#. Side Story Two

12 Desember 2010

Duduk di dekat kursi bercat putih, anak perempuan berambut kuncir kuda duduk di sana sendirian. Di dekapannya terdapat boneka beruang putih, seputih salju, di bagian tengah leher boneka tersebut tersemat kalung merah bertuliskan Veen dan Sally.

Alisya datang dari dalam rumah, membawa nampan berisi kue camilan beserta dua gelas susu. Mendekati Sally yang duduk sendirian di depan, "Sayang, mau makan kue? Nih, Bunda buatin kue kesukaan kamu."

Sally mendongak setelah sedari tadi hanya diam memainkan lengan boneka, "Bunda, Veen masih lama pulangnya?" Bukannya menjawab pertanyaan Alisya, dia malah memberikan pertanyaan balik yang meminta jawaban secepatnya.

Alisya mengelus puncak kepalanya lembut, "Bentar lagi ya, kan, Ayah Ardi udah jemput Veen ke sekolah."

"Um. Sally tunggu di sini."

Usai bicara, mobil hitam memasuki pekarangan rumah. Itu mobil Ardi, pintu depan bagian jok kiri terbuka memunculkan tubuh kecil Veen yang terbalut seragam merah putih. Menenteng tas merah bermotif ultraman.

Melihat Sally menunggu dirinya, anak itu tersenyum kecil. Berjalan lebih dekat untuk mencapai tempat Sally berada. Sesampainya di depan Sally, kakinya tertekuk sebelah, mengusap puncak kepala Sally penuh kasih sayang, "Nunggu aku?"

Terlihat kepala anak perempuan itu mengangguk semangat, "Mau main."

Alisya menarik tas putranya, "Veen ganti baju terus makan. Baru main, ajak Sally ke dalem sekalian."

Ardi memberikan tambahan, "Sally juga suapin sekalian. Biar Ayah bilangin ke Juwi kalau anaknya main ke sini sampai sore."

Veen mengangguk patuh, menggandeng tangan mungil Sally dan berjalan masuk bersama-sama. Kaki kecil mereka melangkah serentak di setiap undakan anak tangga menuju lantai dua.

Di sepanjang jalan mereka, Sally banyak sekali mengoceh, bercerita tentang teman-temannya di taman komplek. Dia bilang semua anak-anak di sana nakal, selalu mengejek Sally anak manja pada Veen.

"Mereka hanya iri. Karena Sally punya kakak sekaligus teman yang hebat seperti Veen," nada bicaranya sangat tenang, tidak sesuai dengan usianya. Semua orang mampu di buat takjub oleh sifat tenang Veen dan penuh wibawa, menyerupai lelaki dewasa berusia matang.

Orang tuanya saja juga merasa bangga bisa memilih putra seperti Veen. Orang di kampung mereka sering menjuluki Veen sebagai anak ajaib karena suatu kejadian, putranya bisa tengkurap di usia 3 minggu.

Ketika anak-anak menyukai bermain di usia kecil, Veen lebih suka membaca buku-buku bisnis dan tentang psikologi. Melupakan bermain, dia hanya bermain jika Sally meminta di temani bermain. Jika tidak, maka dia akan mendekam di kamar dengan setumpuk buku di atas meja.

"Apa iya?" Kuncir kudanya bergerak kesana-kemari, memberikan kesan lucu khas anak kecil.

"Hm."

Memasuki kamar Veen, Sally berlari menuju ranjang, melompat-lompat di atasnya seperti kangguru. Rambutnya bergoyang heboh. Bibir kecilnya berceloteh tanpa henti, membuat kamar bernuansa hitam itu sedikit ramai.

Veen keluar dari kamar mandi, setelan pakaiannya sudah berganti dengan pakaian rumahan. Tangan mungilnya terbuka ketika sampai di dekat bibir ranjang.

Sally paham setiap gerakan Veen meskipun anak itu tidak sering bicara dan sering menggunakan gerakan sebagai isyarat. "Ya! Tangkap!"

Beruntung tubuh Sally mulai kurus memasuki usia tiga tahun, kini usianya empat tahun, tumbuh menjadi pribadi yang sangat aktif dan super cerewet.

Veen sendiri sekarang menginjak usia tujuh tahun dan duduk di bangku kelas 1 SD. Kepala sekolah sempat memberikan tawaran loncat kelas sebab kepandaian Veen memungkinkan anak laki-laki tersebut loncat kelas hingga 2 tingkat.

