#5. Patah, lagi

"Sampai saat ini, aku tidak tau apa salahku hingga kamu memberikan bahu dinginmu padaku." | Sally Abaigeal Amaranggana

Mendekam dirumah sakit selama 3 hari membuatnya sangat merindukan udara bebas, dan juga Veen. Sally meminta Madam Kian untuk menyingkirkan cermin di dalam kamarnya. Dan di kamar mandi sekalipun, dia tidak ingin melihat bayangannya lagi.

Sally merasakan tekanan hati dan perubahan emosi yang begitu buruk tentang cermin, semuanya di mulai saat dia memecahkan kaca tempo hari dan menggores lengannya sendiri.

Arjuna maupun Sella tidak menjenguk putrinya di rumah sakit, hanya menelfon untuk menyuruhnya cepat sembuh. Empat hari lagi pameran Amara Fashion akan di gelar dan Sally sebagai model utama harus tampil. Lengannya yang terluka telah di tutup plester warna kulit, membuat orang tidak akan tau jika lengannya terluka.

Madam Kian telah menyediakan tempat untuk pemotretan Sally bersama fotografer muda ternama, Dewa Ajiwangsa. Memangnya bagaimana lagi cerita ini bisa menarik?

Dewa berdiri di samping meja persegi panjang, di atasnya banyak sekali lensa tergeletak, bermacam-macam ukuran. Dia sudah mencintai dunia fotografer di usia 5 tahun. Riana sebagai ibu membantu Dewa mengembangkan bakatnya sehingga menjadi seperti sekarang ini.

Fotografer muda Indonesia. Termasuk jajaran 30 besar. Bukankah itu fantastis untuk anak yang baru saja akan genap 16 tahun?

"Hai, Sal." Dewa menyapa, mengeluarkan senyum di wajahnya yang tampan berkulit putih.

Sally duduk di kursi, ikut tersenyum, "Hai, juga Dewa. Aku nggak nyangka kamu ternyata tukang jepret."

Dewa tertawa, "Aku gak nyangka juga kamu bisa ngelucu."

"Sally salah, ya?"

"Enggak," dia mengangkat kameranya, menilik Sally dari sudut lensa, "Fotografer sama tukang jepret itu beda, Sal. Gak bisa di samain."

"Sama aja, pokoknya tukang jepret."

Dewa tersenyum lagi. Berada di dekat gadis pujaan hati membuat senyumnya terus saja terpatri. "Terserah Sally kalo gitu." Dia menoleh pada karyawannya di belakang, "Semua nggak ada yang bermasalah?"

"Nggak, Bos." Laki-laki muda berusia 18 tahun menjawab. Kembali fokus pada layar komputer, semua objek hasil bidikan Dewa secara otomatis tersalur ke dalam komputer. Tugasnya adalah mengecek semuanya, menilai kualitas gambar dan menilai gerakan model.

Dewa menatap Sally cukup lama, seperti ada yang kurang. Tapi apa? Menurunkan matanya, akhirnya dia menemukan kejanggalan itu. Sepatu Sally terlihat longgar, dan itu sangat menganggu.

Dewa mendekati Sally, berjongkok untuk membenarkan sepatu berhak berwarna kristal, "Sepatu kamu kebesaran, bisa mempengaruhi hasil pemotretan."

Madam Kian beranjak dari posisi setelah hanya diam di pojok, ikut berbicara, "Maaf Tuan Muda, sepatu Nona yang selaras dengan gaun hanya itu saja."

"Huh," Dewa menghela. Berfikir cara untuk menyelesaikan masalah kecil ini, "Sally, lepas ikat rambutmu."

"Baik." Sally melepas ikat rambutnya. Rambut sehitam tinta beraroma manis menusuk indra penciuman Dewa, sangat manis. Sebuah rasa menyegarkan mampu membuatnya kecanduan.

"Okey, kamu lepas sepatu kamu juga."

"Beneran? Masak nggak pake sepatu?"

"Nona." Madam Kian memberikan suara isyarat, Sally harus menurut pada arahan fotografer, dan dia juga harus menjaga sikap di depan Tuan Muda Ajiwangsa.

Sally menggaruk pipinya. "Oke, Sally lepas."

Sosok di kursi saat itu seperti pemandangan putri kerajaan di istana awan, gaun Sally berwarna biru muda dengan sedikit warna putih membentuk pola abstrak. Gaunnya melambangkan birunya langit siang dan putihnya gumpalan awan. Rambut hitamnya tergerai memberikan aura segar dan ketenangan.

Dewa puas, dia kembali ke posisi semula. Mulai membidik dan memotret segala pose alami dari Sally. Setiap gerakan gadis pujaan hatinya tampak bagus meski tidak di arahkan, mungkin ini yang di namakan kecantikan alami dari segala sisi.

Adnan bertanya pada Dewa, "Langsung di kirim ke Nyonya Sella?"

"Hm, langsung kirim ke Tante Sella." Dewa menjawab tanpa menoleh. Dia masih asyik melihat foto Sally, hasil bidikannya sendiri. Terasa begitu membahagiakan melihat ini. Sampai di rumah nanti, Dewa akan mencetak langsung semua foto Sally.

"Dewa......"

"Iya, Sal?"

"Udah belum? Ngantuk." Saat mengucapkan kalimat ini, Sally menguap tanpa menutup mulut. Dia sadar dan merasa malu. Beruntung Madam Kian belum lama turun untuk membawakan Dewa dan Adnan makanan ringan.

Dewa tertawa terbahak-bahak, gadis itu sangat lucu.

