#8. Perasaan

"Sekuat apapun aku mencoba membentengi rasa ini, hatiku tetap berharap untuk bisa memilikimu seorang diri." | Veen Darendra Mahardika.


Hari ini adalah hari Jum'at, hari terakhir masuk sekolah dalam satu minggu karena Sabtu dan Minggu adalah hari libur. Anak-anak SMA Cakrawala Nusantara bersemangat untuk pulang ketika bel pulang sekolah berbunyi.

Dan hari ini adalah hari sulit bagi Sally untuk pertama kalinya setelah sekolah 2 tahun, tadi saat di toilet, dia di lempari telur busuk oleh anak-anak keluarga kaya. Ia tidak bisa melawan, karena di belakang gadis-gadis tolol tersebut ada nama keluarga ternama.

Sedangkan dia sudah tidak ada pendukung, banyak media massa yang meliput perpecahan keluarga Amaranggana dengan Sally telah memutuskan hubungan lebih dulu.

Banyak yang menjudge Sally anak buruk, tentu pendapat ini lahir dari orang-orang yang memang tidak menyukai Sally. Meski anak-anak keluarga kaya menghindari dirinya, berbisik diam-diam di belakang punggungnya, Sally tetap tidak perduli.

Apakah dia akan menjadi miskin hanya karena bisikan buruk orang lain?

Tidak bukan? Sally cukup acuh. Jika kau selalu termenung dalam kata-kata buruk orang lain terhadap dirimu, maka kapan dirimu akan merasa bahagia?

Hidup ini adalah hidup kita sendiri. Mereka berbisik di punggung kita bukanlah masalah besar, karena kita juga tidak bisa mengendalikan kebencian manusia. Setiap orang memiliki mulut, dan mulut lebih sering berkata buruk terhadap orang lain daripada berkata baik untuk orang lain.

Sungguh, sangat tidak berguna hidup bila hanya digunakan untuk berusaha membuat semua mulut melontarkan pujian kepadamu, tidak berfikir saat dirimu jatuh dalam keadaan buruk. Mulut yang dulunya berucap baik akan berucap buruk, sangat buruk sampai hatimu terluka cukup lama oleh sebuah kata.

Ini bukan dugaan, tapi ini adalah kenyataan di dalam masyarakat.

Dewa berjalan di belakang Sally, memberikan tatapan tajam bagi siapapun yang berani berbisik-bisik mengenai Sally.

Mereka mungkin berani mencela Sally, namun untuk Dewa Ajiwangsa, mereka harus berfikir puluhan kali sebelum benar-benar yakin ingin kehilangan kenyamanan hidup di sekolah.

"Dewa, lo ngapain di belakang gue terus, sih?" Sally berhenti berjalan, berbalik menatap Dewa di belakangnya. Sedari tadi mengekorinya tanpa henti.

Dewa mengangkat bahu tidak tahu, "Kebiasaan dari dulu."

Sally memutar matanya jengah, "Jalan di deket gue, percuma lo pelototin mereka semua. Mulut mereka nggak akan bisa berhenti permanen setelah lo tatep kayak gitu."

"Gue nggak suka mereka bisik-bisik tentang lo, Sal."

"Gue tau," Sally menghela. Sedikit tidak nyaman terhadap perilaku penuh perhatian dari Dewa.

Dia sudah tau Dewa mencintainya, hanya saja saat ini kesenjangan di antara keduanya terlalu kentara. Keluarga Ajiwangsa pasti sudah tidak akan menerima Sally sebagai calon menantu.

"Ayo pulang." Ajak Veen, muncul entah dari mana dan sudah berdiri di samping Dewa. Menyaut tanpa sopan santun.

Dewa menatap tidak suka, sudah bagus Veen selalu acuh pada Sally. Kenapa si tengil ini sekarang mengajak Sally pulang bersama?

"Gue pulang sendiri." Tolak Sally, tidak memberikan wajah untuk Veen di depan banyak orang.

Veen juga tidak marah, dia kembali mengajak, "Ayo pulang bareng gue."

