#3. Patah

"Mengenggam dirimu dalam angan lebih baik, daripada harus mengingat penolakanmu di kenyataan." |Sally Abaigeal Amaranggana


Pengumuman ujian sudah selesai. Sally berdiri di atas podium megah dengan membawa piala di tangannya. Dia berhasil mendapatkan nilai ujian sempurna, 40. Sella dan Arjuna bertepuk tangan paling meriah di kursi depan. Merasa bangga putri semata wayang mereka menjadi yang terbaik.

Sella menatap wanita di sampingnya, Aliana Anggoro. Ibu dari Aruna, mau tak mau Sella menunjukan senyum kesombongan karena Sally bisa mengalahkan putri dari wanita tersebut.

Aliana membalasnya dengan senyum lembut, memberikan ucapan selamat setulus hati, "Selamat Sella, anak kamu pinter banget."

Sella menatap ke depan, menjawab sombong, "Tentu, keturunan Amaranggana memang sudah seharusnya selalu sempurna."

Posisi pertama di tempati oleh Sally, posisi kedua di tempati Aruna, dan posisi ketiga di tempati oleh Veen. Sesuatu yang sangat mengejutkan Sally dan beberapa teman Veen di kelas 9-F. Mereka tau jika kecerdasan Veen bisa di anggap sangat rata-rata. Tidak bodoh atau pintar, tapi sedang.

Acaranya berakhir begitu meriah, lagi-lagi para guru mendatangi Arjuna dan Sella satu persatu. Memberikan pujian penuh jilatan. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam hal ini, Arjuna berbaik hati dengan menjadi donatur utama tetap di SMP Cahaya 1.

Kegiatan panjang dan melelahkan akhirnya selesai. Sally turun menuruni tangga panggung, gaun mewah tanpa lengan berwarna merah muda melekat indah di tubuh proposionalnya. Membuat semua orang semakin mengagumi pasangan Arjuna dan Sella karena memiliki putri yang begitu cantik, pintar, berbakat, dan anggun.

Berjalan menuju parkiran bersama orang tuanya, Sally mengacuhkan semua celotehan dari Sella. Dia sedari tadi selalu mencari-cari keberadaan Veen dan Mama Vira. Kenapa mereka tidak terlihat sama sekali?

Menelan kekecewaan karena tidak mendapat pujian dari orang yang paling berharga, Sally teringat kejadian kemarin malam ketika Veen mencium keningnya dan menyatakan perasaan cinta. Pipinya bersemu. Padahal dia berniat memberikan jawaban dari ungkapan asmara Veen hari ini.

Arjuna di hentikan oleh laki-laki berbaju formal, di belakangnya berdiri satu wanita cantik yang langsung berbicara dengan Sella.

Sally diam berdiri di belakang orang tuanya, menilik halaman sekolah berulang-ulang berharap Veen datang terlambat mungkin karena suatu urusan? Sejak tadi pagi ponsel pemuda itu juga tak bisa di hubungi. Mama Vira juga tidak aktif.

Ia tidak menyadari. Putra dari teman orang tuanya sudah berdiri di sampingnya. Dia adalah Dewa Ajiwangsa. Anak murid dari kelas 9-B. Termasuk jajaran kaum adam yang menyukai Sally diam-diam.

"Hai, Sally," sapanya lebih dulu.

Sally langsung menoleh, tersenyum hangat, "Hai juga, em...."

Dewa mengerti jika Sally pasti tidak mengenalinya, dia mengulurkan tangan, "Dewa Ajiwangsa."

"Ah," Sally menjabat uluran tangannya, "Salam kenal, Dewa."

Dewa begitu gencar mengajak Sally berbicara banyak hal. Sedangkan gadis itu merasa malas. Dia hanya ingin bertemu Veen-nya.

Sella dan Riana tersenyum melihat anak-anak mereka. Ajiwangsa adalah keluarga yang menaungi bidang konstruksi bangunan. Struktur pembangunannya cukup terkenal di Indonesia. Sangat profesional, efisien, dan hasil selalu memuaskan. Dengan mencetuskan banyak arsitektur berbakat setiap beberapa tahun sekali.

