Lelaki Tak Terduga
“Yahh, kita telat, Kak. Masjid udah penuh, kita dapet tempat duduk di serambi ini sih.” Citra menekuk wajah begitu sampai di pelataran sebuah pesantren. Ia dan Nisa terlambat datang karena jalanan Jogja yang macet. Kajian telah dimulai beberapa menit yang lalu.
“Kan ada speakernya, Cit. Kita tetep bakal denger materi yang disampein kok. Sama aja, kan?” Nisa mengarahkan telunjuknya pada benda kotak berwarna hitam di luar masjid.
“Tapi kan gak bisa liat pematerinya, Kak. Ini tumben yang ngisi putra sulungnya Abah Yai loh. Putranya masih muda lagi, Kak. Belum nikah.” Citra terkekeh.
“Lah kan, salah niatnya.” Nisa mencibir sembari tertawa lirih.
“Eh iya, astaghfirullah. Ya udah yuk, Kak, masuk.” Citra menuntun tangan Nisa sementara Nisa menggandeng tangan Gladis yang masih sibuk mengamati suasana pesantren. Bagi bocah kecil itu, tempat ini terasa aneh.
“Ma min nafsin tubdiih illa wa lahu qodrun fiika yumdzih. Tiada suatu nafas terlepas dari padamu, melainkan disitu pula ada takdir Allah yang berlaku atas dirimu. Al-Hikam, hikmah ke-30.” Nisa, Citra dan Gladis disapa oleh suara yang menggema dari speaker begitu mereka duduk di serambi masjid.
“Seperti yang tertera dalam kitab Al-Hikam, segala apa yang terjadi dalam hidup kita adalah kehendak Allah, baik itu yang kita anggap berkah atau pun musibah. Namun, kita semua sama-sama tau, Allah tidak akan memberikan sesuatu pada hambanya melainkan itulah yang terbaik. Mungkin memang bukan yang kita harapkan, namun pastilah hal itu yang kita butuhkan.”
“Sebagai contoh, yang lagi musim-musimnya sekarang kan ada itu lagu ditinggal rabi. Lah, ketika kita mendengar kalimat ditinggal nikah, apa yang ada dalam fikiran kita? Patah hati? Musibah? Jelas iya! Itu pemikiran jangka pendek. Coba kita telaah lebih lanjut, kita fikir baik-baik. Pasti ada alasan Allah tidak menjodohkan kita dengan seseorang yang meninggalkan kita bersama pasangan lain itu. Mungkin dia memang lelaki atau wanita yang baik, tapi barangkali, baiknya dia bukan jika dipasangkan dengan kita. Kita berhak mendapat yang jauh lebih baik dari dia, dia juga berhak mendapat yang lebih baik dari kita. Tunggu saja, suatu saat Allah pasti menunjukkan rahasiaNya. Lalu selama kita menunggu rahasia itu terbuka, apa tugas kita? Tugas kita adalah berhusnudzon pada Allah.”
“Lagi-lagi masih sama dikutip dari kitab Al-Hikam. Kali ini ada di hikmah ke-49. In lam tuhsin dzonnaka bihi li ajli husni washfihi fahassin dzonnaka bihi liwujuudi mu’amalatihi ma’aka fahal ‘awwadaka illa hasanan asadaa ilaika illa mananan. Jika engkau tidak bisa berbaik sangka (husnudzon) terhadap Allah ta’ala karena sifat-sifat Allah yang baik itu, berbaik sangkalah kepada Allah karena karunia pemberianNya kepadamu. Tidakkah Ia selalu memberikan nikmat dan karuniaNya kepadamu?”
“Kita sama-sama tau Allah memiliki sifat-sifat yang baik. Sayangnya, terkadang hati kita sudah tertutup oleh ketebalan dosa hingga lalai atas sifat-sifat baik itu. Dengan begitu, terkadang kita merasa sulit sekali berhusnudzon pada Allah. Jika memang susah berhusnudzon karena itu, maka berusahalah untuk berhusnudzon karena nikmat-nikmat yang telah Allah beri kepada kita. Poin pentingnya, bagaimana pun keadaan kita, atas alasan apapun, tanamkan pada hati untuk selalu berhusnudzon pada Allah.”
“Dalam kasus ditinggal nikah tadi contohnya, kita husnudzon pada Allah saja. Kita memang tidak berjodoh dengan seseorang itu, namun setidaknya kita bisa paham bagaimana rasanya jatuh cinta. Di luar sana, masih ada beberapa orang yang bahkan tak tau bagaimana perasaan seseorang yang jatuh cinta, hidup mereka hampa. Yakinlah! Jika memang telah diniatkan, insya Allah selalu saja ada celah bagi diri kita untuk selalu berhusnudzon pada Allah.”
“Kak Icha, putranya Abah Yai keren ya kalo ngisi kajian?” Citra menyenggol pelan lengan Nisa.
“Eh, iya. Keren banget.” Nisa tergagap. Ia terlalu fokus pada ceramah yang disampaikan oleh seseorang yang entah siapa di depan sana.
“Kalo Kak Icha lagi pulang ke Jogja, sering-sering aja main ke pesantren ini, Kak. Insya Allah banyak ilmu dan berkah. Kalo kebetulan ketemu ama putranya Abah Yai, malah makin berkah lagi, Kak.” Citra berbisik pelan sembari terkekeh.
“Ih, dasar. Eh, tapi nih ya, Cit. Aku kayak gak asing loh ama suaranya yang ceramah ini.” Nisa memutar bola mata, terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Kayak suaranya siapa emangnya, Kak?” Citra menatap Nisa dengan wajah penasaran.
