Seseorang yang Lain
"Assalamualaikum, Ustazah Nisa." Nisa menoleh dan mendapati cengiran khas Fatih, teman mengajarnya.
"Waalaikumsalam, Ustaz Fatih. Ada yang bisa saya bantu?" Nisa memasang wajah sok manis dengan senyum khasnya.
"Bisa membantu saya mencarikan tempat makan siang yang recomended?" Fatih memberikan tatapan jail.
"Setelah mencarikan kemudian bisa sekalian menemani saya makan siang? Mas Fatih belum bosen ngomong kayak gitu?" Nisa terkekeh, hafal dengan kebiasaan teman mengajarnya yang satu itu.
"Udah jam makan siang, Nisa. Kamu sibuk aja terus. Kalo bukan aku yang ngingetin, siapa lagi? Jomblo kan?" Fatih terbahak.
"Terimakasih atas perhatiannya, Ustaz terfavorit. Tapi Nisa tidak jomblo, hanya single." Nisa mengendikkan bahu cuek.
"Apa bedanya? Sama-sama sendiri tanpa pasangan kan?" Fatih menyeret kursinya untuk kemudian duduk di depan meja Nisa.
"Jomblo nasib, tapi single prinsip. Jomblo karena tak laku, tapi single karena tak mau. Masih kurang fasihkah kalimat saya, Ustaz?" Nisa terkekeh.
"Baiklah, saya sedang tidak minat berdebat dengan wanita. Jadi, kita mau makan siang dimana?" Fatih menatap Nisa yang masih sibuk dengan kertas-kertas di hadapannya.
"Mas Fatih duluan aja gakpapa. Nisa masih harus ngerjain ini." Nisa mengangkat selembar kertas, kemudian mengibaskannya di depan Fatih.
"Terlalu dzolim dengan tubuhnya sendiri ustazah yang satu ini. Jam mengajar kan udah selesai, ini juga udah jam pulang sekolah loh. Kita makan siang bentar, habis itu kalo kamu masih mau ngurusin berkas-berkas itu, aku temenin." Fatih menggelengkan kepala, gemas dengan Nisa yang terlalu fokus pada pekerjaannya.
"Nisa keseringan ngrepotin Mas Fatih ih, sungkan." Nisa terkekeh.
"Seperti bukan seorang Nisa yang berbicara." Fatih ikut terkekeh.
"Iya udah ayo, ayam geprak super pedas kayak biasanya ya." Nisa bangkit dari kursinya setelah mengambil dompet dari tas.
"Tambah es lemon tea porsi jumbo." Fatih ikut berdiri, berjalan mengikuti langkah Nisa yang tertawa di depannya.
*****
Nisa tersenyum menatap punggung Fatih yang sedang memesan menu makan siang mereka. Fatih Hamdani, ustaz muda di madrasah tempatnya mengajar yang bulan lalu baru saja terpilih menjadi ustaz terfavorit tahun ajaran ini. Nisa mengenal Fatih sejak pertama kali memasuki Mts Irsyadul Ibad sebagai ustazah bahasa Arab, dua bulan sebelum ia diwisuda. Iya, Nisa telah mengajar di madrasah itu bahkan sebelum mendapatkan ijazah S1nya.
Dulu, Nisa yang menjadi ustazah baru benar-benar buta dengan keadaan madrasah. Dan, Fatih sebagai ustaz yang telah lebih dahulu mengajar banyak membantunya. Jadilah mereka sedekat ini. Nisa senang berteman dengan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya itu. Fatih perhatian dan baik, masih sama-sama single pula, pertemanan yang tak akan mengganggu siapa pun. Namun, kenyamanan Nisa murni sebatas nyaman dalam pertemanan. Sedekat apapun mereka berdua, Nisa tetap saja gadis yang tak tersentuh. Nisa yang ceria tanpa ada yang paham bahwa ada banyak luka di hatinya.
"Kenapa suka pedes?" Fatih duduk di depan Nisa, ia telah kembali dari meja kasir.
"Setelah memahami menu favorit Nisa selama hampir duabelas bulan, baru hari ini Mas Fatih sempat nanya?" Nisa menggelengkan kepalanya sembari tertawa.
"Baru kepikiran buat nanya. Kenapa emang?" Fatih terkekeh.