Reputasi dan keuntungan saham mereka hampir menyamai Amaranggana Group's. Perusahaan terbaik di Indonesia yang bergerak dalam 3 bidang. Hal yang sangat langka. Pertama adalah Export Import Amaranggana, kedua Amaranggana Enterprise, dan ketiga adalah Amara Fashion.

Kedua belah pihak mengusulkan sebuah perjodohan. Yang tentu saja sangat membuat Dewa bahagia kala Riana memberitahu rencana dua keluarga. Dewa juga meminta untuk masuk SMA yang sama dengan Sally.

Menunggu dan menunggu adalah kegiatan Sally 3 hari terakhir tanpa Veen. Duduk di balkon sendirian.

Madam Kian memberikan wejangan pada Sally mengenai teori dunia permodelan. Ya. Mamanya memiliki keinginan penuh tuntutan agar Sally menjadi model utama di Amara Fashion.

Ponselnya berdering, Sally segera beranjak mengambil langkah cepat meraut benda pipih yang berdering, bahagia tanpa sadar merambat di hatinya, "Halo, Mama Vira. Apa kabar? Kenapa susah di telefon 3 hari terakhir ini?"

"..."

"Oh, jadi Mama Vira sakit. Kok nggak bilang Sally? Aku mau jenguk, nilai Veen tadi dapat peringkat tiga dari semua siswa. Jadi, Mama Vira dan Veen kapan akan pulang?"

"..."

"Oke. Kalau gitu nanti malam Sally ke rumah Mama Vira, ya?"

"..."

"Dadah, Mama Vira. Sally sayang juga sama Mama."

Madam Kian berdehem. Sally menampilkan senyum gigi. Mendekati Madam Kian dan menarik ujung lengan seragamnya.

"Apa yang Anda inginkan, Nona?" Dia sudah tau kebiasaan Nona Mudanya yang satu ini. Selalu menarik ujung lengan seragamanya saat ingin meminta bantuan.

"Bantu Sally buat kue, ya?"

"Selesaikan ini dulu Nona, baru saya akan membantu Anda. Nyonya akan marah jika anda tidak menguasai semua hal tentang permodelan sampai hari minggu."

Sally cemberut, menunduk lesu dan kembali memperhatikan penjelasan Madam Kian tentang permodelan. Otaknya merasa pening mendengar banyak sekali aturan dan keindahan gerak tubuh yang harus di perhatikan. Bukankah menjadi model hanya berpose dan berjalan di atas panggung pameran fashion?

***


"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, eh Sally. Masuk nak."

Sally berjalan hati-hati, takut jika kue buatan pertamanya akan jatuh bila tidak waspada dalam mengambil langkah. Vira tersenyum geli. Memanggilkan Veen yang sedang belajar di kamarnya.

"Sayang, Veen nanti bentar lagi turun. Mama Vira pamit dulu ya, harus ngurus tumpukan pesananan di butik."

Sally mencium punggung tangan Vira, "Ma, kan baru sembuh dari sakit. Masa udah mau kerja lembur? Istirahat dulu aja. Kerja ke butiknya besok."

"Mama udah sehat. Istirahatnya di butik. Kamu naik aja kalau Veen nggak turun-turun. Potongin kuenya buat Mama, ya? Taruh di dalem kulkas."

"Oke, Ma."

Sally mengantar Vira sampai teras, melambai tangan pada mobil ferrari hitam yang sudah lenyap setelah berbelok ke kiri.

Suara langkah kaki membuatnya menoleh. Senyumnya mengembang melihat Veen menuruni tangga. Piyama merah mengkilap terpasang rapi di tubuh tingginya.

"Veen!"

Sally berlari ingin memeluk Veen, mengeluarkan semua rindu yang sudah tidak mampu di tampung oleh hatinya. Sebelum tanganya menyentuh kedua lengan sahabatnya, Veen memiringkan tubuh. Membuat tangan Sally hanya memegang angin.

"Veen, Sally mau peluk."

"Ngapain lo ke sini?"

