#. Side Story Five
12 Mei 2019
Sally membuka pintu rumah Veen, menyembulkan kepala ke dalam, melihat seluruh susana di ruang lantai satu. Sepi, tak ada satupun tanda jika Alisya di rumah.
Veen sedang berada di kamar belajar, Sally menebak saja, hari ini Veen harus Ujian Nasional, dan mendapatkan jadwal Ujian sore yang di mulai pukul 13.00 Wib.
Sekarang masih pukul 09.45 Wib.
"Bunda!" Teriaknya, menutup pintu kemudian dan berjalan masuk. Kepalanya masih menoleh kesana-kemari melihat sekitar.
Menggaruk kepala, sepertinya Alisya memang sedang tidak ada di rumah. Gadis itu menaiki tangga dengan langkah cepat karena rasa senang.
Membuka pintu putih bertuliskan Rajangga sesuai sampai di sana. Perlahan, gambaran kamar terlihat sedikit demi sedikit hingga terlihat sempurna. Di dalam kamar sangat berantakan, buku berceceran dimana-mana.
Veen sedang duduk di tengah ranjang, membawa dua buku di tangan kanan dan kirinya. Manik mata hitam pekatnya terlihat gelisah, menatap bergantian satu buku ke buku lain. Bahkan tidak menyadari kehadiran Sally di dalam kamarnya.
Sally mendekat, meloncat-loncat menghindari menginjak salah satu buku secara tidak sengaja. "Veen," panggilnya setengah ribut.
Veen tidak menjawab, tidak menoleh jua, tetap diam terfokus pada buku di tangannya. Seakan dunia ini hanya ada dirinya seorang.
"Veen," panggilnya lagi, kini di sertai celokan di bahu pemuda itu.
Barulah Veen menatapnya, "Kamu ngapain ke sini?"
"Mau ngajak kamu ke suatu tempat, sebentar aja, nggak lama, seriusan. Sebentarrr aja, pokoknya sebentar. Nggak akan lama. Mau ya?" Kedua tangannya terkatup, memohon melas. Wajahnya di buat seimut mungkin agar Veen bisa luluh.
Untuk kali ini, jurus kemanisan apapaun tidak bisa menembua keteguhan hati Veen.
"Kamu pergi sendiri dulu kali ini, aku perlu belajar. Kemarin malam nggak bisa hafalan karena pusing, jadi hari ini pergi sendiri dulu."
"Enggak mau, tempat ini khusus buat Veen, lihat aja, sebentar doang. Ya, ya, ya?"
Veen menarik nafas panjang, menghembuskan kasar. Menulikan indra pendengaran, mengacuhkan semua rengekan menyebalkan Sally.
"Veen ayo, ayo, ayo, sebentaran doang, ayo!!"
"Veen, Sally mohon, ya? Abis ke tempat itu pasti kamu langsung semangat belajar dan dapet nilai bagus!"
Kepala pemuda di tengah nampak menggeleng.
Sally juga tak mau kalah, lantaran dia banyak menghabiskan waktu dan uang tabungannya untuk menyiapkan kejutan ini dengan di bantu teman-temannya dari sekolah.
"Veen.... ayo ..."
"Veen.... mau ya? Mau ya? Mau ya?"
Lengannya memeluk lengan Veen yang terlapisi baju lengan panjang hitam. Menariknya main-main, mengakibatkan buku di tangan Veen bergoyang-goyang, sang empu jadi kesusahan membaca materi.
"SALLY BERHENTI!"
Mata bundar Sally mengerjap, masih berada di tahap penerimaan suara kasar pertama kali seorang Veen. Lengannya perlahan melepas cekalan. Merunduk takut, kemarahan Veen terlihat menyeramkan.
"Kalau gitu Sally pulang dulu," ucap Sally buru-buru, berlari keluar tanpa menghiraukan kakinya menginjak-injak buku sekolah Veen yang berserakan di atas lantai.
Perkataan minta maaf yang baru saja ingin di ucapkan oleh Veen kembali tertelan masuk ke tenggorokan melihat Sally justru pulang dengan takut. Memijat keningnya, Veen kembali melanjutkan membaca materi.