Ardi dan Alisya bertanya dahulu kepada putra mereka, dan Veen menolak. Dia ingin sekolah secara normal dan naik tingkat secara urut, rasanya akan lebih menyenangkan. Dan juga, jika dia loncat kelas, maka ketika Sally memasuki SD, dia sudah lulus dan tidak bisa menjaganya di sekolah nanti.

Dengan Sally di gendongannya, Veen berjalan menuruni anak tangga hati-hati. Bibirnya setiap tertutup rapat tidak mengucapkan sepenggal kalimat, hanya memberikan sahutan seperti; hm.

Alisya tersenyum melihat Sally berusaha keras mengajak putranya bicara banyak hal. Dia saja sebagai Bunda tidak memiliki bakat itu, terkadang dia berfikir Veen mengasingkan diri pada awalnya. Bahkan pernah membawa putranya tes mental.

Dia takut mental putranya memgalami gangguan, ternyata tidak. Sifat putranya memang sudah begitu, entah menurun dari siapa dia kurang tahu.

Veen mendudukan Sally di kursi dekat tempat duduknya. Ardi langsung pamit kembali ke kantor setelah selesai mengantarkan Veen pulang ke rumah dengan selamat.

"Mau makan apa?"

Alisya memberikan godaan, "Kamu selalu nanyain apa yang mau di makan Sally, tapi enggak pernah tanyain apa yang pengen Bunda makan. Bunda cemburu loh."

Menatap ibunya lugu, Veen memberikan jawaban yang memang terpikirkan di kepalanya, "Bunda punya Ayah, kenapa harus Veen yang tanyain Bunda mau makan apa?"

Alisya hampir tersandung saat akan duduk. Putranya sekali membuka mulut bisa-bisa mengeluarkan kalimat tajam menusuk.

Sally menarik baju Veen, "Mau ayam, mau ayam!"

Veen kembali fokus pada sosok kecil di sampingnya, mengambilkan nasi dan dua potong paha ayam. Kemudian meletakkannya di atas piring Sally.

Alisya diam-diam tersenyum, Taehyung memberikan tawaran menjodohkan keduanya putra-putri mereka, dia sendiri setuju dan Ardi juga setuju. Namun hatinya merasa kurang nyaman jika membuat keputusan sepihak untuk putranya.

Dia takut ketika beranjak dewasa, hubungan dua anak kecil ini tak lebih dari sekedar kakak-adik, begitu pula kasih sayang di antara keduanya.

Malam ini dia berniat berbicara dengan Veen, apakah ingin di jodohkan dengan Sally.

Anak-anak selesai makan lebih dulu, mereka pamit dan berjalan bersama menuju taman komplek, letaknya berada di paling ujung pojok kanan.

Tamannya tidak terlalu luas, tapi cukup lumayan untuk di jadikan tempat bermain semua anak-anak di dalam komplek.

Di komplek, Veen mempunyai dua sahabat dekat, Galen dan Juan. Dua sahabatnya ternyata sudah berada di ayunan taman, bergantian untuk saling mendorong.

"Veen, mau itu," jari telunjuk kecilnya menunjuk ayunan. Veen mengangguk, membawa tubuh Sally masuk ke gendongannya lagi. Melangkah perlahan mendekati ayunan kosong di samping Galen.

Juan melambaikan tangan tinggi melihat Veen datang bersama Sally, "Hai Sally!" Sapanya riang. Galen ikut melambaikan tangan seraya tersenyum manis, membuat matanya nampak semakin sipit.

"Hai Kak Juan, Kak Galen!" Balas Sally tak kalah riang, senyum manisnya mengembang begitu indah. Matanya yang lebar menyerupai anggur mengkilap di musim gugur, manik mata caramel bening terlihat transparan di bawah kilauan sinar mentari.

Veen segera membawa Sally, berbisik pelan di samping telinga Sally, "Jangan temenan sama mereka."

Di tengah berusaha duduk di kayu ayunan, Sally bertanya bingung, "Kenapa?"

"Sally cuman boleh temenan sama Veen."

Mengerucutkan bibirnya sejenak, kepalanya menggeleng sebagai jawaban setuju. Apa yang di katakan Veen baginya adalah yang terbaik untuknya, perintah Veen seperti perintah kedua orang tuanya sendiri.

***

"Veen..."

"Veen..."

"Veen..."

Puluhan kali Sally terduduk di atas lantai, menghadap kursi tempat Veen duduk dan belajar. Ujung baju tidurnya di tarik semenjak Sally datang kemari malam-malam begini dengan alasan ingin tidur bersama Veen.

