Sebuah Pertemuan

“Nis, Ahad besok temenin aku ya.” Dhila mengeluarkan nada memohon.

“Kemana?” Nisa mengapit ponselnya diantara kepala dan pundak, ia sedang sibuk memindahkan berkas akreditasi madrasah dan Dhila menelfonnya berulang kali tanpa ampun, memaksa Nisa untuk menjawab panggilan.

“Mbak Helen, mantan ketua ORMAWA tahun kapan itu nikah.” Dhila menjelaskan.

“Lah? Kan aku gak kenal Mbak Helen. Lagian kamu kan bisa dateng ama Bang Rafa.” Nisa mendengkus sebal.

“Bang Rafa ada acara pas hari itu. Masak iya kamu tega biarin bumil keliaran ke kondangan sendiri.” Dhila kembali memohon.

“Bareng adik ipar kamu sana, kan kalian yang sama-sama kenal.” Nisa beralasan. Ia sedang sibuk luar biasa akhir-akhir ini. Pengakreditasian madrasah yang akan dilaksanakan dua minggu lagi benar-benar menguras tenaga. Rencananya, ia ingin menghabiskan hari ahadnya dengan bersantai di kamar kost seharian penuh.

“Hilya pasti repot ngurusin si kembar ntar, masak masih suruh ngejagain bumil juga. Ayolah, Nis. Ntar kita ketemu di rumahnya Mbak Helen, aku dianter Bang Rafa kesana. Ntar aku kirim lokasinya lewat share loc.” Dhila berpanjang lebar.

“Lah itu Bang Rafa bisa nganterin, ajakin kondangan bentar kek.” Nisa meneliti berkas-berkas di hadapannya sembari tetap fokus pada telefon Dhila.

“Gak bisa, Nisa. Bang Rafa ada janji sama orang yang gak bisa dibatalin.” Dhila masih sabar menjelaskan.

“Trus ntar kamu pulang dari kondangan gimana?” Nisa menumpuk berkasnya menjadi satu, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu kursi.

“Ya kamu anterin aku pulang ke rumah lah.” Dhila menjawab santai.

“What? Naik motor? Kamu hamil, Dhila. Gila! Aku gak mau ambil resiko.” Nisa menolak mentah-mentah usulan Dhila.

“Gak usah alay deh, Nis. Aku biasa aja. Kamu kan tau aku kuat, anakku pasti lebih kuat dari ibunya. Rumah Mbak Helen deket kok, cuma Ungaran.” Dhila terdengar menghela nafas.

“Ih, dasar bumil bandel. Iya deh, apa sih yang enggak buat kamu.” Nisa mengalah. Selelah apapun, ia tak pernah bisa menolak keinginan keempat sahabatnya.

“Oke, terimakasih calon ammah* terbaik. Makin sayang deh.” Dhila berseru girang.

“Kamu hamil makin ganjen. Cewek ini pasti isinya.” Nisa mencibir.

“Cewek apa cowok kuterima dengan lapang dada, Ammah Nisa.” Dhila terkekeh.

“Terserah kamu. Udah matiin, aku mau kerja lagi, Bu Guru lagi sibuk.” Nisa ikut terkekeh.

“Oke, assalamualaikum.” Dhila mengakhiri panggilan.

“Waalaikumsalam.”

*****

“Waduh, nikahannya Mbak Helen horor, Dhil.” Nisa berbisik lirih di telinga Dhila.

“Kok?” Dhila mengernyitkan dahi.

“Masak tamu laki-laki ama perempuan dipisah?” Nisa mengarahkan kepalanya menuju sekat pembatas antara tamu laki-laki dan perempuan.

“Mbak Helen ini putrinya Kyai, Nis. Wajar nikahannya kek gini. Gak usah sok takjub ih, keliatan katroknya.” Dhila terkekeh.

“Ish, nyebelin.” Nisa memajukan bibirnya, cemberut.

“Eh, Dhil. Aku ke toilet bentar ya?” Nisa menatap Dhila, memohon ijin. Kandung kemihnya mendadak berontak.

“Yaudah sana, buruan jangan lama-lama.” Dhila mengangguk.

“Kamu nikmatin resepsinya aja dulu, Dhil. Ato kalo gak mau salaman ke pengantinnya juga gakpapa. Kayaknya aku bakal lama deh.” Nisa memamerkan rentetan giginya, menyengir.

