#7. Sebuah Hak

"Bukan maksudku melukaimu, aku hanya sadar dan memahami bahwa dirimu bukan hakku. Kamu adalah hak orang lain." |Veen Darendra Mahardika.


Veen mengulurkan tangan kanannya yang menenteng minuman hangat, "Buat lo."

"Nggak perlu," Sally menjawab jengkel. Sedikit mendengus pada akhir kalimat. Dia kembali memandang ke depan, tidak menganggap kehadiran Veen ada.

Penyebab besar dia sampai pada titik ini adalah Veen.

Andai sahabatnya tidak berubah, mungkin saat ini dia tidak akan merasa sedih. Namun, karena perubahan sikap Veen juga membawa manfaat bagi Sally.

Dia tumbuh dengan pemikiran yang lebih matang, mampu berfikir dewasa dalam setiap masalah, tidak bergantung lagi pada siapapun seperti sebelumnya. Dan akhirnya dia bisa melepas diri dari kekangan Amaranggana.

Sally tidak akan mencapai titik keberhasilan ini tanpa dorongan dari perubahan sifat Veen, akan tetapi tetap saja, dia masih sangat kesal dengan Veen.

Masa OSPEK 2 tahun lalu, pemuda itu menembak Aruna dengan menyanyikan sebuah lagu di atas panggung. Padahal Veen tahu, Sally duduk di samping Aruna.

Kebencian Sally pada Veen memasuki tahap pertama.

Kemudian, ketika dia, Aruna, dan Veen mendapatkan satu kelas yang sama. Veen selalu dingin pada dirinya, hanya memusatkan perhatian kepada Aruna.

Kebencian Sally pada Veen memasuki tahap kedua.

Dan sampai di titik masalah benar-benar berkobar. Waktu itu jam olahraga, para anak-anak perempuan bermain Voli. Sally tidak sengaja memukul bola terlalu keras hingga mengenai kepala Aruna.

Gadis itu pingsan, Veen memarahi dirinya habis-habisan. Bahkan sampai berkata kasar pada dia. Saat itu juga, dia tidak pernah menganggap Veen sahabatnya lagi.

Kebencian Sally pada Veen memasuki tahap tiga, mencapai puncaknya.

Di pertemuan alumni pun, Sally dan Veen berpisah. Membuat alumni SMP Cahaya 1 angkatan mereka melongo, tidak berharap dua manusia ini akan saling berjauhan.

"Sayang," Aruna memanggil dari belakang. Berhenti tepat di samping Veen, dia menenteng kantung plastik kecil berisi nasi goreng. Veen bilang Sally suka nasi goreng, jadi Aruna membelikan ini saat Veen membeli minuman hangat. "Sally, ini Aruna bawain nasi goreng. Veen bilang kamu suka nasi goreng, siapa tau suasana hati kamu jadi lebih ringan setelah makan ini."

Sally mendengus, berada di dekat Veen dan Aruna membuat Sally selalu ingin mendengus keras. Dia berdiri, "Nggak butuh, lo bawa pulang aja. Gue benci nasi goreng."

"Tapi-"

"Budek?"

"Jangan kasar sama cewek gue," Veen bersuara, membela kekasihnya. Dia menarik lengan Aruna dan menyembunyikannya di belakang punggung, berbisik pelan, "Una nunggu di mobil, ya?"

Aruna mengangguk, "Oke Veen."

Setelah mendengar pemberitahuan Madam Kian, Veen langsung berganti pakaian untuk kemudian pergi mencari Sally di tempat yang biasa gadis itu singgahi saat sedih.

Anggap saja, terkadang Veen suka mengikuti Sally dalam diam. Sehingga dia tau beberapa tempat yang sering di kunjungi Sally sesuai kondisi hatinya.

Setiap ada masalah, Veen selalu memberitahu Aruna. Jadi tidak heran Aruna bisa ikut sampai di tempat ini.

Sally mengalihkan tatapan, tidak sudi melihat dua kekasih penuh cinta. Apa mereka ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka adalah pasangan saling mencintai?