Tapi malam ini dia mempunyai banyak sekali pekerjaan rumah, belum lagi dia teramat ingin membaca buku tentang psikolog lagi yang kemarin malam sempat terhenti sebab harus tidur awal.

Malam ini Sally datang dan sudah bisa di tebak, dia tidak bisa membaca buku ataupun mengerjakan soal dengan tenang.

Menarik nafas dalam-dalam, Veen melepaskan cekalan mungil Sally dari ujung bajunya, menggendong tubuh di bawah dan membawanya ke atas pangkuan.

Memangku Sally membuatnya sedikit terganggu, tapi tidak ada cara lain untuk membuat Sally tetap diam dan berhenti mengganggu dia belajar.

"Veen, ayo main, ayo main," rengeknya lagi, kini berganti menarik-natik kerah piyama merah tua yang di kenakan Veen.

Ingin mengeluh namun memilih menahan, Veen memutar kepala bunda Sally menghadap ke jajaran banyak sekali buku di atas meja belajar. "Kamu tau apa ini semua?"

"Buku."

"Kamu tahu Veen sekolah itu buat belajar?"

Sally mengangguk-angguk.

"Kalau kamu tahu, tolong berhenti sebentar. Veen perlu ngerjain semua pekerjaan rumah dari ibu guru sama bapak guru, kalau Veen nggak ngerjain, nanti bisa kena marah. Kamu mau Veen di marahin karena nggak belajar?"

"Gak mau! Bapak ibu guru jahat karena marahin Veen!"

"Mereka bukan orang jahat, mereka orang tua kita di sekolah. Mereka ingin kita jadi anak pinter, kalau kita jadi anak pinter, masa depan kita pasti bagus. Veen bisa beliin banyak boneka, permen, sama susu strawberry buat Sally nantinya."

Sally mengangguk lagi, memeluk leher Veen, menyandarkan kepalanya disana, "Mau tidur aja."

"Hm, mimpi indah."

Satu jam berlalu cepat, Veen mengerjakan soal terakhir. Begitu selesai, ia meregangkan tangan lega. Menata semua buku sesuai jadwal dan menumpukan di tepian meja belajar.

Kakinya mendarat di atas lantai hati-hati, tangannya menyokong tubuh Sally yang masih menempel di badannya seperti koala menempel pada sang iduk.

Pintu kamar di buka oleh Alisya, wanita itu tersenyum melihat putranya kesusahan menidurkan Sally. Takut menganggu tidur anak perempuan tersebut.

"Veen, biar Bunda bantu." Ujarnya setengah berbisik, ikut takut membuat Sally terganggu dalam tidur.

"Iya."

Mengulurkan tangan meraih pinggang kecil Sally, Alisya menariknya, lalu menidurkannya lembut di atas ranjang. Tak lupa menaikan selimut mencapai leher Sally, memberikan ciuman di kening baru kemudian beralih memberikan ciuman di kening putranya sendiri.

"Lain kali nggak usah ngulang materi di sekolah, waktu belajar kamu jadi terlalu lama. Bunda takut kamu kurang tidur dan jatuh sakit."

Mengerti kekhawatiran Alisya, Veen menarik tangan kanan Bundanya, mengecup ringan di punggung tangan berkulit putih, "Bunda tenang aja, Veen bisa jaga kesehatan."

"Kamu ini.... Bunda pengen lihat kamu seperti anak lain seusia kamu yang manja sama Bunda, suka rewel pas di suruh belajar. Tapi waktu Bunda pikirin lagi, Bunda punya putra mandiri, dewasa, dan pengertian kayak kamu adalah hadiah terindah di hidup Bunda dan Ayah."

"Veen sayang Bunda," kedua tangannya terentang meminta pelukan, jarang melihat putranya bisa manja, Alisya memeluknya dengan bahagia, membawa tubuh Veen melayang masuk ke dalam gendongan. Berjalan mendekati bibir ranjang, meletakan buah hati tunggalnya di samping Sally.

Lampu kamar meredup menyisakan satu lampu mini di atas nakas sebagai sumber cahaya temaram dalam ruangan. Veen juga sadar dirinya terlihat berbeda dari anak lainnya, dia susah bergaul dan kurang suka berbicara banyak hal. Rasanya lebih menyenangkan bersama dengan kesendirian di temani setumpuk buku.

Menempelkan tubuhnya ke tubuh hangat Sally, dia memeluk tubuh itu erat. Mencium rambut wangi beraroma strawberry lalu menutup matanya mencoba terlelap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top