fotonya yang tengah tertawa berdua bersama Ilham, mendadak jantungnya berdegup tak karuan, tanpa sebab.

*****
Jadi, siapa yang mau nampung Mas Fatih? Tampan, baik, pinter ngelukis juga. Sayangnya Nisa gak mau. Ah, Nisa mah payah.
Udah dikasih jodoh keren gitu ama emak malah ditolak. Sebel emak 😤😤.
.
.
Jangan lupa ramaikan bintang dan komentar. Terakhir,
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top