#4. Pretty Savage

"Hidup adalah sebuah petualangan. Dan aku memilih menjadi sosok perempuan kuat dalam petualangan ini. Mencapai tujuan dimana kamu mendapatkan jati dirimu yang sesungguhnya." | Pretty Savage.

Sally terbaring lemah di atas bangkar. Di samping kirinya duduk Madam Kian yang sedang meniup bubur masakan dari rumah, bubur dari rumah sakit tidak memiliki kandungan gizi yang cukup untuk kesehatan Nona Mudanya.

Keheningan merambati seluruh ruangan. Memberikan kesempatan bagi Sally untuk lebih banyak melamun. Memikirkan tentang perubahan singkat dari Veen, dia tau sifat manusia bisa berubah sewaktu-waktu, tapi kenapa secepat ini? Hanya tiga hari!

Dan anehnya lagi, Veen mendapatkan nilai 3 umum dalam nilai ujian nasional. Sally semakin berfikir keras, memecahkan hal-hal baru yang terasa asing dan tidak masuk akal.

"Nona Muda, buku mulut anda." Pinta Madam Kian. Sendok berisi bubur dingin sudah di sodorkan.

Sally menurut. Membuka mulut dan menelannya pelan-pelan. Orang tuanya tidak bisa datang karena sibuk mengurus persiapan untuk pameran Amara Fashion. Ia sudah bisa menduga Sella akan memarahi dirinya tanpa henti karena telah melukai pergelangan tangannya sendiri, tatapan matanya menurun.

Madam Kian sejak dulu tidak pernah berbicara hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, hampir seperti robot berjalan. Tidak memiliki ekspresi maupun emosi dalam tatapan matanya.

Dan Sally menyayangkan hal itu, andai saja Madam Kian orang yang terbuka dan penyayang. Sudah pasti dia tidak akan merasa kesepian setelah di kejutkan oleh perubahan Veen, menganggap dirinya sebagai orang asing atau lebih tepatnya musuh.

Sally terus makan disuapi Madam Kian, di samping kanannya ada boneka beruang besar Vely. Ini adalah tanda kasih sayang antara dia dan Veen. Sally berjanji akan selalu menjaga Vely di dalam hidupnya. Menganggapnya sebagai saudara setelah dia sudah tidak punya siapa-siapa untuk brcerita, sekarang hanya Vely yang ada disisinya.

Jadi, Sally harus merawatnya dan menjaganya.

"Madam, aku ingin jalan-jalan. Boleh?" Mohon Sally, dia sudah membawa Vely raksasa ke dalam pelukannya. Memeluk benda hangat berbulu putih.

"Asalkan Nona harus membawa kursi roda, dan jangan memutus selang infus seperti dulu-dulu. Itu berbahaya untuk kesehatan anda."

"Um." Sally mengangguk berjanji, "Aku tidak akan pernah melakukan itu lagi. Janji!"

"Baik," Madam Kian mengambil kursi roda di sudut ruangan. Membantu Sally bangun dari posisi berbaring, "Hati-hati, Nona."

Mereka berdua menyusuri lorong lantai satu, suster dan para dokter berhenti hanya untuk sekedar menyapa putri tunggal dari pasangan miliarder Arjuna dan Sella.

Sally membalas sapaan. Menumpukan dagu di kepala Vely. Matanya berbinar melihat taman dipenuhi anak-anak berlarian, ada banyak tanaman bunga juga di sana.

Sally mendongak menatap Madam Kian, "Madam, aku ingin kesana!" Ia menunjuk taman tadi.

"Tapi Nona anda-"

"Madam Kian, jangan melarangku kali ini saja. Aku hanya ingin bermain dengan bebas."

Wanita kaku tersebut mendesah pasrah, ekspresinya tetap kaku kemudian menjawab, "Saya mematuhi, Nona Muda."

Sally sangat senang. Duduk di kursi roda dengan Madam Kian di belakangnya tidak membuat ia merasa kesepian lagi, di tambah tawa anak-anak rumah sakit yang begitu cerah mengalahkan sinar mentari dan indahnya sebuah pelangi.

Apa yang di katakan Veen dulu benar adanya. Melihat senyum di wajah anak-anak membuat hatinya menghangat, melihat mereka mengingatkan kita untuk selalu bersyukur karena masih di beri kesehatan.

Kurangi mengeluh dan buka pintu hati kalian. Banyak orang mengalami gangguan kesehatan, namun tetap selalu tersenyum menerima semuanya dengan keikhlasan. Sudah sepantasnya mulai sekarang untuk berhenti mengeluh hanya karena hal kecil, ingat, masih banyak orang yang mengalami masalah lebih besar dari kita. Dan mereka tetap bahagia dengan keadaan yang ada.

