#. Side Story Seven

14 Juli 2020

Hari MOS yang pertama mengharuskan semua peserta didik baru datang lebih awal, di larang terlambat barang satu menit.

Galen dan Juan berjalan di belakang Veen. Saling sikut-menyikut.

Galen berbisik, "Lo cepetan tanya sama dia anjir tai kuda."

"Congor bebek nyuruh-nyuruh mulu, mending lo sendiri yang tanya sama dia."

Veen mendengar bisik-bisik dua sahabatnya. Mereka tidak bisa di anggap saling berbisik mengingat seberapa keras volume mereka.

"Tanyain langsung, bisik-bisik nggak ada guna." Tukas Veen, membuat dua orang di belakang kicep.

Juan tergagap, "I-itu, lo, anu, itu, Sal-Sally...."

"Jangan gagap podoh!" Ketus Galen.

"Diam ngepet! Itu lo sama Sally seriusan batal tunangan?"

"Ya."

"Tapi—"

"Veen!" Teriakan melengking datang dari lorong belakang. Mereka bertiga serempak menoleh, Veen adalah orang pertama yang menyambut Sela dengan senyuman manis.

Juan maupun Galen pergi tanpa bicara lagi, manjauhi dua pasangan baru— bisakah di sebut baru? Veen dan Sela telah menjalin hubungan kurang lebih setengah tahun. Begitu kata Veen.

Mereka pikir Veen dekat dengan Sela karena keduanya Ketua Osis dan sekertaris umum. Wakil Ketua Osis SMA 1 Cakrawala itu tidak bertanggung jawab, teledor dan tidak patut di contoh. Sangat berandal. Mentang-mentang putra pemilik sekolahan.

Jika kalian bingung dari mana jabatan Waketos didapat, maka semua murid dan guru akan berkata serempak bahwa itu semua karena kekuasaan Bram Alderion sebagai pemilik sekolah—yang berharap putranya bisa menjadi lebih bertanggung jawab ketika diberi beban besar dan tugas penting semasa sekolah.

Namun nyatanya sama saja.

Jadi urusan Osis selalu Veen berserta Sela yang mengurus sampai tuntas. Galen dan Juan berpikir positif, mungkin karena Wakil Ketua Osis tidak dapat di andalkan, maka jabatan sekretaris utama sangat di perlukan di setiap saat. Membuat keduanya selalu bersama.

Bel berbunyi tiga kali pertanda waktunya membentuk barisan. Semua anak-anak berkumpul membentuk barisan rapi sesuai arahan pengurus Osis.

Dari arah gerbang, Sally datang setengah berlari. Pagi ini Papanya dan Mamanya bertengkar, sekarang kedua orang tuanya berani mengekspos pertengkaran mereka di hadapan Sally. Matanya memerah, membekas nyata sehabis menangis.

Salah satu pengurus osis menghentikan Sally, "Kamu terlambat, harus masuk ke barisan anak terlambat di lapangan bola basket dan lari lapangan lima kali."

Sally menerima tanpa bantahan, "Iya, kak. Maaf ya Sally telat, lapangannya dimana?"

"Di sana."

"Makasih, kak. Semoga hari kakak baik hari ini."

Pemuda tadi terbatuk pelan, salting di berikan ucapan manis oleh gadis cantik nan lembut dan ramah.

"Sama-sama," nyatanya Sally telah berlari menuju lapangan, pemuda tadi berteriak, "DEK! NAMA KAMU SIAPA?"

Sally berhenti berlari, membalas dengan teriakan juga, "SALLYANA RATU MENTARI, KAK!" Lalu berlari kembali menuju lapangan bola basket untuk menerima hukuman.

Dari gerbang, datang Wakil Ketua Osis, hal yang sangat langka seorang Vino Alderion mau datang ke acara resmi sekolahan. Rapat saja sering membolos.

"Vino?"

Vino membuka kaca helmnya, "Apa?"

