Chapter 23
Kali ini chapter nya agak dipanjangin dikit, dan maaf baru update 🙏
Enjoy!
-----
"Nah ini yang jadi masalahnya, Yong. Sebuah plot twist."
"Hah? Maksudnya gimana?"
"Lo gak tau 'kan kalau sebenernya si kepala sekolah itu tuh adalah om nya Jaehyun?"
Taeyong melongo sebentar, "Hah? Gimana gimana?"
Hendery menunjukkan sebuah bukti tentang ucapannya melalui monitor layar komputer. Lalu menjelaskan,
"Kepala sekolah itu, namanya Ahn Juyeong. Dia adalah adik dari Ahn Seoyoo, mamanya Jaehyun."
"Terus?" Taeyong semakin ingin tau tentang kepala sekolahnya itu.
"Terus, karena gue kepo dan mau cari semua informasi tentang Jaehyun, latar belakang, masa lalu, keluarganya, apapun itu, jadi gue retas sampe ke akar-akarnya. Dan lo tau apa yang gue dapet?"
"Apa?"
"Plot twist lagi. Dimana Ahn Juyeong itu dulu pernah terkait sebuah kasus pembunuhan."
"Hah?"
Hendery mengangguk, "Dia di tangkap sebagai tersangka atas dugaan pembunuhan terhadap siswanya yang bernama Kim Woojin. Tapi karena tidak adanya bukti yang kuat, jadi Ahn Juyeong di bebaskan."
Taeyong terduduk di kursi samping Hendery, "Eh sumpah ya, gue gak percaya. Masa sih Pak Ahn itu.... seorang pembunuh?"
Hendery mengangkat bahu, buat Taeyong makin tidak paham.
"Gue yakin, kita bakal lebih terkejut sama bukti yang selanjutnya. Tunggu sampe gue selesai meretas tentang keluarga Jaehyun. Dan... kita bakal tau apa yang sebenernya terjadi." Ujar Hendery.
-----
Pandangan Ten dan Lisa menyeluruh, memperhatikan seisi rumah ini dengan takjub. Karena isinya tampak sederhana namun elegan dan bikin nyaman.
Hanya saja.... disini sangat sepi. Seperti tidak ada siapa-siapa dan seperti hanya Y/n yang tinggal disini.
"Y/n, orang tua kamu kemana? Kok rumahnya sepi banget?" Tanya Ten sambil terus memperhatikan lukisan-lukisan di dinding yang mampu memanjakan mata siapapun yang melihatnya.
"Kerja." Jawab Y/n singkat.
Jujur saja, ia tidak ingin membicarakan tentang orangtuanya.
Ten mengangguk-anggukkan kepala, pertanda paham.
"Terus.... Y/n sendirian? Y/n anak tunggal kah?" Tanyanya kemudian.
"Aku punya 2 kakak cowok. Dua-duanya juga lagi kerja."
Ten mengangguk lagi, sedangkan Lisa merasa sedikit kecewa. Sebab...—
"Bapak mau minum apa?" Giliran Y/n yang bertanya.
"Air putih aja."
"Em," Angguk Y/n, "Kalau Lisa?"
"Sama deh, air putih aja."
"Yaudah, tunggu bentar ya."
Y/n segera pergi ke dapur untuk mengambilkan minum.
Sementara itu, ponsel Ten berdering, menandakan ada panggilan masuk.
Ketika dilihat, dari Taeyong. Ia pamit angkat telepon ke Lisa. Ia berdiri di luar rumah. Ia hanya tidak ingin Y/n dengar.
"Ya? Kenapa, Yong?"
"Lo dimana? Bisa ke markas sekarang?"
"Gak bisa, gue lagi ada di rumah Y/n."
"Hah?"
"Iya. Tadi Lisa mau main dulu sama Y/n, sekalian mampir. Gue nya jadi khawatir walaupun gue tau cewek kek Lisa gak perlu di khawatirin. Tapi tetep aja, gue khawatir."
"Tunggu, maksudnya lo curiga gitu sama Y/n?"
"Enggak. Eh iya deh, dikit."
"Kenapa?"
"Gatau. Gue cuma ngerasa ada yang janggal aja."
"Eh, lu ngapain sih curiga sama Y/n? Gak guna tau gak."
"Maksudnya?"
"Buang-buang waktu. Yang harusnya lo curigain itu Pak Ahn, si kepala sekolah."
"Hah? Maksudnya gimana? Kok jadi ngerembet ke kepala sekolah sih?"
"Dih, ya jelas dong. Soalnya si Pak Ahn itu.... pembunuh."
"Hah?"
"Ini masih dugaan sih. Masih dicari kebenarannya sama Hendery."
"Tunggu tunggu, maksudnya urusan penting yang lo omongin di jalan tadi tuh ini?"
"Iya, gue di chat sama Hendery buat cepet dateng ke markas. Dia punya berita terbaru tentang keluarganya Jaehyun. Makanya gue buru-buru."
Ten melongo kaget.
"Dan lo tau gak?"
"Apaan?"
"Jaehyun itu ponakannya Pak Ahn. Gila 'kan?"
"Hah?"
"Iya. Sumpah, gak nyangka banget gue. Kok bisaaaaa gitu ada plot twist kek gini."
"Anjir, pala gue langsung puyeng."
"Sama, gue juga pusing. Yaudah, nanti lo baliknya langsung ke markas ya, bareng Lisa."
"Oke, siap."
"Kalau gitu gue matiin teleponnya ya, bye."