Selepas perginya Aruna, kini tersisa Veen dan Sally. Mereka berdua diam, tidak ada yang memulai berbicara. Akhirnya Sally sudah jengah, berbalik untuk pergi.

Langkahnya terhenti oleh pertanyaan mencengangkan Veen, "Gimana kabar lo?"

Sally tersenyum sinis, "Gimana kabar gue? Peduli apa lo? Pulang sana, urus pacar pendek lo yang suka nempel itu."

"Jaga mulut lo."

"Ini mulut gue, lo nggak ada hak ngasih aturan." Ia menendang kerikil di dekat kakinya. Surai hitamnya yang panjang tidak di ikat terbawa angin malam, menari bersama menghiasi wajah seindah bunga melati mekar. Sayang, terdapat beberapa bekas luka lebam baru di wajah Sally.

Veen meletakkan minuman ke atas kursi, tempat duduk Sally sebelumnya. "Terserah, lo juga nggak akan pernah dengerin gue lagi. Mulai sekarang, kalau lo butuh sesuatu, jangan sungkan hubungin gue atau Mama Vira, kita siap bantu kehidupan lo. Pisah dari keluarga Amaranggana tidak mungkin semudah itu. Paman Arjuna pasti nyiapin sesuatu."

Sally mendongak, menutup mata menahan buliran putih. Dia merasa ingin menangis setelah lama sekali menahan diri untuk tidak menangis. "Gue tahu, tapi ini bukan urusan lo. Kita nggak ada hubungan apa-apa. Thanks udah ngajuin bantuan, gue nggak butuh."

Perkataan Sally tidak bisa di percaya. Veen menyelipkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaket, menatap Sally yang kini telah berubah banyak. Mulai dari sifat maupun fisik.

Ia berkata, "Meskipun begitu, gue tetep selalu ada waktu lo butuh sesuatu."

Sally diam. Menatap Veen yang juga menatap dirinya. Mereka hanya berjarak beberapa langkah, tapi sekat tak kasat mata seolah menjauhkan mereka dengan jarak ribuan mil jauhnya. Membuat keduanya tidak bisa untuk saling mendekat, memeluk, dan kembali bersama.

Sekat telah memblokir jalan kisah kasih untuk keduanya.

"Makasih." Ujar Sally. Nadanya sangat tulus, seperti kembali pada tahun-tahun remaja ketika Sally masih menjadi gadis baik bersenyum seindah bulan purnama.

Veen merasa hatinya kebas di cengkram terlalu kuat oleh nada tulus Sally, sampai kapanpun dia tidak boleh mencintai Sally. Gadis itu bukan haknya, tapi hak orang lain. Hak dari orang yang juga sangat berharga untuk Veen.

"Sama-sama." Balas Veen. Dia pergi meninggalkan Sally sendirian, merasa sudah tidak sanggup menatap gadis yang sampai detik ini masih menjadi pemimpin dalam istana hatinya.

"Maaf, kamu bukan hakku. Aku tidak bisa mengambil dirimu." Bisiknya rendah, mengambil langkah lebar menuju tempat dimana mobilnya terparkir.

Aruna berdiri di samping mobil, menendang-nendang kerikil di jalan. Ia mendongak, wajah cantik imutnya di hiasi senyum melihat kedatangan Veen.

"Veen, gimana Sally?" Tanyanya tidak sabaran.

Veen mengusap puncak kepala Aruna, dan menjawab, "Dia baik-baik aja, mulai sekarang kalau dia butuh bantuan, kita harus bantu."

"Aruna pasti bantu Sally," dia menjeda, bertanya hal yang sangat menganggu dalam hati maupun fikirannya, "Veen cinta kan sama Aruna?"

"Kenapa tanya kayak gitu?"

Aruna menggeleng lemah, "Kalian berdua sahabat baik sejak kecil, Aruna takut Veen pergi dan kembali bersama Sally."

Veen tidak menjawab, memilih mengalihkan topik sesegera mungkin dan memasuki mobil. Malam sudah sangat larut, mereka perlu bergegas pulang. Besok harus bersekolah.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top