Lagi, Veen selalu menancap dalam pemikirannya.

Madam Kian pamit untuk pulang karena harus mengurus urusan rumah, meninggalkan Sally dan satu pengawal untuk menjaga Nonanya.

"Paman, antarkan aku duduk di atas kursi."

"Ya, Nona."

Pengawal di belakangnya mendorong kursi roda hati-hati, takut membuat Sally merasa tidak nyaman. Salah satu tangannya mendorong tiang infus yang sedikit susah untuk bergerak, memang susah, tidak ada lantai tapi hanya ada gumpalan rumput hijau liar.

Kursi tersebut di naungi pohon besar cukup rindang, mampu memberikan keteduhan berudara segar bagi pasien saat duduk disini.

"Paman tunggu saja di ruanganku, biarkan aku sendirian disini." Ucap Sally. Gadis itu sudah pindah duduk menjadi di atas kursi.

Pengawal sama sekali tidak membantah, segara undur diri dan pamit. Tidak lupa memberikan ponsel genggam milik Sally, supaya gadis itu bisa menghubungi pengawal saat ingin kembali tidur di ruang rawat.

Panas matahari hari ini tidak terlalu terik dan tidak terlalu redup, sedang-sedang saja. Terasa seperti sentuhan air hangat ketika cahaya menyelimuti kulit lengan putihnya.

"Hai," sapa perempuan asing, duduk di samping Sally tanpa meminta ijin. Ia memakan apel hijau yang entah dari mana asalnya.

Sally menoleh, merasa sedikit takut berada di samping perempuan ini. Bagaimana tidak, gadis itu adalah gadis cantik dengan banyak sekali luka parut di wajahnya. Mulai dari alis, hidung, dagu, dan kening.

Mendapati Sally merasa takut. Ia mengulurkan tangan, "Kenalan? Gue pasien di ruang rawat nomer 56."

"Boleh," Sally menjabat tangannya. "Aku Sally Abaigeal Amaranggana, kamu siapa?"

Anak perempuan tadi berhenti menggigit apel, berdecak kagum, "Woah, lo keturunan tunggal Amaranggana itu? Gila, gila, gila, gue nggak nyangka bisa ketemu lo secara langsung. Bye the way, lo cantik dan baik. Jangan takut sama gue, emang ini wajah lumayan buruk gara-gara bekas berantem jaman SMP."

"Kamu suka berantem pas SMP?" Tanya Sally. Merasa kagum melihat anak gadis yang seharusnya lemah lembut malah suka berkelahi. Wajah anak ini cantik bila tidak ada bekas parut.

"Iyalah, preman SMP nih, gue!" Tangannya menepuk dada kirinya bangga, kembali mengigit apel. Sembari mengunyah, dia berkata lagi, "Lo tau? Gue dulunya jaman lulus SD masih kayak lo, mirip banget malah. Kalem kalem cantik anggun membahana, tapi itu semua bukan keinginan gue. Orang tua gue yang nuntut anaknya untuk selalu jadi nomer satu dan terlihat baik di mata media massa maupun masyarakat. Akhirnya jaman kelas 2 SMP gue mulai berontak, hidup mandiri sambil kerja paruh waktu di restoran."

"Kamu curhat?"

Pertanyaan Sally terasa sangat menjengkelkan di telinganya. Ia menjawab ketus diikuti dengusan, "Gak! Gue ngedakwah!"

Sally tertawa, "Maaf, aku cuma bercanda, hehe. Jadi, kamu hidup mandiri dengan uang kamu sendiri?"

"Ya, enggak semua. Beberapa masih di sokong orang tua, meski nggak sebanyak dulu waktu gue masih nurut sama mereka. Minta apa aja tinggal beli, mau es krim beli sepabariknya sekalian. Gue bukan sombong ya ini, tapi jujur."

"Kok kamu kuat?"

"Harus di kuatin lah. Tanemin keyakinan dalem-dalem. Lo pasti juga capek sama hidup lo sendiri, cuman lo masih diem. Gue tau gimana rasanya hidup jadi keturunan orang penting, karena kita hampir sama. Gue keturunan Radipta, putri bungsu Hasan Radipta sama Aulia Anastasya."

"Ah," Sally sepertinya ingat tentang nama Radipta. Keluarga mereka memiliki darah keturunan ningrat dan sangat banyak sekali aturan dalam hidup mereka. Radipta terkenal bukan hanya karena kekayaan melimpah dari nenek moyang, tapi juga karena Radipta adalah perusahaan induk berbadan hukum.

Radipta Corporation memiliki banyak anak cabang, hampir tersebar di seluruh provinsi Indonesia.