"Suka aja, gak enak di lidah kalo gak pedes. Kenapa?" Nisa mengotak-atik ponselnya sejenak, kemudian kembali fokus dengan obrolannya bersama Fatih.
"Gak sayang ama lambung? Gak baik loh sering-sering makan pedes, Nis." Fatih menatap Nisa prihatin.
"Mas Fatih ustaz rangkap dokter ya?" Nisa tertawa.
"Dasar, diperhatiin malah kayak gitu." Fatih mendelik kesal.
"Makanya Mas Fatih buruan cari istri, biar perhatiannya gak ama Nisa mulu." Nisa kembali tertawa.
"Ngapain capek-capek nyari kalo yang deket aja ada." Fatih mengendikkan bahu.
"Nisa kan yang deket? Aduh, Mas. Seribu kali Nisa nolak pun gak bikin Mas Fatih bosen ya." Nisa masih tertawa.
Nisa dan Fatih memang terbiasa dengan interaksi semacam itu. Nisa selalu tertawa dengan candaan-candaan Fatih. Satu hal yang tak pernah benar-benar Nisa sadari, Fatih memang hobi bercanda, namun tidak masalah hati. Fatih benar-benar memilih Nisa, hanya saja gadis itu tak pernah peka. Entah memang tak peka atau menolak untuk peka, Fatih tak mau ambil pusing. Selagi ia masih bisa tertawa bersama Nisa, ia tak perlu berharap banyak.
"Kamu kenapa milih tinggal di Salatiga terus? Gak kepikiran pingin balik ke kampung halaman, terus ngajar disana?" Fatih kembali mencari topik pembahasan.
"Karena Nisa suka di Salatiga. Lagian kalo Nisa balik ke kampung halaman, kan jadinya gak kenal ama Mas Fatih. Ntar Mas Fatih perhatian ama siapa kalo bukan ama Nisa?" Khas Nisa yang ceria. Nisa tak pernah membagi kesepiannya pada siapa pun, minus keempat sahabatnya.
"Cewek kok hobi gombal." Fatih tertawa.
"Tapi Mas Fatih juga suka digombalin. Dasar receh." Nisa ikut tertawa.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. Masih seperti biasanya, dua porsi ayam geprak dengan level cabai yang sangat berbanding terbalik dan dua gelas lemon tea dingin porsi jumbo. Nisa dan Fatih mulai khusyuk dengan makan siang mereka.
*****
Ustaz Favorit: Jangan tidur malam-malam, awas besok pagi kesiangan.
Nisa Cantique: Ustazah cantik pantang terlambat, kalo Ustaz favorit lupa.
Ustaz Favorit: Iya, kalo kamu lupa juga, aku gak pernah lupa sama kebiasaan kamu, sekecil apapun itu.
Nisa terkekeh membaca pesan dari Fatih. Lelaki itu memang sedemikian perhatiannya, bahkan mengalahkan mamanya sendiri. Nisa mendadak sendu membayangkan seseorang yang melahirkannya itu. Nisa ingin memiliki perasaan rindu pada sosok itu seperti orang-orang yang lain. Namun, bagian mana yang harus ia rindukan? Ia tak paham. Ia tak memiliki secuil pun kenangan bersama wanita itu. Jangankan sedikit kenangan, sekedar mengingatkan ia untuk mengisi perut saja, wanita itu tak pernah. Nisa bahkan curiga, jika wanita itu dan suaminya mungkin saja lupa jika mereka berdua memiliki seorang bungsu perempuan.
Bukan tak bersyukur, Nisa bersyukur dengan segala yang ia miliki. Harta melimpah yang tentunya masih banyak orang yang juga ingin berada di posisinya. Hanya saja, Nisa ingin meminta satu hal lagi dari sekian nikmat yang telah Allah beri, kehangatan keluarga. Nisa ingin tau rasanya dimarahi karena ia terlalu banyak mengkonsumsi makanan pedas atau es, seperti ibu yang tak lelah menegur Hilya. Nisa ingin tau rasanya ditanyai apakah uang bulanannya masih cukup, seperti bunda Hana yang tak luput menelfon setiap bulan. Nisa ingin tau rasanya menunaikan fardhu berjamaah sekeluarga, seperti rutinitas bapak, ibu, Niswa dan kedua adiknya. Nisa ingin tau rasanya ditegur karena dia yang sengaja melupakan banyak hal, seperti mamak dan bapak Dhila yang sering mendelik kesal melihat keteledoran anaknya. Nisa sungguh ingin. Namun, apa yang bisa ia harapkan dari sosok Tuan Hamdan Putra dan Nyonya Zakiya Arum Putra? Tak ada!