"Udah, capek ya?" Ia duduk di lantai. Di sisi kirinya adalah kursi tempat Sally duduk.

"Iya." Sally merunduk, ikut menatap hasil pemotretan, "Aku udah cantik belum di foto itu, Dewa?"

"Sally selalu cantik di mata Dewa." Ujarnya. Beberapa detik kemudian, dia spontan mendongak. Terkejut karena keceplosan, Sally menatapnya tanpa berkedip. Membuatnya merasa gugup.

"Dewa juga tampan, kok." Sally tidak menangkap maksud dari perkataan Dewa. Mengungkapkan kejujuran bila Dewa memang sangat tampan. Sama seperti Veen.

Perbedaannya, Veen tampan dengan wajah tegas sempurna. Sedangkan Dewa memiliki struktur wajah halus dan hampir terlihat seperti baby face.

Veen berhenti di anak tangga, berdiri kaku mendengar kalimat Sally memuji laki-laki lain. Tangan kirinya terkepal di balik saku. Mata tajamnya menatap Dewa yang duduk di samping kursi Sally.

"Veen?!" Pekik Sally. Sangat bahagia melihat sahabat sekaligus pemuda pujaan hatinya datang ke sini. Tapi rasa sakit melubangi hatinya, wajah Veen masih sama seperti tiga hari yang lalu. Tanpa emosi dan begitu dingin.

Veen bisa merasakan kesedihan dari sorot mata Sally. Ia tidak mau mengulur waktu terlalu lama dan berada disini lagi jika hanya untuk melihat dua anak muda tengah di rundung asmara.

Veen menyodorkan tangan kanannya yang memegang boneka panda kecil, "Punya lo, ketinggalan di kamar gue. Lain kali inget-inget kalo bawa barang, dasar pikun."

Sally menerima boneka panda mininya, memeluk dan menatap tepat pada iris Veen. Mencoba mencari bayangan emosi kelembutan seperti dahulu. Dia rindu Veen. Dia rindu cahaya hangat dari mentarinya.

"Makasih, Veen. Sally janji nggak akan ninggalin barang lagi di rumah Veen. Oh iya, Veen mau makan dulu?"

"Nggak perlu, gue mau cari buku sama Aruna."

Mendengar nama Aruna. Lidah Sally kelu, mati rasa hanya untuk sekedar berkata "Kenapa bukan Sally?". Veen yang dia tahu adalah anak malas membaca. Selalu menolak saat Sally mengajaknya untuk mencari buku. Beralasan bila dia datang ke toko buku pelajaran membuatnya ingin pingsan.

Dewa meletakkan kameranya di atas meja bersama beberapa lensa, berjalan mendekati Sally dan berdiri di sampingnya. Menatap pemuda tinggi berwajah tampan, namun tentu saja lebih tampan dirinya.

"Lo Veen Darendra Mahardika? Yang kemarin dapet juara 3?" Tanya Dewa. Memastikan hal penting.

Dia juga tau hubungan pemuda itu dengan Sally. Sudah bukan hal asing bagi murid di SMP Cahaya 1 mengenai hubungan VeenSally. Bahkan sampai ada penggemar dari kedekatan mereka, membuat fansclub bernama SALVEN.

Dua sahabat ini seperti lem dan prangko. Selalu bersama untuk saling melengkapi. Dewa juga pernah melihatnya sendiri betapa bahagianya Sally menghabiskan waktu bersama Veen di kantin, mengabaikan semua orang, seperti membentuk dunianya sendiri. Dunia indah yang hanya berisi mereka berdua.

Kali ini, dia kembali melihat Veen. Akan tetapi tidak ada lagi cahaya ramah di wajahnya.

"Itu gue, kenapa lo tanya?"

"Enggak, gue cuma kepo gimana lo bisa jadi sepinter itu kemarin."

"Keberuntungan." Jawab Veen acuh, berbalik menuruni tangga. Meninggalkan Dewa dan Sally.

"Dewa, kamu ngerasa ada yang berbeda dari Veen?" Sally menghadap Dewa. Mata hitam indahnya berair dengan taburan butiran kristal karena terpapar cahaya lampu.

Dewa menahan nafas, Sally terlalu manis untuk suasana seperti ini. Ia mengusap puncak kepala Sally, "Iya, aku ngerasa dia juga berbeda. Setiap manusia pasti akan berubah tanpa kita inginkan atau kita sadari. So, jangan terlalu di fikirin. Kamu baru pulang dari rumah sakit, nanti Sally bisa drop kalo mikirin hal-hal berat."

"Yaudah, Sally nggak akan mikirin ini lagi."

Sayatan dari tatapan dingin Veen beberapa hari yang lalu masih membekas di hatinya, kembali terbuka saat melihat si pemberi luka.

Memang benar. Beberapa manusia berubah saat tiba waktunya, seperti Veen yang sudah tidak menginginkan Sally lagi dan memilih Aruna kan? Maka dia juga akan melakukan hal sama, mencoba mengabaikan Veen dan kenangan-kenangan bersamanya.

Perasaan ingin menjadi kuat merayapinya. Memberikan bisikan saling bersahutan, Veen sudah tidak membutuhkan dirimu. Tidak ada yang akan menjagamu. Berubahlah. Biarkan dirimu menguasaimu. Tendang dan terobos dinding penghalang bagimu untuk menggapai jati dirimu.

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️

Untuk visualisasi bisa cek di akun IG @zura_tzu yah, di highlight Wanna Be Me.

Soalnya upload di ig lebih cepet, di wp lama banget:(((

Tambahan CAST :
-Juan
-Nanay
-Jian
-Jion

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top