Mendengar bahasa Veen, mau tak mau Sally mendongak. Menatap lekat wajah tampan yang kini di hiasi lapisan dingin. Iris hitam selembut sinar mentari berubah menjadi iris hitam kelam tanpa emosi. Bibir indah semanis madu disaat tersenyum hanya datar seperti tersenyum adalah sebuah kutukan.

Mengabaikan perubahan ganjal ini. Gadis itu menarik tangan Veen. Membawanya ke meja makan dimana kue buatannya di taruh.

Sally menarik kursi di samping Veen, berbicara panjang lebar meskipun tidak ada tanggapan sama sekali. Ia memotong kue menjadi cukup banyak dan menyimpan beberapa di kulkas untuk Mama Vira.

"Veen, ayo makan. Ini kue buatan aku yang pertama kali. Gak tau enak apa enggak, tapi semoga aja Veen suka. Madam Kian yang bantu aku buat kue ini," ucapnya, menyodorkan piring berisi kue berukuran kecil.

Suasana hati Veen semakin buruk. Dia ingin melemparkan sesuatu saat ini. Dia tidak bisa terlalu dekat dengan gadis itu. Rasanya jika dia duduk disini lebih lama, maka dia tidak bisa menahan diri.

"Veen, Sally mau ngasih jawaban untuk ungkapan kamu tiga hari yang lalu." Tanganya tartaut di atas meja. Menatap Veen sedikit malu. Matanya sedikit sendu melihat Veen tidak menyentuh kue buatannya.

Veen mencuramkan alisnya ke bawah, bingung, "Gue ngungkapin apa ke lo?"

"Kamu bilang suka sama Sally. Tapi kamu belum dapet jawaban. Sekarang, aku mau ngasih jawaban dan jawabannya Sally juga suka sama Veen."

"Oh?" Veen menatap Sally, berkata tanpa berfikir jika kalimatnya dapat menyentuh titik sensitif Sally dari yang terdalam. "Gue cuma main-main. Jangan anggep serius. Lupain semuanya, gue nggak suka sama lo." Tubuhnya berdiri tegak, bangkit ingin kembali ke kamarnya.

Sally terbeku di tempat. Perlu beberapa detik untuk sadar. Segera ikut bangkit dan menghadang langkah santai Veen.

Matanya berair, "Veen bohong kan? Wajah kamu serius banget waktu bilang suka sama Sally. Kenapa sekarang bilangnya cuma main-main? Kalau main-main, ngapain Veen juga nyium kening Sally? Siapa yang Veen suka kalau bukan Sally?"

Satu nama terlintas di kepala Veen. Jadi dia menjawab, wajahnya tetap tanpa ekspresi, "Aruna."

"Aruna Sila Anggoro? Teman sekelas Sally?"

"Lo tau itu, jadi minggir. Gue mau tidur, pulang sana."

"Enggak!" Kedua lengan kurusnya terentang, setia menghadang langkah cowok itu untuk maju.

"Kamu pasti bohong, Veen cuman sayang dan suka sama Sally."

"Kurangin imajinasi lo, gue suka sama Aruna."

"Pegang tangan Sally," ia mengangkat tangan kanannya di depan wajah Veen. "Pegang tangan Sally kalau kamu berbohong, dan lewatin Sally kalau kamu jujur. Tapi, kalau kamu lewatin Sally. Aku akan marah sama kamu."

Tanpa basa-basi. Veen melangkah melewati Sally. Menapakkan kaki di anak tangga pertama, sampai pada anak tangga kedua. Dia menoleh, tertawa sarkastik, "Jadi cewek jangan terlalu tolol. Mudah banget di tipu."

***


Ia menatap dirinya sendiri di depan cermin. Mencari-cari apa kesalahannya dan apa kekurangannya.

Sally tidak bisa menahan butiran kristal transparan meluncur membasahi kulit pipinya, hatinya patah.

Patah menjadi butiran yang pasti akan sulit untuk dia perbaiki di kemudian hari.

"Apa Sally berbuat salah sama Veen?" Bertanya pada cermin.

Dia tersenyum melihat wajahnya dilumuri air mata. Jemari rampingnya terkepal di atas pangkuan. Ia belum siap. Ia belum siap menerima luka selepas tawa.