Tut
Ten menghela napas kasar, "Sekarang apa lagi sih? Ponakan? Om? Pembunuh? Dunia emang udah gila."
-----
Y/n sudah selesai mengambilkan minum untuk Ten dan Lisa. Tinggal dibawa saja ke ruang tamu.
Namun tiba-tiba ponselnya berdering singkat menandakan ada pesan masuk. Langsung Y/n buka ketika melihat sebuah nama tertera di layar ponsel.
Kakak❤️
| Dek, udah pulang kah?
Udah kak |
Kenapa? |
| Gakpapa,
| Kakak mau minta tolong boleh gak?
Apapun untuk kakak |
| Em~ cocuit banget kamu dek❤️
Awokawokawok |
| Ketawa macam apa itu astaga😭😭
Ketawa estetik kak |
| Estetik dari mana😭😭
Hhe 🙃 |
Itu tuh estetik |
| Yaudah iya,
| Terserah yang cantik aja❤️
Aw jadi malu😚 |
| Yaampun~
| Udah udah
| Jadi gini dek,
| Tolong liatin di kamar kakak ada dompet kakak enggak?
| Yang warna biru tua
| Soalnya di saku celana gak ada
| Di tas juga gak ada
| Tolong di cek ya
| Takut ilang
Ooooo begitu |
Iya kak, nanti aku cek |
| Sip,
| Makaci cayang ❤️
Macama kakak cayang ❤️ |
| ❤️❤️❤️
Read
Y/n terkikik, kemudian menyimpan ponsel di saku sebelum beranjak ke ruang tamu sambil membawa dua gelas air putih.
Sesampainya di ruang tamu, Y/n melihat Ten dan Lisa yang tampak tengah berbincang sembari duduk di sofa panjang.
"Maaf ya lama." Kata Y/n. Berjalan mendekat, lalu menyimpan gelas itu di atas meja.
Ten dan Lisa langsung menghentikan perbincangan mereka. Menyahut ucapan Y/n barusan dengan ramah.
"Eh, iya gakpapa. Makasih ya," Ujar Ten.
"Thank you sister." Lisa ikut berujar.
Y/n mengangguk sambil tersenyum, "Kalian lagi ngomongin apa? Kok kayak yang serius banget?"
Ia bertanya agar tidak canggung. Tidak terlalu peduli juga sih, tapi.... jika diberitahu pun akan ia dengarkan.
"Em... Bukan hal penting kok. Cuma obrolan biasa aja." Jawab Ten.
Lagi-lagi Y/n mengangguk. Walau begitu, ia tidak akan memaksa Ten atau Lisa untuk jujur. Sebab, lambat laun ia akan tau yang sebenarnya.
Mudah, tidak sulit untuk Y/n mengetahui sesuatu yang ia ingin tau.
"Di tinggal bentar gakpapa?" Tanya Y/n kemudian, mengingat pesan dari kakaknya barusan.
"Mau kemana emang?" Lisa balik bertanya.
"Ke kamar, ada urusan kecil. Nanti gue balik lagi."
Lisa mengangguk, "Oh, oke. Kita disini."
Setelah itu, Y/n segera pergi dari sana menuju kamar.
Tepat saat Y/n benar-benar tak terlihat, Ten mengerutkan keningnya bingung. Ia baru menyadari satu hal.
Y/n bilang "gue" bukan "aku".
"Eh eh, kayaknya tadi gue denger itu anak bilang "gue" deh. Bener gak sih?" Tanya Ten ke Lisa.
"A-Ah, masa sih?"
"Iya, sumpah. Dia bilang "gue". Gue denger dengan jelas kok."
Lisa terdiam, bibir dirapatkan. Bingung harus menjawab apa.
Sementara Ten menatap Lisa dengan curiga. Matanya memicing tajam,
"Jangan-jangan lo tau sesuatu? Iya 'kan?" Tuduhnya.
"Errr.... Enggak kok."
"Jujur. Bohong dosa."
"Be-Beneran, gue gak tau apa-apa."
"Lisa, sejak kapan lo jadi pembohong gini? Lo udah gak anggep gue sebagai sahabat lo lagi?"
"Dih, apaansi. Enggak gitu."
"Terus kenapa lo gak mau jujur? Gue tau lo tau sesuatu. Keliatan dari cara bicara lo yang tiba-tiba jadi gugup gini."
"....."
"Ngaku sekarang, Lisa. Gue maksa."
Lisa merotasikan matanya dengan sebal, "Pemaksaan."
Ten masih menatap curiga. Ekspresi datar dan galak, membuat Lisa jadi semakin gugup.
Karena jujur saja, Lisa paling takut jika ekspresi Ten sudah seperti itu. Tatapannya seakan menjerat dan terkesan mengintimidasi.
"Ngeliatinnya jangan gitu dong ah. Licik." Keluh Lisa.
"Ya makanya jawab."
Bibir Lisa mencebik kecil sebelum kembali buka suara.
"Em... Lo serius mau tau?" Tanyanya, ragu.
"Iya, gue mau tau."
Helaan napas terdengar berat, "Gue gak tau harus mulai dari mana. Yang pasti, lo bakal kaget denger ceritanya."
"Kenapa? Kenapa gue harus kaget?"
Lisa diam lagi. Kali ini, ia benar-benar sangat bingung harus bagaimana. Menceritakan semuanya kah?
TBC
Aku jadi pusing sendiri sama teori book TR ini hmm.... T_T
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top