“Bentar aku dari tadi juga lagi nyoba inget-inget, tapi gak ketemu juga siapanya.” Nisa terlihat kesal dengan ingatannya sendiri.
“Alah, udah lah, Kak. Ntar kalo pas beliaunya keluar dari masjid, udah selesai kajian, aku tunjukin orangnya. Ato kalo gak, pas kita halal bi halal di rumah Abah Yai nanti.” Citra tersenyum menatap Nisa.
“Aunty, Gladis boleh tidur? Gladis ngantuk.” Nisa dan Citra serentak menoleh ke arah Gladis. Bocah cantik yang duduk di depan Nisa itu terlihat menguap.
“Eh, iya gakpapa. Nanti aunty bangunin kalo kita mau pulang.” Nisa mengusap lembut kepala Gladis yang tertutupi jilbab lucu. Anak itu pasti lelah setelah menikmati kemacetan Yogyakarta, belum lagi tak paham pada pembahasan kajian.
“Ya udah, Kak. Kita fokus lagi aja ama kajian.” Citra menegakkan tubuhnya, kembali khusyu mendengarkan ceramah dari seseorang yang mengisi acara. Begitu pula dengan Nisa.
*****
“Ikut kajian tadi?” Fathir, pengasuh pesantren yang pernah Citra singgahi untuk menuntut ilmu beberapa tahun yang lalu itu tersenyum. Masih suasana lebaran, wajar jika rumahnya ramai oleh para tamu yang bersilaturahim atas dasar halal bi halal.
“Enggeh, Abah.” Citra mengangguk takdzim.
“Banyak yang datang, Nduk?” Fathir kembali bertanya.
“Enggeh, Abah. Saya sampai ndak kebagian tempat dalam masjid, padahal belum telat-telat sekali.” Citra tersenyum.
“Aku juga ndak paham. Kalo anak mbarep ku itu yang ngisi kajian, masjid kok bisa penuh, bahkan sampek serambi-serambinya. Lah kalo aku yang ngisi, masjid penuh dalemnya aja udah alhamdulillah. Padahal ini masih suasana lebaran loh, kok ya ndak ada yang mudik apa gimana gitu. Banyak sekali yang ikut kajian.” Fathir tertawa lirih.
“Beda suasananya, Abah. Si mbarep itu kalo ngisi kajian lebih seru, ndak kayak Abah. Dia juga lebih tampan dari Abah, kalo Abah lupa. Liat aja, yang dateng kebanyakan perawan-perawan Jogja yang cantik-cantik.” Farida, istri dari Fathir menyahut ucapan suaminya dengan tawa. Nisa dan Citra ikut tertawa lirih dengan wajah memerah malu. Gladis hanya menatap orang-orang dewasa di hadapannya dengan wajah bingung.
“Oh ya, nduk. Kamu lulusan empat tahun lalu, to? Sekarang sibuk apa?” Farida menatap Citra ramah.
“Sibuk skripsi, Ummi. Kuliah di Surabaya.” Citra menjawab sembari tersenyum.
“Owalah, ya semoga skripsinya lancar. Segera lulus, dapet kerja yang mapan, ilmunya berkah.” Farida menggumam doa yang segera diaminkan oleh Citra dan Nisa.
“Lah ini, gadis cantik ini siapa? Ummi ndak pernah liat dia di pesantren. Bukan alumni sini ya, Nduk?” Farida beralih menatap Nisa.
“Eh, bukan, Ummi. Saya bukan alumni. Nama saya Nisa, saudaranya Citra.” Nisa memperkenalkan diri.
“Sibuk apa sekarang, Nduk Nisa?” Farida tersenyum ramah pada Nisa.
“Mengajar, Ummi. Saya orang Jogja asli tapi mengajar di Salatiga.” Nisa membalas senyuman Farida dengan sopan.
“Mengajar apa, Nduk? Dulu kuliahnya juga di Salatiga?” Kali ini Fathir yang bersuara.
“Enggeh, Abah. Dulu kuliah di Salatiga juga. Sekarang ngajar bahasa Arab di Mts.” Nisa mengalihkan tatapannya pada Fathir.
“Eh, si mbarep itu juga lulusan Salatiga dulu pas S1, barangkali kenal. Dia juga lulusan Pendidikan Bahasa Arab. Iya to, Mi?” Fathir terlihat sumringah melihat Nisa. Farida mengangguk dengan wajah sama sumringahnya.
“Eh, siapa namanya, Abah? Barangkali saya kenal.” Nisa mengernyitkan dahi menatap Fathir.
“Eh, la itu anaknya. Le sini bentar. Ini ada tamu dari Salatiga, siapa tau kamu kenal.” Farida terlihat memanggil seseorang yang sedang berada di luar rumah.
“Siapa, Ummi?” Sebuah suara terdengar menyahut.
Nisa, Citra dan Gladis sontak menoleh ke arah sumber suara. Sepersekian detik, Nisa terbelalak mengetahui siapa si mbarep yang sejak tadi dibahas oleh sepasang pengasuh pesantren itu. Lelaki yang sejak tadi pagi dielu-elukan oleh Citra sebagai idola para santriwati seisi pesantren. Seseorang yang isi-isi ceramahnya dalam kajian membuat Nisa terpukau beberapa jam lalu.
“Tazkiya Annisa?”
“Kak Ilham?”
Dan senyum keduanya mendadak merekah. Mereka kembali dipertemukan dalam keadaan tak terduga, untuk kesekian kalinya.
*****
Nisa masih mudik. Tumben dia betah berhari-hari di Jogja. Semoga aja si Nisa dapet berkah selama di Jogja. 😋😋
Jangan lupa tekan bintang, ketik komentar, dan jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top