"Gak, tumben aja lo mau nongol di acara kek gini."

Vino menarik gas, memainkannya, mulutnya mengunyah permen karet, "Pengen nonton adek kelas baru, siapa tahu ada yang cantik-cantik manis lugu, bisa di ecengin buat jadiin mainan baru."

Tio— pemuda penjaga gerbang jadi ingat dengan Sally, "Gue ada nih, tadi anaknya telat jadi sekarang mungkin udah kumpul di lapangan bola basket. Anaknya manis, lembut, ramah lagi, keliatan polos. Namanya Sallyana Ratu Mentari, lo pasti pernah denger ini juga, kan? Dari gosipan anak-anak cewek yang satu komplek plus satu SD sampai satu SMP sama Veen bilang, Sally itu tunangan Veen. Tapi Veen jadian sama Selia, lo mikir Veen bejat? Mana rumornya Sally-Sally itu kelahiran 2006. Masih kecil bos."

Senyuman sinis berbahaya timbul di bibir Vino, "Lebih bejat dari gue. Thanks buat infonya, lo minta apa aja gue bayarin. Tinggal kirim tagihan ke whatsapp."

Tio menepuk bahu Vino bahagia, "Asik! Orang yang bilang elo sombong mah salah semua, baik hati gini!"

Vino enggan menjawab. Memasukan satu gigi, melaju menuju parkiran sepeda motor murid. Tujuannya adalah lapangan bola basket.

***

"Yang paling belakang! Larinya cepetin, mau di tambah? Jangan pura-pura loyo buat di kasihanin!" Teriakan Veen menggelegar keras di pohon dekat lapangan bola basket. Gadis di urutan belalang menutupi keningnya dengan tangan, membuat wajahnya tak nampak.

Vino datang dari lorong, iris hitamnya meneliti lapangan bola basket. Menemukan Sally ternyata mudah. Semua peserta didik baru yang terlambat kebanyakan lelaki, perempuan ada, tapi hanya tiga dengan duanya bertubuh gempal.

Tio menggambarkan Sally gadis cantik. Jadi sudah jelas Sally gadis yang kurus. Kejelian mata Vino tak bisa di ragukan, tubuh gadis itu nampak oleng samar. Dia melepaskan tas hingga terjatuh ke lantai.

Berlari secepat kilat menuju lapangan, menangkap tubuh lemas Sally. Anak ini jatuh pingsan!

Veen berteriak, "Vino?!"

"Mata lo tolol?! Hukum boleh, tapi jangan sampai buat anak orang kesakitan. Kita di sini mendisiplinkan, bukan memberikan penyiksaan!" Cerocos Vino kesal, Veen dan Vino terkenal tidak akur sama lain.

Veen belum sadar siapa gadis yang pingsan tadi, jadi dia membalas marah, "Aturan tetap aturan. Peserta didik harus memiliki rasa disiplin selama memasuki lingkungan sekolah. Jangan salahin sekolahan, tapi salahin mereka sendiri yang nekat telat meski sudah di beri info jam masuk MOS hari pertama."

"Ma-maaf kak, Sally memang salah karena telat." Suaranya terdengar lemah dan serak, kesehatan Sally memburuk satu minggu terakhir ini. Dia jarang makan, sering menangis, pola tidurnya juga acak. Dia sengaja menutupi wajahnya seolah sedang menghalau panas matahari, padahal dia takut bertatapan muka lagi dengan Veen.

Dia.... belum siap melihat Veen dalam bentuk baru. Tidak lagi mementingkan dia sebagai Ratu dunia.

Veen terlihat tertegun sejenak mendengar suara familiar itu. Manik matanya merunduk menatap gadis yang pingsan tadi. Itu adalah Sally, gadis tersebut masuk ke SMA ini? Mengapa dia tidak tahu? Tentu saja dia tidak tahu jika semua telefon Sally saja selalu ia abaikan. Selia cemburu melihat dia masih berhubungan dengan Sally.