“Aih, ya udah lah.” Dhila mendengkus kesal. Nisa menampilkan wajah sumringah dan segera berlalu.

Nisa tergesa menuju kamar mandi hingga tak menyadari jika sesuatu dari kantong gamis panjangnya terjatuh. Ia terlampau tergesa.

Usai menuntaskan hajatnya, Nisa berbalik keluar dari gedung pernikahan menuju tempat parkir mobil. Ia ingin mengambil sesuatu di dalam mobil. Ah iya, akhirnya ia memilih menggunakan mobilnya yang sekian lama menganggur demi Dhila. Ia tak mungkin tega membiarkan bumil yang sok kuat itu membonceng motornya selama perjalanan Ungaran-Semarang.

Nisa memang diberi pegangan mobil sendiri oleh orang tuanya. Mobil yang juga ia bawa ke Salatiga meski hanya beberapa kali ia gunakan. Ia lebih senang mengendarai sepeda motor maticnya kemana-mana, lebih praktis menurutnya.

“Eh, kok kunci mobilnya gak ada.” Nisa menggumam panik. Ia merogoh kantung gamisnya, memeriksa lebih rinci, barangkali menyelip.

Kepanikan Nisa bertambah ketika ia tak juga menemukan benda penting itu bahkan di dalam tas kecilnya. Ia tak pernah seteledor ini sebelumnya.

Nisa berbalik, berniat mencari kunci mobilnya di sepanjang jalan toilet menuju tempat parkir. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, seorang lelaki dengan senyum menawan menghadangnya. Nisa mematung sejenak, seolah mengenali lelaki itu. Sedetik kemudian, senyumnya merekah.

“Nyari ini?” Lelaki itu mengangsurkan kunci mobil berbandul boneka cantik pada Nisa.

“Eh, Gus Ilham? Apa kabar?” Nisa justru fokus pada lelaki di hadapannya, menatap sumringah sampai mengabaikan kunci mobil yang kini ada di depan matanya.

“Kunci mobilnya, gak mau?” Lelaki yang Nisa sapa Ilham itu terkekeh.

“Eh, iya.” Nisa tersipu sejenak, kemudian meraih kunci mobilnya dari tangan Ilham.

“Kabar baik, alhamdulillah. Kamu temennya Hilya kan? Masih inget aku?” Ilham tersenyum.

“Ya ingetlah, Gus. Orang dulu Hilya sering banget, eh.” Nisa segera menutup mulutnya. Ia tak mungkin mengatakan jika dulu Hilya sering sekali memceritakan Ilham di setiap waktu. Bisa menjadi masalah besar! Dulu, Ilham mencintai Hilya, entah sekarang masih atau tidak. Dan, lelaki itu terlambat mengutarakan hingga mendapat penolakan dari Hilya yang kala itu telah bersuamikan Hafid. Ilham hanya tak tau, bahwa jauh sebelum ia jatuh hati pada Hilya, Hilya telah jatuh hati berkali-kali padanya. Namun, segala sesuatu itu tak lagi boleh di bahas saat ini. Bukankah mereka telah memiliki jalan masing-masing?

“Hilya sering kenapa?” Ilham mengernyitkan dahi mendengar Nisa tak melanjutkan ucapannya.

“Eh, gak jadi.” Nisa terkekeh canggung.

“Gus Ilham kenapa bisa disini?” Nisa mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Helen kan sepupu aku. Dia nikahan ya jelas aku ada disini.” Ilham menjelaskan. Nisa tersenyum malu mendengar jawaban Ilham, ia merutuki ingatannya. Pertanyaan apa yang baru saja ia ajukan? Bukankah dulu Hilya telah sering sekali membahas hal ini? Mengapa ia bisa lupa?

“Ah iya, nama kamu siapa? Aku agak lupa. Cuma inget kalo kamu temen deketnya Hilya.” Kali ini Ilham yang mencoba mencari pembahasan.

“Nisa, Gus. Ih, Gus Ilham mah pelupa, faktor usia ya?” Nisa tertawa, ia terbiasa berkata sesukanya.

“Ah iya, Nisa.” Ilham ikut tertawa.