Hatinya masih terlalu rentan untuk di tinggalkan secepat ini. Sekali lagi, Sally mengangkat tangan kanannya. Menatap telapak tangan kosong tanpa sisa kehangatan yang membekas. Membuatnya tidak bisa meresap cahaya mentari dari seorang Veen Darendra Mahardika.

Cinta adalah lambang akan luka dan bahagia. Menyatukan kekurangan dan kelebihan untuk saling melengkapi dalam sebuah hubungan, melimpahkan rasa bahagia. Namun, jangan lupakan luka. Cinta menyesatkan. Pertama akan membuatmu terlena dalam bahagia, kalut dalam warna indah asmara, sampai membuatmu lupa akan tiba masa datangnya sebuah kesakitan.

Kesakitan yang akan membuatmu terdiam duduk di pojokan. Menangis dan meraung, dengan harapan menggenggamnya dalam sebuah angan. Karena kenyataan terlalu menyakitkan untuk di fikirkan. Hanya angan yang mampu membuat delusi manis bagimu, dia, orang kamu cintai masih di depanmu.

Tersenyum padamu, mengusap kepalamu, membuat lengkungan manis di bibirmu, dan meluapkan semua kebahagiaan hanya untukmu.

Anganmu membentuk delusi yang indah. Dia masih disini. Menggenggam tanganmu dan tertawa, berkata, "Aku menyukaimu."

Sally berpegang pada angan itu, membangkitkan kembali sedikit cahaya dalam hatinya. Mengenang ungkapan rasa suka dari pemuda yang membawa tawa dalam hidupnya.

Tapi delusi bukanlah dunianya, kenyataan sedang menunggu. Menanti untuk menyiksa dirinya dalam kesepiannya di tinggalkan. Menangis dan tersenyum kecil bersama kenangan.

Sally menangis, lengan kirinya bergetar keras. Ini biasa terjadi saat dia selalu merasa takut. Dia perlu obat!

Menarik gagang laci di meja rias, ia mengambil botol bertuliskan vitamin berisi pil putih. Mengambil tiga butir dan memasukan ke dalam mulutnya tanpa meminum air terlebih dahulu.

Sally tidak memberitahu siapapun tentang hal aneh ini, bahkan Veen. Saat dia merasa takut, pikirannya kacau. Dan hanya tangan kirinya yang bergetar. Menatap ke sekeliling. Matanya terasa berkunang-kunang.

Obat tadi adalah obat penenang tanpa resep, sengaja dia simpan dalam botol vitamin agar tidak menimbulkan kecurigaan Madam Kian. Dan di Indonesia obat tersebut termasuk illegal jika tidak ada anjuran dari dokter. Sally memakan 3 sekaligus. Dia hanya ingin tenang.

"Kau! Aku benci dirimu!" Sally berteriak pada bayangannya yang ada di cermin. Membanting kursi duduk ke kaca tipis berharga tinggi.

Prang!

Cermin pecah menjadi serpihan kecil seperti hatinya. Tubuhnya bergetar, berjongkok untuk mengambil pecahan kaca cukup lancip. Sally menggores pergelangan tangan kirinya. Berharap jika tangan ini akan berhenti bergetar dan berhenti memberikan rasa takut.

"Kenapa aku harus lahir! Jelaskan kenapa aku harus lahir jika kehadiranku hanya untuk di sepelekan?!" Berteriak dan meraung marah kenapa dia lahir, pintu kamarnya di dobrak dari luar.

"Nona Muda! Buka pintunya!" Suara Madam Kian menyahut dari luar.

Sally sudah tidak peduli, darah menetes mengotori lantai putih, "Kamu sampah, kamu hanya boneka. Beraninya kamu mengharapkan sebuah cinta dalam hidupmu?!" Terakhir. Sally membiarkan pecahan kaca yang dia pakai menancap di pergelangan tangannya.

Membuat darah merah semakin gencar terjun ke luar.

Tubuhnya runtuh, tersungkur tanpa daya. Mata merahnya menutup, "Aku membenci diriku karena membuat Veen menjauh," gumamnya. Setelah itu hanya suara pintu di dobrak dan teriakan Madam Kian bersama pelayan lainnya yang memenuhi ruangan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top