Vino tersenyum sinis, "Ayo, kakak bantu kamu."

Sally menggeleng lemah, "Enggak, kak. Makasih, ya udah nangkep Sally, kalau kakak nggak ada, mungkin Sally jatuh kejedot ini nih," tangan putihnya yang pucat menepuk lantai lapangan bola basket. "Pasti sakit banget, hukuman Sally juga masih belum tuntas. Nanti anak-anak lain iri sama Sally kalau berhenti di tengah jalan karena capek, semua anak-anak yang di hukum juga capek. Takutnya enggak adil, nanti nama Osis jadi buruk karena Sally."

Vino ingin merobek kepala Sally, melihat pola berfikir gadis ini. Dia membawa Sally paksa ke pinggiran lapangan. Vino berseru lantang, ingin semua orang mendengar suaranya, "GUE GANTIIN SALLY NERIMA HUKUMAN LARI LAPANGAN. KALAU ADA YANG PROTES, BISA LANGSUNG DATENG KE GUE!!!" Mana ada yang berani pada Vino.

Veen melirik sekilas Sally di seberang, sudah lama dia tidak melihat wajah cantiknya secara langsung. Kemudian berlarih menatap Vino, "HUKUMAN ANGGOTA OSIS KARENA TERLAMBAT DATANG. LARI KELILING LAPANGAN SEPULUH KALI!"

Sally membelalak, ingik berdiri, akan tetapi tubuhnya terasa sangat lemas. Dia belum sarapan tadi pagi, hanya meminum segelas susu buatan Juwi.

Sela segera datang ke lapangan mendengar teriakan Vino menyebut nama Sally. Hatinya was-was, gusar dan riuh di dalam. Dia takut Veen berpusat kepada Sally.

Vino menyanggupi, berlari lima belas kali keliling lapangan basket adalah hal kecil baginya. Dia senang berlari, sepatutnya, angka limas belas tidak membuat dia gentar sama sekali.

Sally sungkan, menatap Vino seperti sedang melihat pahlawan, mata kucingnya membola mengeluarkan genangan air mata. Mentari pagi membiaskan cahaya silaunya ke mata beriris caramel lembut tersebut, menciptakan tanda kilauan bintang. Indah dan suci di saat bersamaan.

Vino hampir sana terjungkal melihat mata itu. Linglung sejenak. Dia— agak ragu menjadikan gadis kecil ini sebagai mainan. Di hitung dari tahun lahirnya sesuai perkataan Tio, maka Sally baru berusia sekitar 14 tahunan. Masih sangat muda dan terlalu naif untuk dia kelabuhi.

"Kak, maaf ya kak. Sally repotin kakak, kakak juga jadi kena marah Veen."

"Lo panggil dia siapa?" Vino membeo.

"Veen, ada yang salah, kak?"

"Enggak, dia lebih tua dari lo. Sepantaran sama gue, harusnya lo manggil dia kakak."

"Veen yang minta Sally manggil cuma pakai nama."

Gadis manis ini ternyata memang sangat penting di hidup Veen sebelumnya. Vino tersenyum lagi, wajah rupawannya bisa di katakan seimbang dengan milik Veen.

Sally merunduk, anak remaja mana yang tidak malu melihat senyum pemuda tampan seperti Vino?

"Kenapa nunduk?"

"Sally takut Kak Vino lihat pipi Sally, kalau malu suka merah. Takutnya keliatan jelek."

Semenjak pertemuan pertama Vino dan Sally. Semua orang di sekolah tidak ada yang berani membully Sally atau membuat gadis itu tidak nyaman di sekolah, di kelas sekalipun.

Setitik saja mereka meninggalkan kesan buruk di hati Sally, maka bersiap saja menerima ancaman mematikan— ah tidak, maksudnya gangguan menyebalkan Vino yang mampu membuat kalian memilih keluar dari sekolah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top