"Gua bisa-"

"Mama yang minta."

Sally menyipitkan mata, menatap Veen berang. Sialan, dia menggunakan Mama Vira untuk menuruti semua kata-katanya? Huh!

Itu sangat berhasil! Sally tidak bisa menolak apapun bila sudah berkaitan dengan Mama Vira.

Dewa menarik salah satu lengan Sally, mengabaikan tatapan mata banyak orang di sekitar. Menonton mereka bertiga seperti menonton cinta segitiga.

"Sal, lo udah janji mau nemenin gue beli lensa."

Veen menilik Dewa, ikut menarik salah satu lengan Sally yang menganggur, "Perintah orang tua pamali di lawan. Sally harus pergi sama gue."

"Bilang aja lo mau ngajak Sally pergi dengan alesan itu, basi," cibirnya.

Sally menghentakan tangan, menatap kesal dua pemuda di depannya, "Jangan pegang-pegang! Dewa, besok aja kita pergi cari lensa, ya? Gue gak bisa nolak Mama Vira."

"Yaudah."

Dewa menarik tubuh Sally masuk ke dalam pelukan hangatnya, iris pekatnya melirik Veen mengisyaratkan siapa pemilik gadis ini.

Veen tidak menanggapi, memasang ekspresi dingin dan acuh tak acuh seperti biasanya. Ekspresi pemberi kesan misterius, mampu menjerat kaum hawa dalam sekali tatap.

"Udah, jangan lebay. Pakai peluk-peluk segala, gue mau ke rumah Mama Vira. Bukan mau pergi perang," sewot Sally. Mendorong Dewa, melepas pelukan di antara keduanya.

Tepat di ujung lorong lantai satu, Aruna memegang erat tali ranselnya. Merasakan sedih di hati, Veen tidak bisa pulang dengan dirinya karena Mama Vira ingin bertemu Sally di rumah.

Veen sudah meminta maaf sebelumnya dan menjelaskan semuanya, kekesalan Aruna sedikit mereda karena penjelasan dari sang kekasih. Faktanya, Mama Vira tidak terlalu menyukai Aruna entah sebab apa.

Perilaku kekasihnya yang berusaha mengajak Sally pergi, membuat kejadian tersebut nampak seperti cinta segitiga di mata Aruna. Begitu juga di tatapan anak murid lain.

Beberapa orang melirik Aruna, memastikan apakah gadis lembut itu akan marah melihat Veen pergi bersama Sally.

Sejak dulu, Aruna terkenal sabar dan lemah lembut. Saat ini cap tersebut tidak berlaku, ekspresi kesal Aruna tidak bisa tertutupi lagi.

Kulit putihnya memerah menahan marah, ia pergi meninggalkan sekolahan. Membawa kekesalan di dalam hati bersama lajunya langkah kaki. Tidak ingin melihat lebih lama interaksi Veen bersama Sally yang menyayat hati.

***

"Assalamu'alaikum Ma, Veen pulang."

"Wa'alaikumussalam. Eh, Sally!"

"Mama Vira!"

Vira berjalan mendekati Sally, memeluk putri kesayangannya. Dia merasa iba melihat bekas memar di wajah Sally, "Sakit ya, wajahnya?" Tanyanya.

"Enggak kok," senyuman terpatri di bibir Sally, tidak ingin membuat wanita kesayangannya khawatir, "Sally kuat."

Veen sudah lebih dulu naik ke lantai atas, berganti pakaian dan bersiap sholat ashar.

Vira menuntun Sally menuju meja makan, mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta beberapa lauk masakannya sendiri.

Sally merasa perutnya akan meledak melihat makanan yang di ambilkan Vira, lambungnya tidak akan muat memakan semua itu. Dia mengeluh, "Ma, Sally nggak punya perut selebar gudang. Makanannya dikit aja, jangan banyak-banyak. Nanti mubazir kalau nggak habis."