Nisa menghembuskan nafas lelah. Alasan itulah yang membuatnya enggan kembali ke Yogyakarta. Sungguh! Nisa lebih memilih tinggal di kost sederhana dengan gaji mengajar yang tak seberapa dibanding harus menetap di rumah mewahnya yang hening itu. Kadang Nisa juga merasa bersalah, ia rindu simbok. Tak tega meninggalkan wanita semi senja itu sendirian bersama beberapa pelayan saja. Namun, sisi egoismenya kembali menang. Nisa belum siap untuk kembali menikmati sepi di rumah itu.
Nisa tergagap dari lamunnya begitu melihat ponselnya bergetar.
Dhila Cuek calling.
"Halo, assalamualikum, mantan pengantin baru." Nisa terkekeh.
"Waalaikumsalam. Nisa, kali ini emang bukan kamu yang pertama. Bang Rafa, mamak ama bapak udah lebih dulu tau. Aku hamil, Nisa. Kamu bakal punya keponakan." Dhila berseru nyaring di seberang sana.
Nisa mematung. Empat bulan sudah semenjak pernikahan Dhila, dan hatinya masih belum baik-baik saja. Lengkap sekali kebahagiaan sahabatnya itu, terkadang Nisa iri atas takdir Dhila. Nisa menggelengkan kepala dan segera mengistighfari fikiran buruknya, ia harus melaksanakan sholat taubat setelah ini.
"Nis," Dhila kembali bersuara, ia heran karena tak mendengar sahutan apapun dari seberang.
"Eh, barakallah, Dhil. Ya Allah, kamu secepat itu bikinin aku keponakan. Aku bahagia ih." Nisa memekik bahagia. Ia tak sedang berbohong. Sedikit sudut di hatinya memang ada yang terasa seperti tercubit, namun ia benar-benar bahagia. Lagi-lagi satu alasan kecil, Dhila dan Rafa telah berbahagia, dan ia juga harus memiliki perasaan yang sama.
"Yaudah, aku cuma mau ngabarin ini. Aku tutup ya, aku juga harus ngabarin yang lain." Dhila terdengar benar-benar bahagia di seberang sana.
"Iya, baik-baik ya, Bumil. Jangan kecapekan. Gak usah lagi ikut-ikut bantuin Bang Rafa di butik." Nisa terkekeh.
"Iya, Ustazah cerewet. Assalamualaikum." Dhila menutup panggilan.
"Waalaikumsalam." Nisa ikut mengusaikan panggilan, kemudian membuka galeri foto yang ada di ponselnya
.
Nisa tersenyum hambar menatap foto pernikahan Dhila. Satu tahun mencintai dalam diam, ditambah satu tahun masa-masa mencoba mengiklaskan, lalu empat bulan usai pernikahan dimana ia benar-benar berusaha melupakan. Hatinya terlalu lama menuliskan nama Rafa, sampai ia lupa bagaimana cara menghapusnya. Nisa belum sepenuhnya baik-baik saja.
Nisa benar-benar ingin membuka hati untuk seseorang yang lain. Fatih, misalnya. Namun, ia benar-benar tak bisa. Sememaksa apapun ia mencoba, nyatanya tetap tak ada yang mampu membuatnya menghilangkan debar tak wajar ketika ia bertemu Rafa, bahkan hanya dengan mengingat lelaki itu. Nisa lelah, ia tak tau lagi harus bersikap seperti apa.
*****
Nisa dan perasaannya yang tak kunjung sirna. Ada yang kek gini juga? Mati-matian berusaha melupakan, tapi tetep aja kesusahan. Sabar ya, kalian sama kek Nisa. Hihi.
.
..
Ah iya, Bintang di pojokan jangan lupa ditekan, komentar juga gak boleh ketinggalan.
Jangan lupa lagi!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top