“Kamu kesini sama Hilya?” Nisa yakin seratus persen jika lelaki di hadapannya ini masih menyimpan rasa pada sahabatnya yang kini telah menjadi mama muda. Lihat saja, dalam beberapa detik perjumpaan saja, lelaki itu telah berulang kali menyebut nama yang sama. Dasar lelaki susah move on. Nisa mencibir dalam hati.

“Bukan, Gus. Aku diajakin Dhila kesini. Hilya ama suaminya, ama anak-anaknya juga.” Nisa menjelaskan.

“Anak-anak? Emang anaknya Hilya ada berapa?” Ilham mengernyitkan dahi.

“Ada dua, kembar.” Nisa tersenyum membayangkan wajah bayi kembar lelaki yang mirip dosen favoritnya dulu.

“Oh.”

“Gus Ilham ngapain ada di parkiran? Bukannya di dalem gedung.” Nisa tanpa sengaja memperhatikan Ilham. Lelaki itu telah banyak berubah semenjak terakhir kali ia bertemu, terlebih wajah dan perawakannya. Ia terlihat semakin matang dan tampan. Ah, Nisa segera mengistighfari matanya.

“Lah ini ngasihin kunci mobil kamu. Kan tadi jatuh pas kamu lari-lari ke toilet.” Ilham terkekeh.

“Eh iya, aku lupa.” Nisa ikut terkekeh.

“Kali ini kamu yang kena faktor usia.” Ilham tertawa.

Nisa terpaku sejenak menatap tawa Ilham. Ia seperti menemukan sesuatu dalam dirinya yang berbeda, entah apa. Nisa memang telah lama mengenal Ilham, sejak bertahun-tahun yang lalu saat masih berada dalam almamater yang sama. Namun, ia sebatas mengenal Ilham dari cerita-cerita Hilya, tak pernah bersinggungan secara langsung. Jangankan mengenal, mengobrol sepatah kata pun tak pernah. Dan kali ini, dengan obrolan singkat mereka, Nisa seperti menemukan sosok baru yang hadir dari seorang teman lama.

“Eh, ngelamun dia.” Ilham mengibaskan pelan tangannya di depan wajah Nisa.

“Aduh, gak ngelamun, Gus.” Nisa tergagap, kemudian tersenyum canggung.

“Alesan aja, keliatan ngelamun juga.” Ilham kembali terkekeh untuk kesekian kalinya.

“Ih, Gus Ilham gak percayaan. Ya udahlah, aku masuk dulu ya, Gus. Kasian Dhila nunggu di dalem.” Nisa berpamitan bahkan sebelum melaksanakan niatnya untuk mengambil sesuatu dari dalam mobil.

“Gak jadi masuk ke mobil?” Ilham mengerutkan dahi, kerutan yang kesekian kalinya. Nisa tertawa lirih melihat kerutan itu, ternyata Ilham senang sekali mengerutkan dahinya.

“Gak jadi, Gus. Lupa mau ambil apa. Kelamaan ngobrol ama Gus Ilham sih. Udah ah, aku duluan. Assalamualaikum.” Nisa tersenyum sekilas sebelum berlalu dari hadapan Ilham.

“Waalaikumsalam.”

“Nisa,” Nisa menghentikan langkahnya yang baru beberapa. Ia menoleh mendengar Ilham memanggilnya.

“Iya?”

“Bertukar nomor ponsel, boleh? Menyambung silaturahim.” Ilham tersenyum singkat sembari menyodorkan ponselnya di hadapan Nisa.

“Kenapa enggak?” Nisa membalas senyum Ilham sembari mengambil ponsel lelaki itu. Setelah mengetikkan nomornya, Nisa mengembalikan ponsel itu pasa pemiliknya.

Syukron**, Nisa.” Ilham bergumam.

Afwan***, Gus.” Nisa tersenyum singkat sebelum akhirnya benar-benar berlalu.

*****
* Tante.
** Terimakasih.
*** Sama-sama.

Kembali bertemu Nisa dan Dhila. Ada yang rindu mereka? Atau rindu Naya? Naya sibuk syekali akhir-akhir ini. Menyedihkan. Doakan saja sibuknya Naya berkah dan manfaah yaaa.
Ah iya, jangan lupa bintangnya di tekan, komentarnya diramaikan. 😘
Jangan lupa lagi!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 💕💕💕




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top