Beberapa hari ini, otaknya lumayan susah di buat untuk belajar. Setiap kata yang dia baca susah untuk di pahami, perlu membaca paling tidak 3x baru dia bisa memahami secara benar.
Hal ini juga membuat emosinya tidak stabil, dia kesal dan takut mengalami kendala di tengah ujian. Dia khawatir mendapatkan nilai kurang memuaskan dan membuat orang tuanya kecewa.
Ardi menaruh harapan besar di pundaknya.
***
"Selamat datang—"
Teman-teman Sally berhenti, raut wajah mereka terlihat bingung.
Mina bertanya lebih dahulu setelah tak menemukan Veen di sisi kawannya, "Veen mana Sal?"
"Kalian bisa pulang, maaf Sally udah repotin kalian."
Airin menaikan satu alisnya belum paham, "Ngapain nyuruh kita pulang? Bukannya tadi lo bilang kita harus di sini bantuin lo, dan sambut Veen?"
Joy menyikut pinggang Airin, "Okei, kita balik dulu kalau gitu ya, Sal."
Menarik Airin dan Mija berbarengan, Joy menyeret dua sahabatnya yang masih ingin menanyai lebih lanjut lagi. Tidakkah mereka melihat raut sedih Sally?
Hari ini adalah hari dimana mereka pertama kali saling bertemu. Sally menandai tanggal 12 Mei seusai bertanya kepada Juwi, kapan pertama kali dia dan Veen bertemu.
Sally baru pertama kali ini melakukan perayaan hari pertama kali mereka bertemu. Karena dia memang baru mendapatkan ide ini belum lama, masih baru-baru.
Awalnya dia pikir bisa membuat Veen senang dengan membuat semua ini, dan paling tidak, rasa takut Veen akan menghadapi ujian bisa sedikit mereda.
Tapi yang dia dapat malah bentakan keras untuk pertama kalinya. Jujur, Sally marah, selama ini Veen selalu baik dan menuruti permintaannya. Di dukung pemikirannya yang masih kekanak-kanakan dan manja. Dia marah pada Veen.
Kakinya berjalan memutari meja berisi kue belian di toko dekat komplek, dia duduk di kursi sendirian, termenung menatap kue bertuliskan SALLVEEN.
Cakrawala mulai menjingga, Sally setia duduk sendirian di kursi, merenungi sembari melamun dengan manik mata menatap permukaan kue lekat-lekat.
***
"Kamu lihat anakku?" Juwi nampak khawatir, wajahnya sangat cemas.
Alisya menjawab, "Aku nggak tahu, memangnya dia pamit kemana?"
"Dia pamit ke rumah kamu, aku telfon nggak di angkat. Udah dari tadi pagi, aku khawatir, Taehyung lagi di luar kota."
Mobil Ardi memasuki halaman rumah, sosoknya keluar dari pintu kanan jok depan. Wajah tampannya lesu dan lelah.
Melihat Juwi di depan bersama istrinya, Ardi bingung. Lantrasan raut wajah Juwi terlihat sangat khawatir.
"Ada apa?" Tanya dia sesampainya di depan dua wanita itu.
Alisya memberikan pejelasan dari awal hingga akhir.
"Coba kamu tanya Veen, mungkin dia tahu putri kamu ada di mana."
Usai bicara seperti itu. Veen datang menaiki motor ninja hitam kesayangannya, tubuh tingginya menuruni sepeda motor; mudah.
Ikut bingung melihat raut tak sedap Juwi.
"Mama kenapa keliatan khawatir?"
"Sally belum ada kabar. Kamu tahu dia dimana?"
"Veen kurang tahu Sally ada dimana."
Ekspresi Juwi makin kelam di telan kekhawatiran. Alisya menenangkannya, menyuruh Ardi dan Veen pergi mencari Sally bersama.
"Yah, mending Ayah di rumah aja. Biar Veen yang cari Sally, Ayah pasti capek habis kerja."
Mendapatkan kesempatan istirahat lebih awal tentu tak mungkin Ardi tolak, ia melemparkan kunci mobil ke arah putranya, "Hati-hati, cari Sally di tempat biasa kalian main berdua. Mungkin dia ada di sana sama temen-temennya, main bareng sampai lupa waktu."