"Harus di habisin, Mama tau, akhir-akhir ini hari yang sulit untuk putri kesayangan Mama. Pasti kamu juga melalaikan tugas untuk mengisi gizi dalam tubuh, sekarang makan ini semua baru sholat. Belum sholat, kan?"

"Belum, Ma."

"Nah, bareng Veen aja kalau gitu. Biar di imamin dia." Memutuskan secara sepihak, Vira berteriak membuat protes Sally teredam, "VEEN! MAKAN DULU! SHOLATNYA BARENG SAMA SALLY!"

Deheman keras muncul dari kamar atas, menjadi tanda jawaban dari Veen.

"Mama nggak sholat?" Sally berharap Mama Vira sholat. Rasanya akan sangat canggung sholat di imami Veen. Sudah lama terakhir kali mereka sholat berdua dengan Veen sebagai imam, Sally takut rasa masa lalu kembali bangkit, dia sudah susah payah menakan perasaan ini masuk ke dalam dasar hatinya yang paling dalam.

"Mama lagi halangan, makan yang banyak ya. Mama mau kembali ke dapur lagi. Malem ini nginep disini aja, Mama juga udah selesain semua pekerjaan di butik. Nanti malem bisa keluar bareng, udah lama kita nggak main bertiga."

Lagi-lagi, Sally menelan protesnya melihat Vira sudah pergi menuju dapur. Meninggalkan dirinya bersama piring berisi banyak makanan. Dia melahap makanan buatan Mama Vira, menghabiskan semua agar Mama Vira tidak sedih.

Merasakan kehangatan seorang ibu, Sally rindu dengan Sella. Ibu kandungnya memang jarang berbuat baik pada dirinya. Boleh di katakan, perbuatan baik seorang ibu untuk putrinya yang di lakukan Sella kepada Sally bisa di hitung menggunakan jari.

Tapi perasaan hangat itu akan tetap ada, Sally ingat masa di mana dia demam karena takut mengikuti lomba menggambar saat kelas 5. Di malam hari, Sella merawat dirinya, tertidur di samping ranjang dengan wajah lelah.

Sally bahagia mengetahui Sella telah merawatnya semalam saat itu.

Kebenciannya sedikit mereda mengingat kisah hangat di antara mereka berdua.

"Cepet masukin ke mulut lo, keburu di patok kucing," celetuk Veen, dia masih berjalan menuruni tangga.

"Hah?" Sally tersadar dari lamunan sedihnya, mendengar suara kucing tepat dari samping membuat ia menoleh. Ini adalah Kiki, kucing kesayangan Vira. Sally menjepit leher Kiki dan menurunkannya ke bawah, untung makanannya tidak di endus.

Veen dan Sally makan berdua di iringi kecanggungan. Vira mengintip dari dinding dapur, tersenyum melihat dua mutiara berharga miliknya bisa bersama.

Sally wudhu setelah selesai makan, berdiri tidak ada tenaga memakai mukena Mama Vira.

"Ngapain lo liat-liat?" Veen sangat terganggu oleh tatapan tajam Sally.

"Enggak, buruan mulai!" Titah Sally. Mengibaskan tangannya seperti ingin memukul kepala Veen dari belakang.

Veen memulai takbir, Sally di belakang mengikuti. Sampai di akhir, mereka mengucap salam, Sally buru-buru menarik sajadahnya sampai ke pojok kamar Veen. Dekat pintu.

Hal itu bertepatan ketika Veen menoleh kebelakang ingin bersalaman, "Kenapa jauh-jauh?"

"Dzikir jangan cerewet!" Kesal Sally. Dia masih belum bisa menetralkan detak jantungnya, sholat bersama Veen bukanlah pilihan tepat. Wajahnya memerah tanpa ia sadari.

Kegugupan Sally tidak luput dari penglihatan tajam seorang Veen Darendra, ia kembali menghadap kedepan dan berdzikir. Senyum lembut terbit di bibirnya.

Andai Veen bisa memberi tahu Sally tentang sebuah kebenaran yang dia sembunyikan selama ini, mungkinkah dia bisa menjadikan Sally sebagai gadisnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top