"Sally tau, tapi kenapa kamu pergi? Dan kamu itu adik dari Anggana Radipta, kan?"

Perempuan di sampingnya tersenyum, "Bener, itu abang gue. Anaknya nurut, sempurna, baik di depan orang. Di belakang, dia nggak ada beda sama gue. Suka kebebasan, sayangnya pemikiran kita beda. Dia masih suka uang, sedangkan gue lebih suka kebebasan tanpa aturan."

Sally menunduk lemas, andai dia bisa sekuat dan seberani itu.

"Lo iri kan sama gue?"

"Kok tau?"

"Udah kebaca dari wajah lo, reputasi Amaranggana masih di atas Radipta jadi gue yakin tekanan lo lebih banyak dari gue. Salut aja sama lo, bisa bertahan sampai detik ini."

"Sally sebenernya juga capek. Eh, itu wajah kamu nggak di obatin? Sayang cantik-cantik ada bekas parutnya."

"Gak usah di perduliin, kecantikan wajah nggak penting. Karena kecantikan lo berasal dari sini." Jari telunjuknya menyentuh letak hati Sally berada. "Asal hati lo baik, bersih, lo udah bisa di anggep kecantikan tanpa kekurangan."

Sally mengangguk, "Aku pengen kayak kamu. Nama kamu siapa? Selama ini aku cuma tau Kak Angga dan nggak tau nama kamu sebagai adik bungsunya. Kalau di pesta kolega juga nggak liat kamu."

"Karena gue milih menyendiri, gelay gue begaul sama anak-anak sombong kurang adap. Panggil aja gue Pretty."

"Pretty?"

"Yoi, anak-anak tongkrongan sering nyebut gue Pretty Savage jadi mereka resmi jadiin Pretty sebagai nama gue."

"Oke, Pretty. Kita temenan enggak?"

"Gue mah kuy, Sal."

Keduanya tertawa. Saling berbagi cerita, lebih tepatnya Pretty yang berbagi cerita hidup kerasnya di luar sendirian. Membuat Sally kembali takjub dan ingin menjadi seperti Pretty. Bebas, tidak ada tuntutan, dan apa yang kamu inginkan hanya tinggal lakukan. Tidak ada siapapun yang bisa menghentikan.

"Lo tau Sal? Gue dulu awal hidup mandiri susah, karena gue nggak ada bekal bela diri buat jaga diri sendiri. Mau ikut latihan tapi uang kerja gue cukup buat makan, uang dari ortu gue tabung setengah dan setengahnya buat sekolah." Pretty mengeluh, mengingat kembali masa-masa berat dalam hidupnya demi meraih sebuah kebebasan dan menjadi diri sendiri. Mencintai dirinya tanpa perlu memikirkan pendapat orang lain.

"Kamu hebat, bisa sampai di titik ini. Kalau Sally boleh tau, kenapa Pretty suka berantem kayak gitu? Sampai ngasilin bekas luka yang ngerusak wajah cantik kamu."

Pretty tertawa kecil, "Jadi perempuan malu-malu, anggun, lemah lembut itu udah biasa. Gue mau yang beda, jadi sosok kecantikan kejam maybe? Asik aja gitu kita bisa beda dari yang lain. Dan gue dulu tertarik liat cowok-cowok berantem. Akhirnya gue ikutan deh, makin kesini makin suka berantem dan berteman sama cowok, lo temen berjenis cewek pertama buat gue."

"Sally juga mau jadi kuat kayak Pretty, bisa berantem."

Oh tidak, Pretty tidak yakin jika Sally bisa. Dia bahkan membayangkan jika Sally ikut berkelahi, baru berdiri siap menyerang gadis cantik itu pasti sudah akan lari membawa tangis.

"Minta les taekwondo sama orang tua lo, baru gelut. Sekalian buat bekal hidup kalau lo udah capek jadi orang lain demi orang tua dan pengen hidup mandiri nyari jati diri, hidup bebas di dunia luar."

"Madam Kian bilang dunia luar itu keras dan berbahaya."

"Lo bener, gue akui itu. Tapi lo juga harus tau, hidup itu sebuah petualangan. Sudah semestinya jalan untuk berpetualang itu keras dan berbahaya, bertahan atau tidak tergantung tekad dari dalam diri lo. And i hope you will be pretty Savage like me, soon."

"Me too."

Pretty tidak akan bisa menahan terkejut di masa depan ketika bertemu lagi dengan Sally, karena di masa depan, Sally berhasil membuat dirinya menjadi sosok Pretty Savage.

Membangkang serta urak-urakan, selalu melangkahkan kaki dan menikmati jalanan terjal dalam petualangan hidup untuk menjadi dirinya sendiri. Sesuai kata-kata dari Pretty.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top