"Hm."
Veen masuk ke dalam mobil, memutar setir mengarahkan mobil keluar dari halaman rumah. Membelah jalan raya yang tampak sepi di sore mendung. Mungkin Sally marah karena dia bentak tadi siang.
Terkadang Veen merasa jengah akan sifat manja Sally dan kurang bisa memahami keadaan maupun situasi, tepat atau tidak untuk bermain-main. Dia juga tak bermaksud membuat gadis itu takut.
Memarkirkan mobil di dekat gapura memasuki gang kecil, Veen berlari untuk melanjutkan perjalanan, kakinya melompat; mengambil langkah panjang. Dia sampai tak cukup lama di hutan yang minim pepohonan.
Ada rumah pohon di sisi bagian kiri, lalu di bawahnya ada lapangan beralas tanah merah. Veen sering bermain basket di sini bersama Galen dan Juan. Dan di sebelah kanan, ada ayunan kayu yang di buat oleh dirinya bersama dua sahabat, yang di peruntukan khusus untuk Sally bermain.
Di lokasi sekitar ayunan, terhias sangat cantik dan indah. Kain putih berpola melintang mengikati dahan-dahan pohon, balon terpasang di setiap pertemuan antar tali. Meja bunda bertaplak kain putih berdiri di tengah-tengah, kue berukuran sedang berada di atasnya, dan Sally duduk sendirian sembari melamun.
Tidak menyadari kedatangan Veen.
Pemuda tersebut sampai di depannya, mengulurkan tangan menyentuh kening Sally yang tertunduk, mengetuk ringan di sana.
Sally mendongak, matanya merah sehabis menangis, penglihatannya sedikit buram. "Veen?"
"Puas bikin khawatir semua orang?"
"Sally—" Tenggorokannya kering, terasa sakit ketika di gunakan berbicara. Suara yang di hasilnya juga pecah dan serak, sangat tidak menyenangkan di dengar telinga.
"Aku minta maaf, maaf karena ngebentak Sally tadi siang. Veen nggak bermaksud marahin kamu." Hiburnya, berjongkok di samping kursi tempat Sally duduk. Tangan kirinya terangkat kemudian mendarat di pipi berisi tunangannya. "Maaf karena telah membuat Ratu menangis. Raja di maafkan?"
"Em, di maafin. Sally nggak bisa marah lama-lama sama kamu." Air matanya mengalir lagi. Ingusnya pun tidak menahan untuk tidak ikut keluar.
Veen terkekeh geli, berdiri, ingin mengelap ingus Sally menggunakan ujung seragamnya.
"Ih, jorok!"
"Tapi ingus kamu melambai-lambai."
Rasa malu menghantam Sally kejam, dia merunduk, "Di lap sendiri aja. Seragam Veen bau asem."
Karena gadisnya merasa malu, Veen mengubah topik pembicaraan, berkata mengenai tempat indah ini, "Kamu yang dekorasi semua ini untuk aku?"
Sally selesai mengelap ingus dan air matanya, mengangguk seperti anak kucing penurut.
"Ngapain buat kejutan kayak gini? Aku dan kamu nggak ulang tahun."
"Dua belas Mei; hari pertama kita ketemu waktu Sally tanya sama Mama. Sally mau kasih kejutan dan merayakan hari ini sama-sama sebentar aja, Sally pikir mungkin setelah lihat ini, rasa khawatir dan takut kamu saat menghadapi ujian bisa berkurang. Sally sama sekali nggak ada maksud buat ganggu kamu belajar."
Wajah Veen melembut, lembut melebihi kelembutan tekstur permen kapas, penampakan manis melebihi manisnya madu terbaik di dunia. Ia memeluk Sally, "Pulang nanti langsung istirahat, kamu pasti lelah. Terima kasih untuk semua ini, dan terima kasih karena masih mau menjadi Lentera Cahaya Mentari teruntuk Raja sampai detik ini."
"Hu'um." Wajahnya terangkat menatap wajah menawan kekasihnya, "Karena Mentari ada untuk menerangi hidup Raja. Membawa cahaya hangat kelembutan di tengah badai dingin dan kegelapan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top